_”In Maiorem Dei gloriam. Demi kebesaran, keluhuran Allah”._
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah, bahkan ciptaan Allah yang paling mulia. Kitab Suci yang dimiliki agama-agama menyatakan itu dengan amat jelas. Manusia bukanlah sosok yang jatuh dan atau terbuang dari kayangan, dari negeri antah berantah. Asal-usul manusia itu jelas, pada mulanya ia diciptakan dalam wujud seorang Adam, lalu agar ada keseimbangan gender, Allah kemudian menciptakan seorang _penolong_ bagi Adam, yaitu Hawa, seorang perempuan, yang akan menjadi penolong baginya Kesatuan diri, dan kesatuan psikologis antara Adam dan Hawa tergambar pada proses penjadian Hawa. Hawa tidak dicipta dalam skema seperti Allah mencipta Adam, tetapi Hawa dikonstruk dari tulang rusuk Adam.
Dalam konteks asal-usul, dalam kaitan dengan penciptaan yang Allah lakukan posisi manusia sebagai makhluk mulia amat clear. Ia ditugaskan memanage dunia dengan segala isinya agar bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dari generasi ke generasi. Oleh karena itu juga manusia memiliki predikat _khalifah Allah_, _imago dei_ yang tidak mungkin disandang oleh makhluk ciptaan lainnya. Ia dianugerahi akal budi, pikiran, intelektualitas agar ia tampil sebagai makhluk beradab ditengah dunia. Bahkan manusia yang membentuk peradaban dunia yang bisa dilihat perwujudannya dari abad ke abad.
Sebagai makhluk yang diciptakan Allah maka selalu terjadi relasi yang spesifik dan kontinyu antara manusia dan Allah. Bagaimana bentuk relasi, kapan dan dimana dilakukan, berapa lama hal itu dilaksanakan, kesemuanya secara teknis telah diatur oleh agama-agama dan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan apa yang di tetapkan dalam Kitab Suci Agama-agama. Agama-agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui pimpinan dan pejabatnya berjuang terus dengan berbagai cara agar umat benar-benar memahami ajaran agama dengan tekun dan sungguh untuk kemudian memberlakukan ajaran agama itu dalam kehidupan praktis.
Manusia adalah makhluk yang menyembah Allah. Manusia adalah makhluk yang memuji Allah. Manusia adalah sosok yang tidak hanya berurusan dengan hal- hal horisontal, tapi juga hal- hal yang bersifat vertikal. Ia tidak terpenjara pada hal-hal yang ada dibawah, tetapi harus tertuju pada hal-hal yang diatas. Dalam sebuah NKRI yang majemuk, yang menghargai pluralitas; yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, aktivitas keberagamaan umat untuk memuji Allah mendapat ruang yang amat luas. Ketentuan perundang-undangan yang ada memberikan jaminan bagi tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Bahwa didalam praktik masih ada kesulitan dalam membangun rumah ibadah diberbagai tempat hal itu menggambarkan masih adanya rongrongan terhadap Pancasila dari oknum atau komunitas tertentu dan atau bisa juga oleh karena adanya pemahaman/sikap tentang superioritas agama atau arogansi beragama. Kondisi seperti itu seharusnya tidak boleh terjadi karena mencederai UU dan menafikan lembaga BPIP yang selama ini berkobar-kobar menekankan pentingnya Pancasila dipraktikkan secara konsisten dalam kehidupan masyarakat.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini berbunyi “demi kebesaran, keluhuran Allah”. Manusia yang diciptakan Allah secara logika adalah manusia yang hidupnya diarahkan demi kebesaran dan keluhuran Allah. Pemikiran vertikalistis seperti itu harus menjadi mindset dari sosok manusia Indonesia sehingga pikirannya dibersihkan dari libido berkorupsi, membegal, merampok, membunuh, meneror, memperdangkan anak dan perempuan, melakukan kejahatan seksual dan perbuatan aib lainnya.
Membersihkan otak dari virus dunia sekuler berlumuran aib dan dosa amat perlu bagi manusia Indonesia sehingga sebutan Indonesia sebagai negara beragama, negara yang warganya beragama tidak menjadi sebuah _contradictio in terminis_ hanya karena sebagian warganya berulang melakukan perbuatan aib yang mencederai agama.
Demi kebesaran dan keluhuran Allah, Sang Maha Pencipta, maka kita semua warga bangsa harus dengan ikhlas dan sekuat tenaga menghentikan ujaran kebencian, meniadakan sikap arogansi keagamaan dan superioritas agama, merendahkan agama dan rumah ibadah di ruang publik, memproduksi hoax, saling menghujat demi mendulang suara, dan berbagai perbuatan lain yang kontra produktif dalam konteks memelihara kesatuan NKRI yang majemuk. Dalam tahun politik, sikap politik yang elegan, bermoral dan berkeadaban tetap merupakan agenda yang mesti diwujudkan. Kita bisa saja berbeda dari segi afiliasi politik, aliran, mazhab, denominasi, suku, agama, golongan tapi kita tetap satu sebagai bangsa dan tetap satu sebagai makhluk ciptaan Allah yang harus memuliakan namaNya melalui perilaku kita.
Selamat Berjuang. God Bless.
*Weinata Sairin.*