Outsourcing di Indonesia: Menyeimbangkan Efisiensi Bisnis dan Perlindungan Pekerja Menuju Masa Depan yang Lebih Adil
Oleh : Jeannie Latumahina
Ketum RPA INDONESIA
Outsourcing di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, ketika tenaga kerja kontrak digunakan di perkebunan tanpa perlindungan yang layak. Setelah Indonesia merdeka, praktik ini sempat meredup, tapi mulai populer lagi pada era 1990-an seiring kebutuhan perusahaan akan efisiensi dan fleksibilitas tenaga kerja di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Secara resmi, outsourcing dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. UU ini mengatur bahwa perusahaan boleh menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, khususnya untuk pekerjaan penunjang seperti keamanan, kebersihan, dan katering. Namun, praktik outsourcing kemudian meluas tidak hanya untuk pekerjaan non-inti, tapi juga pekerjaan inti, yang menimbulkan berbagai persoalan sosial dan ekonomi.
Regulasi terkait outsourcing terus berkembang, termasuk revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah, serta UU Cipta Kerja dan Perppu yang memberikan fleksibilitas lebih bagi perusahaan dalam mengelola tenaga kerja. Sayangnya, di lapangan, banyak pekerja outsourcing masih menghadapi upah rendah, status kerja tidak jelas, minim jaminan sosial, serta perlakuan tidak adil seperti penahanan ijazah dan kolusi antara HRD dan broker tenaga kerja.
Praktik-praktik ini memperkuat kesan bahwa outsourcing telah menjadi “industri pemeras keringat” yang merugikan pekerja dan memperlebar kesenjangan sosial.
Menanggapi persoalan ini, Presiden terpilih Prabowo Subianto pada peringatan Hari Buruh 2025 menyatakan niatnya untuk menghapus sistem outsourcing, terutama untuk pekerjaan inti. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli pun tengah menyusun aturan baru sebagai landasan hukum perubahan ini.
Namun, penghapusan outsourcing harus dilakukan secara bertahap dan hati-hati agar tidak menimbulkan gelombang pengangguran baru dan tetap menjaga iklim investasi yang kondusif.
Jika kita lihat perbandingan global, pendekatan terhadap outsourcing sangat bervariasi dan bisa menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Filipina, sebagai negara berkembang yang sukses menarik investasi di sektor Business Process Outsourcing (BPO), menerapkan regulasi ketat yang menjamin perlindungan pekerja outsourcing sehingga industri ini tumbuh sehat tanpa eksploitasi berlebihan.
Di negara maju seperti Jerman dan Swedia, outsourcing tetap ada, tetapi dengan standar upah minimum, jaminan sosial, dan perlindungan hak pekerja yang kuat, sehingga keseimbangan antara efisiensi bisnis dan keadilan sosial tetap terjaga.
Sementara itu, negara berkembang seperti India dan Vietnam juga mulai memperbaiki regulasi outsourcing mereka. Mereka menyadari bahwa tenaga kerja murah saja tidak cukup untuk menarik investasi jangka panjang, sehingga perlindungan pekerja menjadi faktor penting dalam menciptakan iklim bisnis yang berkelanjutan dan stabil.
Indonesia kini berada di persimpangan penting. Untuk tetap kompetitif dan menarik investor berkualitas, negara harus bergerak dari model outsourcing yang hanya mengandalkan tenaga kerja murah menuju sistem yang lebih adil dan berkelanjutan.
Reformasi outsourcing harus fokus pada penghapusan outsourcing untuk pekerjaan inti, pembatasan outsourcing hanya pada pekerjaan non-inti dengan perlindungan penuh, serta masa transisi yang memadai agar pekerja dan perusahaan bisa beradaptasi dengan perubahan.
Pengawasan dan penegakan hukum juga harus diperkuat untuk mencegah praktik-praktik kotor yang selama ini merugikan pekerja. Pemerintah perlu memastikan bahwa aturan baru tidak hanya menjadi dokumen di atas kertas, tapi benar-benar diterapkan di lapangan, dengan sanksi tegas bagi pelanggar.
Dengan langkah yang tepat, Indonesia bisa mengubah outsourcing dari sumber ketidakadilan menjadi peluang ekonomi yang berkelanjutan. Ini bukan sekadar soal efisiensi bisnis, tapi juga soal masa depan pekerja Indonesia dan daya saing bangsa di kancah global.
Perlindungan pekerja yang lebih baik akan menciptakan tenaga kerja yang lebih produktif, loyal, dan berdaya saing, yang pada akhirnya akan menguntungkan seluruh ekosistem ekonomi Indonesia.
Jakarta , Sabtu 3 Mei 2025