Pdt Weinata Sairin: Tuhan, Cepatlah Tolong Kami.

0
1229

 

 

_”Domine, ad adjuvandum me festina. Tuhan, bergegaslah menolong kami”_.

 

Manusia modern cenderung menjadi manusia yang amat spesialistik, yang mampu melakukan tugasnya hanya di satu bidang yang memang ia dalami dan ia kuasai dengan baik. Tatkala ada masalah di bidang yang lain, ia sama sekali tidak tahu sedikitpun tentang permasalahan itu sehingga ia memerlukan bantuan dan pertolongan orang lain. Dalam arti tertentu realitas itu amat positif sehingga seseorang benar-benar menguasai ilmu dan keterampilan di suatu bidang tertentu hingga hal-hal yang amat teknis dan detil serta hasilnya pun berkualitas tinggi. Namun hal yang  negatif dan kontra produktif bisa terjadi jika realitas seperti itu memicu arogansi individual sehingga tujuan yang hendak dicapai secara bersama terkendala.

 

Manusia, mahkluk termulia ciptaan Allah, adalah manusia yang terpanggil untuk membangun dan mengembangkan relasi. Itulah privilege dan hakikat manusia; realitas dan ekspresi kemanusiaan tidak dalam kondisi _sempurna_ jika dimensi relasional dari manusia tidak mendapat ruang. Manusia mengembang-mantapkan relasi pada aras horisontal dan vertikal. Horisontal, dalam arti relasi dengan sesamanya manusia, tanpa mempertimbangkan keberbedaan yang ada. Manusia berelasi dengan banyak orang mulai dari “orang biasa”, hingga “orang besar”, dari ‘the man in the street’ hingga ‘kelompok elit’. Ia berkomunikasi, membangun _networking_,  membangun aliansi strategis sehingga dapat dihadirkan kehidupan yang lebih baik bagi individual ataupun komunal. Apalagi dalam dunia digital sekarang ini, dengan pesatnya perkembangan IT maka relasi antar manusia hanya sebatas ‘ujung jari ( ditambah merk dan type handphone). Komunikasi dilakukan dalam hitungan detik, itulah sebabnya jika kita dalam kondisi normal dan standar, lalu membalas Wa Atau Sms atau email kepada kita hingga berhari-hari maka kita tampa sadar telah mengubah era digital, _zaman Now_ ini dengan zaman batu.

 

Komunikasi _vertikal_ kita lakukan setiap saat sebagai umat beragama/berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Umat beragama di negeri ini : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu -nama dan urutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan RI-, saudara-saudara penganut Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa telah memiliki aturan standar dan baku tentang _kapan_ dan _bagaimana_ sebuah relasi vertikal itu di laksanakan. Setiap agama dan Kepercayaan kepada Tuhan YME telah merumuskan dengan tepat, adequat, standar tentang hal itu yang telah difahami oleh umat masing-masing agama. Komunitas agama bersama Majelis-majelis Agama (MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI, MATAKIN) telah memiliki aturan masing-masing berbasis Kitab Sucinya kapan relasi vertikal itu dilakukan baik dirumah maupun dirumah ibadah (Mesjid, Gereja, Pura, Vihara, Kelenteng).

 

Dalam konteks itu sesuai dengan jiwa dari _Negara Pancasila_ maka peran Negara adalah memberi fasilitasi agar aktivitas vertikal umat beragama/berkepercayaan kepada Tuhan YME dapat terwujud dengan baik. Pemerintah melindungi dan memberi jaminan agar tiap-tiap penduduk memilih agama, memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu (vide : UUD NRI 1945 Pasal 28 E, 29).

 

Realitas empirik yang dihadapi sekarang harus diakui bahwa kehidupan umat beragama belum sepenuhnya mewujud dengan baik sesuai dengan dasar negara Pancasila dan UUD NRI 1945. Tidak perlu kita mencari siapa yang salah dalam hal ini apalagi mesti melahirkan “kambing hitam”. Tatkala para penyelenggara negara memahami diri sebagai negarawan yang mesti _melayani_ seluruh warga bangsa, dan tidak memahami diri lebih sebagai _wakil agama_ dalam birokrasi maka semua kendala misalnya pembangunan rumah ibadah, di seluruh wilayah NKRI, tidak terkendala. Jika seluruh warga bangsa mengembangkan sikap toleran, inklusiv, apresiatif terhadap Agama-agama dan Kepercayaan kepada Tuhan YME maka problema yang dihadapi tidak akan terlalu besar. Memang sikap toleran, inklusiv, apreasiatif yang mesti dikembangkan dikalangan seluruh warga bangsa termasuk para penyelnggara negara, bukan hal mudah dan sekali jadi. Hal itu harus menjadi lifestyle dari seluruh anak negeri.

 

Pemantapan pemikiran dan sikap seperti itu mesti ditanamkan mulai dari keluarga, komunitas masyarakat, komunitas keagamaan, lembaga pendidikan, dan berbagai institusi baik swasta maupun pemerintah.

 

Tentu saja hal seperti itu sudah dilaksanakan oleh berbagai komunitas dan lembaga dalam berbagai bentuk dan varian. Hal yang penting dievaluasi kedepan adalah bagaimana frekuensi/intensitas program itu; bagaimana bentuk program itu mampukah diterima dengan baik oleh umat; apa dampak program itu bagi kehidupan umat/masyarakat di lokus tertentu.

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini adalah ekspresi seorang yang beragama yang benar-benar sadar akan kelemahannya, yang sadar pentingnya membangun relasi vertikal. Ada dua kata kunci pada pepatah itu, *bergegas* dan  *menolong*. Kondisinya tentu sudah gawat, emergency. Bergegas artinya cepat, segera, sejenis ‘cito operasi’.  Tak bisa ditunda lagi pertolongan Tuhan itu.

 

Sebagai bangsa kita juga sebenarnya mengalami kondisi yang “emergency” oleh berbagai dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kita yang majemuk. Memanasnya suasana politik dalam konteks Tahun Politik, peristiwa kerusuhan napiter yang mengakibatkan gugurnya lima orang putra terbaik bangsa, beredarnya berita hoax yang mendiskreditkan individu/lembaga, yang kesemuanya berpotensi merusak persatuan bangsa.

 

Kita semua mesti mengontak Tuhan YME seintensif mungkin, memohon belas kasihan dan pertolongan Tuhan, agar Ia menghadang kerusakan dan kehancuran bangsa ini. Sementara itu kita juga manusia yang secara riil hidup di bumi, makin dewasa  makin berhikmat dan mampu mengendalikan diri sehingga tercipta kehidupan yang nyaman, aman dan harmonis. Manusia, mkhluk mulia ciptaan Allah pasti bisa melakukan hal itu apalagi jika Allah, Tuhan YME menopang dalam cinta kasihNya yang otentik, sejati dan tiada mengenal akhir.

 

Selamat Berjuang. God Bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here