Pdt. Weinata Sairin: Hidup Berlimpah Kebajikan, Hidup Berpengharapan

0
1637

 

 

“Virtus magis percepta per habitum quam doctrinam. Kebajikan itu diperoleh lebih melalui kebiasaan, dari pada melalui ajaran”.

 

 

Acapkali kata “kebiasaan” itu lebih dimaknai dalam konotasi yang “negatif”.  Hal itu tercermin dari beberapa kalimat yang diserap dari kehidupan praktis. “Anak itu tak boleh melihat benda tergeletak, ia sudah kebiasaan mencuri”. “Ia kebiasaan datang terlambat di sekolah”. “Pegawai itu sudah kebiasaan membuat laporan keuangan yang berbeda”. “Penduduk kampung itu kebiasaannya menaruh “sesajen” di pohon yang besar agar terhindar dari malapetaka”. Dari pengalaman praktis ternyata penggunaan kata ‘kebiasaan’ lebih kuat dan dominan kearah yang bermakna negatif, bukan atau jarang yang berkonotasi positif.

 

Ayah dan ibu kita sejak kita masih kecil dengan tekun dan “telaten” mengajarkan kebiasaan yang baik dan positif kepada kita, dalam banyak hal. Mulai dari aktivitas beribadah, memberi hormat kepada orang yang lebih tua, membereskan tempat tidur pada saat bangun tidur, bersilaturahim kepada saudara, berhemat, dan sebagainya, dan sebagainya. Kita tahu dan amat sadar bahwa nasihat serta kebiasaan baik yang ditanamkan orang tua sejak kita kecil sangat membekas hingga kita dewasa dan bahkan sangat bermakna dalam kehidupan kita.

 

Ada juga kebiasaan-kebiasaan buruk yang ‘dikoreksi’ oleh orangtua kita, misalnya suka bangun tidur sudah siang hari, suka menggunakan kata-kata kotor dan penghinaan kepada kawan-kawan sepermainan, suka ‘kleptomani’ dan sebagainya.

 

Begitu banyak “kebajikan” yang kita warisi dari kedua orang tua kita, bahkan dari keluarga besar orang tua kita. Kebajikan itu ditransfer kepada kita melalui banyak cara : secara verbal, melalui kata-kata, melalui tindakan keteladanan, atau melalui implementasi praktis ajaran agama. Sesudah melaksanakan ibadah bersama biasanya orangtua mengulangtegaskan kembali inti pokok dari nilai agama yang telah diuraikan dalam ibadah yang telah diikuti bersama.

 

Bahkan pada kesempatan itu ada dialog dan diskusi panjang seputar nilai-nilai agama yang dipresentasikan dalam ibadah, dan bagaimana praktiknya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bijaksana biasanya orang tua menasihati agar hal-hal yang baik yang kita lihat dan dialami dalam kehidupan sehari-hari harus ditiru dan diteladani.

 

Dalam dialog dengan orangtua, hal yang selalu diingatkan bahkan meminta untuk dijadikan *kebiasaan* bukan hanya rajiin beribadah, tetapi juga “sopan santun” atau “tahu adat” dan “kejujuran_

 

Dalam hal ‘sopan santun’ ada kisah menarik dari seorang Jenderal. Evan F. Carlson, seorang komandan marinir, selalu merokok dimanapun dan kapanpun saat ia menginginkannya. Pada suatu saat ia berkunjung ke kantor koran “The Christian Science Monitor” di Boston. Di kantor itu memang para tamu tidak diperkenankan merokok. Oleh karena Sang Jenderal itu perokok maka diruangan itu waktu ia mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya ia bertanya kepada Editor, pemilik.kantor itu “Apakah anda keberatan jika aku merokok disini?”. “Silakan saja” kata Editor, “meskipun belum pernah ada seorangpun yang mekakukannya”. Sang Jenderal kemudian memasukkan kembali rokoknya itu kedalam sakunya.

 

Sopan santun memang sebuah tindakan mahal tapi elegan. Sopan santun berarti pengendalian diri, mengorbankan hobby demi orang lain. Jendral Carlson telah memberi teladan yang amat baik bagi kita semua.

 

Ajaran agama sejatinya dipenuhi dengan begitu banyak nilai-nilai kebajikan yang holistik, komprehensif yang amat berguna bagi manusia dalam kehidupan dunia-akhirat. Sayangnya nilai-nilai itu acap difahami lebih sebagai sebuah teks dogmatis sehingga terabaikan untuk diderivasi, di break down sebagai narasi-narasi kebajikan.

 

Pepatah kita menyatakan bahwa kebajikan itu lebih banyak didapat dari kebiasaan dari pada melalui ajaran. Dari pengalaman empirik ternyata tidak nampak aspek “dikotomis” itu; kebajikan itu hadir dalam diri kita melalui dua pintu yaitu kebiasaan dan ajaran. Mari kita mewujudkan kebajikan dalam hidup kita. Kebajikan akan menghadang dan menggerus kehidupan yang keras, garang dan penuh ujaran kebencian. Kebajikan yang berlimpah akan menghadirkan cinta kasih, hidup yang penuh harmoni dan sukacita.

 

Selamat Berjuang. God Bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here