Oleh: Tigor Mulo Horas Sinaga, S.Sos, SH.
Perkembangan zaman yang diiringi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi kebutuhan atas informasi. Informasi bisa disampaikan lewat banyak media, sehingga semakin banyak alternatif pilihan bagi masyarakat. Semisalnya media pers yang kini mulai bergeser dari media cetak menuju media berbasis internet (media online).
Keterbukaan memperoleh informasi telah memberi banyak manfaat untuk berbagai tujuan. Dan keterbukaan informasi telah dipandang sebagai salah satu pilar intergritas nasional yang bisa dijadikan senjata untuk melawan praktik-praktik korupsi.
Hak atas informasi adalah hak asasi manusia yang bersifat universal. Dimana pengakuan terhadap sifat keasasian tersebut mendapat legitimasi dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1946, yang kemudian dituangkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM, 1948).
Sebagai hak asasi manusia, kebebasan memperoleh informasi bukannya tampa batas, hak atas informasi dapat dikurangi ketika bersinggungan dengan hak orang lain. Internasional Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) memungkinkan pembatasan tertentu sesuai koridor hukum dan sepanjang diperlukan untuk menghormati hak orang lain atau melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, kesehatan, atau moral umum. Maka, kebebasan memperoleh informasi sebagai hak asasi harus dijaga keseimbangannya dengan kewajiban asasi.
Di Indonesia, selain mendapat landasan konstitusional, hak atas informasi telah mendapat jaminan hukum dalam beragam jenis dan tingkat peraturan perundang-undangan.
Semula, hak atas informasi di muat dalam TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 20 dan 21 TAP ini menyebutkan ‘setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangka pribadi dan lingkungan sosialnya’. Lalu, setiap orang berhak mencari, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala saluran yang tersedia. Akan tetapi kemudian, TAP MPR No.I/MPR/2003 menyatakan TAP No. XVII tidak berlaku.
Namun rumusan kedua pasal tersebut sudah dimasukkan ke dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) tampa perubahan sedikit pun. Norma UU HAM itulah kemudian dinaikkan statusnya menjadi norma konstitusi pada saat proses amandemen. Kini, rumusan tersebut tertuang dalam Pasal 28F UUD 1945. Dan sebagai pelaksanaan Pasal 28F UUD 1945 tersebut telah terbitlah UU No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang kini dikenal sebagai UU KIP.
Maka setelah UU KIP disahkan, dan sosialisasi keterbukaan informasi gencar dilakukan, semakin banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur dan mendorong keterbukaan informasi. Dan dapat kita lihat di sejumlah daerah juga membuat regulasi, misalnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten No.8 Tahun 2012 tentang Tata Kelola Keterbukaan Informasi Publik dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.48 Tahun 2013 tentang Layanan Informasi Publik.