“Virtute me in involvo. Aku terlibat dalam kebajikan”.
Menurut guru bahasa Indonesia, yang dulu amat cermat mengajarkan bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas, kalimat bahasa Indonesia itu ada dua jenis, yaitu kalimat konotasi dan kalimat denotasi. *Kalimat Konotasi* adalah kalimat yang memiliki makna eksplisit atau makna yang bukan sebenarnya di kalimat. Kalimat konotasi biasanya mengandung ungkapan atau kiasan tertentu; kalimat konotasi bisa positif bisa juga negatif. Contoh yang positif misalnya “lapang dada”. Contoh yang negatif : “panjang tangan”. Kalimat konotasi banyak digunakan pada karya sastra Indonesia: cerpen, novel, puisi dsb. *Kalimat Denotasi* adalah kalimat yang menunjuk kepada makna yang sebenarnya; kalimat jenis ini menyampaikan apa yang sebenarnya, sesuai dengan faktanya. Kalimat Denotatif banyak digunakan dalam penulisan ilmiah, hasil penelitian, jurnal, dsb. Contoh kalimat denotatif : “Yudi menaruh buku itu diatas _meja hijau_ yang ada diruangan itu.” Dalam kalimat Konotatif bisa terjadi kata “meja hijau” itu dimaknai “pengadilan”.
Dalam bahasa Indonesia yang kita pergunakan dalam percakapan, kita acapkali bertemu dengan kata-kata atau kalimat yang memiliki _konotasi_. Konotasi adalah makna kultural atau emosional yang bersifat subyektif dan melekat pada suatu kata atau frasa. Konotasi juga adalah tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang tatkala ia berhadapan dengan sebuah _kata_. Ada contoh-contoh yang bisa menjelaskan hal itu. Kata “lokalisasi” misalnya. Dalam waktu yang lama kata “lokalisasi” memiliki konotasi yang mengarah ke _pornografi_ karena kata tersebut sering dan hanya digunakan dalam konteks “lokalisasi prostitusi”. Dulu seperti yang diketahui secara luas, memang ada tempat-tempat lokalisasi seperti itu di Jakarta, Bandung dan berbagai tempat lainnya. Oleh karena konotasi yang mengandung makna _pornea_ itu maka orang tidak mau menggunakan kata “melokalisasi persoalan”.
Sesudah petistiwa G 30 S/PKI yang terjadi 30 September 1965 kata “terlibat”, dengan berbagai turunannya tidak digunakan lagi secara umum oleh masyarakat karena ada konotasi yang negatif bahkan yang sewaktu-waktu bisa menjebloskan seseorang ke dalam penjara. Sesudah peristiwa berdarah yang menggemparkan dunia internasional itu, seseorang di negeri ini untuk berbagai keperluan harus memiliki surat keterangan yang menyatakan bahwa ia tidak _terlibat_ pemberontakan G 30 S/PKI. Jadi kata “terlibat” yang pada awalnya netral sesudah peristiwa itu pemaknaannya menjadi dipersempit kepada keterlibatan seseorang pada peristiwa G30 S/PKI. Agaknya hingga zaman _now_ konotasi seperti itu masih tetap dirasakan oleh masyarakat luas.
Di zaman Orde Baru memang amat terasa bahwa bahasa, kata, istilah itu menjadi instrumen kekuasaan. Misalnya kata “diamankan” pada zaman itu adalah orang yang dianggap mengacau/subversif lalu ditangkap oleh petugas tanpa proses standar dan dijebloskan kedalam tahanan. Kata “di sukabumikan” pada zaman itu bukan berarti diajak berwisata ke Sukabumi dan menikmati kue mochi atau menyantap sate kelinci. “Disukabumikan” artinya mayat yang sudah dikarungkan dibawa petugas untuk dibuang ke laut lepas di Sukabumi Selatan. Itu cerita yang tersisa dari zaman Orba yang hingga kini tetap membekas. Hal yang sangat menyinggung rasa keagamaan (Kristen) adalah penciptaan akronim *Petrus* (=penembakan misterius) bagi orang yang dianggap melawan penguasa, orang itu ditembak secara rahasia lalu di sukabumikan. Keberatan tentang penggunaan kata Petrus yang adalah nama Rasul dalam Alkitab, untuk aktivitas pembunuhan seperti itu pernah disampaikan kepada Bapak Andi Malarangeng pada saat beliau berada di kabinet.
Dengan memahami realitas adanya pengertian yang berdimensi konotatif pada setiap _kata_, _istilah_ maka kita harus selalu hati-hati dan saksama dalam menggunakan kata/istilah baik dalam bentuk lisan maupun tertulis.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyatakan “aku terlibat dalam kebajikan”. Isi kalimat ini sebenarnya sangat positif oleh karena memberitakan seseorang yang terlibat dalam aktivitas kebajikan. Seseorang yang terlibat, ikut ambil bagian, berkontribusi dalam perbuatan kebajikan tentu merupakan hal yang sangat mulia dan patut dipuji. Penggunaan kata “terlibat” untuk hal-hal yang positif secara terus menerus pada saatnya nanti akan “membebaskan” kata tersebut dari konotasi negatif (keterkaitan dengan pemberontakan G.30.S/PKI 1965).
Sebagai umat beragama kita terus menerus terpanggil untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dalam berbagai bentuk. Ajaran agama secara eksplisit mewajibkan umat untuk melakukan perbuatan baik sebagai wujud syukur umat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam sebuah dunia yang cenderung makin riuh, berbalut konflik dan jauh dari kenyamanan, perbuatan kebaikan, keterlibatan dalam aktivitas kebajikan menjadi hal yang amat penting dan signifikan.
Ruang-ruang untuk menabur kebaikan, untuk melibatkan diri dalam melakukan kebajikan amat luas. Aktivitas dan kesibukan seseorang dalam melakukan kebajikan, akan banyak mempengaruhi tingginya tingkat kehebohan, konflik, ketidaknyamanan yang mewarnai kehidupan kita secara umum. Mari kita mengimplementasikan ajaran agama kita secara praksis dengan mewujudkan perbuatan kebajikan ditengah perjalanan sejarah.
Selamat Berjuang. God Bless.
*Weinata Sairin.*