Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
Ratapan 1:1-9
(1) Ah, betapa terpencilnya kota itu, yang dahulu ramai! Laksana seorang jandalah ia, yang dahulu agung di antara bangsa-bangsa. Yang dahulu ratu di antara kota-kota, sekarang menjadi jajahan. (2) Pada malam hari tersedu-sedu ia menangis, air matanya bercucuran di pipi; dari semua kekasihnya, tak ada seorang pun yang menghibur dia. Semua temannya mengkhianatinya, mereka menjadi seterunya. (3) Yehuda telah ditinggalkan penduduknya karena sengsara dan karena perbudakan yang berat; ia tinggal di tengah-tengah bangsa-bangsa, namun tidak mendapat ketenteraman; siapa saja yang menyerang dapat memasukinya pada saat ia terdesak. (4) Jalan-jalan ke Sion diliputi dukacita, karena pengunjung-pengunjung perayaan tiada; sunyi senyaplah segala pintu gerbangnya, berkeluh kesahlah imam-imamnya; bersedih pedih dara-daranya; dan dia sendiri pilu hatinya. (5) Lawan-lawan menguasainya, seteru-seterunya berbahagia. Sungguh, TUHAN membuatnya merana, karena banyak pelanggarannya; kanak-kanaknya berjalan di depan lawan sebagai tawanan. (6) Lenyaplah dari puteri Sion segala kemuliaannya; pemimpin-pemimpinnya bagaikan rusa yang tidak menemukan padang rumput; mereka berjalan tanpa daya di depan yang mengejarnya. (7) Terkenanglah Yerusalem, pada hari-hari sengsara dan penderitaannya, akan segala harta benda yang dimilikinya dahulu kala; tatkala penduduknya jatuh ke tangan lawan, dan tak ada penolong baginya, para lawan memandangnya, dan tertawa karena keruntuhannya. (8) Yerusalem sangat berdosa, sehingga najis adanya; semua yang dahulu menghormatinya, sekarang menghinanya, karena melihat telanjangnya; dan dia sendiri berkeluh kesah, dan memalingkan mukanya. (9) Kenajisannya melekat pada ujung kainnya; ia tak berpikir akan akhirnya, sangatlah dalam ia jatuh, tiada orang yang menghiburnya. “Ya, TUHAN, lihatlah sengsaraku, karena si seteru membesarkan dirinya!”
Pada tahun 597 dan 586 sebelum Masehi kota Yerusalem direbut dan dihancurkan oleh tentara Babel. Keagungannya yang sering dikiaskan sebagai “ratu” sirna dan berubah wajah menjadi “janda” yang sedih. Dalam situasi seperti ini Yeremia, melalui syair-syairnya mendorong umat untuk percaya kepada Allah sebab tidak untuk selamanya Ia menghukum. Memang, harus diakui, kehancuran Yerusalem adalah wujud penghukuman Tuhan atas dosa-dosanya (ay. 8). Sebelumnya, Yeremia tidak henti-hentinya mengingatkan betapa dalamnya mereka telah jatuh ke dalam dosa. Jika mereka tidak bertobat, hukuman besar dari Tuhan akan menimpa mereka. Tapi ternyata mereka tetap mengeraskan hatinya.
Dalam situasi yang pahit, Yeremia terus mendorong umat untuk menyesali dosa-dosanya di hadapan Allah. Ia mengajarkan bahwa Tuhanlah yang benar, apa yang dinubuatkan akan terjadi. Dia tidak pernah salah dengan apa yang telah difirmankan-Nya. Namun, jika manusia menderita, itu karena pemberontakan mereka kepada Tuhan dan firman-Nya, bukan karena Tuhan tidak menyayangi mereka. Tuhan justru telah memberikan kesempatan yang cukup untuk bertobat, tetapi mereka tetap saja membelakangi-Nya. Mereka malah pergi dan bersandar kepada kekuatan Mesir dan Asyur (Yer. 2:12, 36) dan lebih percaya kepada nubuat palsu nabi Hananya (Yer. 28). Maka hukuman Tuhan pun terjadilah dan tidak ada yang dapat menghalanginya.
Tetapi Yeremia tetap percaya bahwa Allah tetaplah Allah yang penuh kasih. Meski telah menjatuhkan penghukuman-Nya, Ia tetap mengingat manusia. Itulah sebabnya Yeremia, atas nama umat yang menderita, berseru, “Ya, Tuhan, lihatlah sengsaraku …” (ay. 9). Yeremia tahu bahwa tanpa campur tangan Tuhan mereka akan makin terpuruk dan beban penderitaan mereka akan terus meningkat. Mewakili umatnya ia datang kepada Allah dan memohon belas kasih-Nya.
Banyak penderitaan masa kini terjadi karena pemberontakan kita kepada Tuhan. Kita membelakangi-Nya karena kita merasa cukup aman dengan mengandalkan orang lain yang dianggap kuat dan dapat dipercaya. Padahal dalam Mazmur 146:3 dikatakan, “Janganlah percaya kepada para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan”. Tetapi, dalam kenyataannya, inilah yang dilakukan. Kita mengandalkan manusia dan meninggalkan Tuhan. Akhirnya, apa yang terjadi? Seperti orang-orang Yerusalem, kita pun akhirnya menderita karena orang-orang yang kita andalkan sesungguhnya tidak dapat menolong kita. Mereka meninggalkan kita. Sudah begitu, kita bukannya berbalik kepada Tuhan tapi mencari-cari sumber masalah kepada orang lain. Kitapun saling menyalahkan. Jika ini yang kita lakukan, maka sudah dapat dibayangkan, betapa beratnya penderitaan yang kita tanggung. Seharusnya kita sadar dan berbalik kepada Tuhan. Mohon Tuhan menilik dan menolong kita dalam penderitaan yang kita hadapi.
Minggu Adven pertama yang kita jalani saat ini sebenarnya mau mengarahkan kita bahwa sumber pertolongan kita dalam penderitaan dunia ini adalah Allah. Ia mau datang menemui kita dalam Yesus Kristus, sebab Ia adalah Imanuel, Allah beserta kita. jadi, apapun masalah dan penderitaan yang kita hadapi, jika kita berseru kepada-Nya, Ia akan menolong kita. Ia akan datang menyertai dan mengangkat kita. Akan tetapi, jika kita menjauh dari-Nya dan lebih mengandalkan kekuatan manusia, kita akan hidup sebagai orang-orang terhukum dan menanggung penderitaan yang berat.