“Felix quem faciunt aliena pericula cautum. Berbahagialah mereka yang dapat menjadi hati-hati karena cobaan (yang diterima oleh) orang lain.”
Hidup umat manusia itu adalah kehidupan komunal, bukan kehidupan yang individual. Sejak awal sejarah manusia, narasi kitab suci amat jelas menyatakan bahwa “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18). Kemudian sesudah itu Allah membuat Adam manusia pertama itu tidur nyenyak dan pada saat itulah Allah mengambil salah satu rusuk dari Adam lalu menutup tempat itu dengan daging. Dari rusuk itulah dijadikanNya seorang perempuan lalu dibawaNya kepada Adam. Adam berkara : “Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan sebab ia diambil dari laki-laki” ( Kejadian 2 : 21-23). Narasi-narasi sebagaimana dimuat dalam Alkitab itu bukan saja menegaskan tentang pentingnya “keduaan”, dualitas manusia, yang kemudian, lebih ditafsirkan dalam perspektif suami istri; tetapi juga bahwa kedua manusia itu setara, sekaligus komplementer.
Perempuan itu adalah _penolong yang sepadan_ dari lelaki bernama Adam. Walaupun dari segi “kronologi” perempuan bernama Hawa itu diciptakan sesudah penciptaan laki-laki, dan diri perempuan itu dirakit dari rusuk Adam, posisi Hawa tidaklah menjadi *sub* dari laki-laki. Hawa adalah penolong yang sepadan dari Adam, kelengkapan manusia hanya benar-benar lengkap dan sempurna dalam realitas dualitas itu. Bahwa kemudian oleh karena tugas panggilan dan atau karena keputusan pribadi yang dilakukan, seseorang itu memilih untuk tetap hidup sendiri, kondisi itu harus diapresiasi.
Dalam konteks itu kemudian manusia disebut _makhluk sosial_ ya homo socius, dalam arti bahwa ia hidup dalam dimensi relasional, dalam ikatan-ikatan sosial. Dalam dunia yang sudah berangkat menjadi sebuah desa global, dunia tanpa batas (borderless) manusia saling terhubung setiap saat dari pedalaman Singkawang, Asmat, Kawangkoan dengan Dubai, Ukraina, atau Hongkong berkat canggihnya IT di zaman kini. Dalam kondisi seperti ini, dalam sebuah dunia yang terbuka dan transparan, manusia tak bisa lagi hidup dalam ghetto-ghetto dan dalam belenggu primordialistiknya masing-masing.
Setiap saat kita berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang yang sangat berbeda : pendidikan, status sosial, tradisi budaya, agama, afiliasi politik. Walau mereka berbeda tapi kita tetap memiliki kesamaan dengan mereka: kesamaan bangsa, kesamaan sebagai makhluk ciptaan Allah. Keberbedaan itu mengayakan dan memperluas wawasan kita dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Kita mengapresiasi dan menikmati keberbedaan itu sebagai rahmat Allah bahkan kita bisa belajar dari keberbedaan itu. Jika di televisi ada tayangan tari Jeumpa Aceh nikmatilah itu. Jika ada pembacaan kitab suci di stasiun tivi tak usah ganti chanel dengarkanlah alunan suara qori atau coriyah yang membaca ayat-ayat suci dengan penuh penghayatan.
Setiap saat kita menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang menimpa sahabat kita atau orang-orang yang kita kenal, atau juga para tokoh dan petinggi negeri. Ada sahabat yang meninggal mendadak, ada penculikan, ada begal, pembunuhan orangtua oleh anak, pengedar sabu tertangkap, terkena OTT nya KPK, dan sebagainya. Di belahan dunia yang lain banyak sekali peristiwa besar yang terjadi, tabrakan kereta api dengan mobil, pembunuhan, penangkapan koruptor dan lain lain
Bagaimana kita menanggapi kondisi-kondisi yang mendera sahabat atau orang yang kita kenal ? Sebagai sahabat kita harus menunjukkan sikap empati kepada sahabat kita yang mengalami masalah dalam kehidupannya apapun masalah yang ia hadapi. Kita bisa menemuinya dan menyatakan secara khusus rasa empati kita sambil menguatkan dia agar Tuhan menolongnya dalam menghadapi permasalahan itu. Dalam kondisi tertentu, dan kita dengan sahabat itu beragama sama, bisa kita tawarkan untuk berdoa bersama memohon penguatan dan pendampingan Tuhan. Dalam menghadapi kondisi seperti itu tak boleh muncul perasaan bahwa kita lebih “suci” dari sahabat kita itu.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyadarkan kita agar kita bisa belajar dari pengalaman orang lain. Kita tidak boleh menertawakan, menghakimi dan merasa diri menjadi pemenang tetapi kita harus lebih berhati-hati dalam menjalani kehidupan agar tidak jatuh pada lubang yang sama seperti yang dialami sahabat kita. Kita harus lebih dekat kepada Tuhan, lebih humble dan elegan lebih setia dalam menjalankan perintah agama dalam hidup kita.
Selamat Berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*