Pdt. Weinata Sairin: Tiada Takut Dijemput Maut!

0
2270

 

“Pallida mors aequo pulsat pede pauperum tabernas/regumque turres. Dengan langkah yang sama, kematian yang tanpa warna mengetuk gubuk si miskin atau benteng sang raja”.

 

Maut, kematian adalah sebuah kepastian. Satu-satunya kepastian yang benar-benar pasti dalam sebuah kehidupan, adalah kematian. Yang lain selalu bersifat relatif, jadwalnya tentative. Namun kepastian dalam konteks kematian itu, tidak diharapkan. Kedatangannya sering dihambat, dipending, ditunda, di embargo. Dalam doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau dalam ucapan selamat hari ulang tahun kepada siapapun, kita selalu mohon atau mengucap “semoga panjang umur”. Setiap orang merindukan umur yang panjang, sehat dan kontributif. Dengan bahasa Chairil Anwar seorang penyair Indonesia terkenal Angkatan 45, setiap orang ingin menyatakan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Suasana kebatinan Chairil dizaman itu tentu berbeda dengan kita di era digital sekarang yang relatif bebas. Ia yang menyatakan diri “binatang jalang” ingin keluar dari keterkungkungan budaya dan tradisi saat itu, ingin bebas dari format-format berdimensi *waktui*

 

Itulah sebabnya ia berteriak keras “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Ia tidak ingin terpenjara dalam waktu. Ia ingin mengatasi waktu. Berbeda tentu situasi tahun 40-an, dengan zaman kita di kekinian zaman tatkala seorang Jepang Kazuo Ishiguro memenangkan hadiah nobel Sastra melalui novelnya 1989 berjudul “The Remains of the Day”. Setiap zaman dengan konteksnya yang khusus melahirkan “jeritan-jeritan” seperti jeritan si binatang jalang Chairil Anwar.

 

Maut, kematian walau kedatangannya tidak diharapkan namun banyak penyair yang menjadikannya sebagai tema dalam puisinya. Pablo Neruda, penyair Chili kelahiran 1904 dalam puisinya berjudul “Maut Sendiri” menulis antara lain :

“Ada pekuburan sepi/

kubur-kubur penuh belulang dan senyap/

hati melewati suatu trowongan/

gelap, gelap, gelap/

bagai dikapal terdampar kita mati dari dalam/

kala tenggelam dalam hati/

kala jatuh-lepas dari kulit masuk jiwa……”

 

Salah satu bait puisi Pablo Neruda ini ingin menggambarkan sepi dan sunyinya kematian. Ada gelap menyergap, tulang-tulang yang tergolek dikubur pekat kesemuanya menggambarkan sunyi dan sepi yang melekat kuat.

 

Isma Sawitri penyair Indonesia kelahiran 1940 menulis dalam puisinya berjudul “Percakapan Tentang Mati” seperti ini :

“Hidup ini melesat tetapi bukan anak panah yang dihunjamkan/

mati itu selesai tapi bukan akhir dengan peluit panjang/

antara banting tulang, berita perang dan gunjing ringan seharian/

kita terempas dan kita bercumbu/

dan kita berkemas-kemas menyongsong ketidakpastian baru..”

 

Menarik ungkapan Sawitri bahwa “mati itu selesai tapi bukan akhir”. Artinya bagi Sawitri mati bukanlah kata terakhir. Mati bukanlah ujung, pelabuhan akhir. Ibarat tanda baca, mati adalah *koma* dan bukan *titik*.

 

Agama-agama memahami bahwa kematian itu bukanlah akhir segalanya. Kematian adalah semacam “ruang transit” bagi manusia sebelum manusia memasuki sebuah kehidupan baru di dunia yang baru. Berapa lama waktu transit itu bukan termasuk waktu manusia lagi sebab itu manusia tidak bisa mempercakapkannya secara teknis.

 

Kematian tidak mengenal gender, sara, fraksi, eselon, aliran keagamaan, denominasi, strata sosial. Ia akan datang tanpa mengetuk kepada setiap manusia, siapapun manusia itu, punya KTP atau tidak ber KTP elektronik atau manual, ia tetap akan datang.

 

Mari kita semua dengan sabar menunggu sang maut datang, sambil menunggu kedatangannya, kita melakukan perbuatan baik sesuai dengan perintah agama dan tidak melawan hukum. Tuhan mengasihi kita dan akan menganugerahkan kehidupan baru bagi kita yang beriman kepadaNya.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

Weinata Sairin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here