“Gula plures interemit quam gladius. Kerakusan itu (dapat) membinasakan lebih banyak hal dibandingkan dengan pedang”.
Pada masa kanak-kanak, sekitar 60 tahun yang lampau, memperhatikan kerbau yang membajak sawah adalah sesuatu yang cukup menarik. Kerbau lebih banyak dipilih penduduk untuk menarik bajak di sawah ketimbang sapi yang lebih banyak digunakan untuk menarik kereta yang terbuat dari kayu yang biasa digunakan membawa berbagai benda hasil bumi atau benda lainnya. Pada zaman itu mobil truck yang kecil atau besar belum banyak di produksi. Tenaga kerbau atau “daya sensitivitas” kerbau lebih kuat dan lebih tajam dibanding dengan sapi. Itu alasan penduduk mengapa kerbau lebih banyak digunakan dalam urusan membajak sawah. Dari segi harga konon kerbau lebih murah dibanding sapi. Penduduk disekitar itu biasanya juga memotong kerbau dalam rangka merayakan hari Lebaran. Kata “rakus”acapkali dikenakan kepada kerbau karena hewan ini bisa diberi makan dari daun/rumput apa saja tanpa memilih-milih.
Oleh karena kerbau itu rakus dalam hal makanan, maka kualitas dagingnya juga berbeda dengan daging sapi. Daging sapi lebih halus, sementara daging kerbau lebih kasar dan terlihat jelas serat-seratnya. Daging sapi banyak dijual di pasar-pasar karena masyarakat lebih menyukainya, dibanding dengan daging kerbau yang agak sulit didapat dan tidak semua orang menyukainya.
Pada awalnya kata _rakus_ lebih dikenakan kepada hewan/binatang utamanya yang bisa memakan benda apa saja, mulai dari dedaunan hingga hewan-hewan kecil atau daging binatang. Namun dalam perkembangan selanjutnya ternyata kata _rakus_ itu juga digunakan untuk manusia, untuk figur seseorang. Orang-orang yang menguasai bisnis dari hilir dan hulu, yang bergerak di bisnis retail hingga importir mobil, properti, saham, itu biasanya dijuluki orang yang “rakus”, bukan multi talenta atau orang yang sangat berhasil dibidang bisnis.
Dalam beberapa kamus, kata _rakus_ sering diartikan dengan “keinginan untuk melahap makanan dengan banyak”, “ingin memperoleh segala sesuatu dengan sebanyak-banyaknya”. Selain kata _rakus_ di kamus disebut juga beberapa sinonimnya antara lain “gelojoh”, “kemaruk”, “loba”, “tamak”. Kata *tamak* berasal dari bahasa Arab yang bermakna “cinta kepada dunia (harta) dengan terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum haram yang mengakibatkan dosa besar”. Orang tamak biasanya selalu ingin memperoleh segala sesuatu yang banyak untuk diri sendiri, sementara ia bersikap kikir terhadap orang lain.
Keinginan si rakus terhadap benda lain itu bukan karena ia butuh atau tidak punya benda itu tetapi karena ia ingin memiliki sesuatu benda itu lebih dari satu. Dalam kehidupan praktis kita banyak bertemu dengan orang dari tipe seperti itu. Ia akan berjuang all out untuk memperoleh sesuatu benda walau benda seperti itu telah banyak ia miliki.
Mereka yang melakukan korupsi itu, agaknya bisa masuk dalam kategori serakah sebab mereka pada umumnya adalah orang-orang yang kaya raya, yang memiliki cluster, apartemen, gedung putih bukan rumah beratap rumbia atau terpal yang bisa direnovasi hanya karena diikutkan program bedah rumah yang dilakukan stasiun tv swasta.
Sangat menggugah kita bahwa pepatah yang kita kutip diawal menyatakan bahwa “kerakusan itu bisa membinasakan lebih banyak hal dibandingkan dengan pedang”. Artinya kerakusan itu amat dan lebih berbahaya dari pedang. Kerakusan itu bukan sebuah benda, seperti pedang. Pedang, setajam apapun, penggunaannya bisa dikontrol, bahkan bisa dicegah. Penggunanya di lobby, di nasihati, diberikan “pastoral” maka _pemedangan_ bisa dihambat dan dihentikan. Pedang adalah benda yang kasat mata yang bisa dilihat dengan amat jelas. Kerakusan adalah prilaku, sikap, katakter yang terikat erat, inhaeren, dengan kedirian manusia. Kerakusan diawali dengan hasrat di dalam nurani; tidak nampak secara kasat mata; kerakusan tumbuh dalam proses internal didalam diri. Itulah sebabnya tingkat dan bobot kebahayaan dari ‘kerakusan’ lebih kuat dibanding dengan ‘pedang’.
Dengan demikian maka kita semua harus lebih fokus dan bersungguh-sungguh dalam hal melawan kerakusan yang hadir dalam ruang-ruang kehidupan kita. Melalui keluarga, sekolah, komunitas, lembaga keagamaan, pembiasaan virus si rakus itu bisa kita tundukkan. Pedang bisa kita arahkan ke sawah, hutan, padang ilalang, dan sebagainya; tidak ke kerumunan manusia agar tidak terjadi pertumpahan darah. Mari melawan keserakahan, kerakusan, mulai dari diri sendiri, keluarga, keluarga besar, dengan niat baik *(nawaitu)* dan mohon hikmat Tuhan, kita yakin kita akan berhasil.
Selamat Berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*