Oleh: P. Adriyanto
Pada permulaan tahun 2000, para akademisi dan pelaku bisnis menyadari bahwa SDM adalah merupakan sumber daya yang strategik dan yang paling utama dalam menentukan sukses/gagalnya suatu organidasi. Hal di atas merupakan titik awal dari *golden age* yang dialami oleh para karyawan dan departemen pengembangan sumber daya manusia (HRD department) yang sebelumnya digabung fungsinya dalam departemen personalia. Mereka tidak lagi dianggap sebagai pelengkap dalam tatatan struktur organisasi.
Namun, sangat disayangkan bahwa di negara kita, perubahan fungsi dan peran SDM dan departemen pengembangan sumber daya manusia, baru berupa merupakan wacana di sebagian besar organisasi terutama organisasi bisnis.
Mengapa saya nyatakan baru bersifat wacana?
Berikut ini fakta-fakta yang mendukung pernyataan saya tsb.
Ada beberapa main issues/masalah yang masih kita jumpai:
1 Terbatasnya SDM dalam pasar tenaga kerja yang memiliki skill tertentu. Hal ini membuktikan dan pengembangan/grooming SDM di rata-rata perusahaan tidak berjalan secara efektif. Kebanyakan disebabkan karena pertimbangan investasi (human resource investment) yang dinilai tidak dapat mendatangkan *return on investment (ROI)* yang positif dan malah dinilai sebagai kerugian bagi perusahaan. Banyak pengusaha yang khawatir bahwa apabila karyawan sudah diberdayakan terlebih melalui program belajar di luar negeri, maka mereka akan kabur.
Pelaksanaan program MT (manegement trainee) terutama bagi fresh graduate S1 yang merupakan karyawan baru, juga tidak dilaksanakan dengan sungguh-dungguh karena pertimbangan ROI dan loyalitas di atas.
2 Kekhawatiran yang menyangkut loyalitas dan tingginya turnover karyawan terutama karyawan kunci/karyawan jempolan (top notch employees) disebabkan karena perusahaan tidak mampu melakukan retensi terhadap mereka.
Akibat gagalnya meretensi (menjaga agar karyawan tetap loyal kepada perusahaan), maka berlakulah pemeo yang beberapa kali telah saya ungkapkan dalam beberapa karya tulis saya sebelumnya :
*_chicken stays, eagle flies*artinya karyawan yang berkinerja hebat (eagle) akan terbang meninggalkan perusahaan, tapi karyawan yang kinerjanya rata-rata karena tidak bisa terbang (tidak mungkin dapat berkompetisi di pasar tenaga kerja) akan tetap tinggal di perusahaan.
3 Banyak perusahaan yang tidak mempunyai sistem gaji (salary system). Bagi perusahaan-perusahaan semacam ini, *no system is a system* sehingga terjadi ketidakseimbangan *internal pay relationship.* Gaji senantiasa seorang karyawan yang lebih yunior dan dengan kinerja rata-rata, bisa lebih tinggi dari karyawan yang lebih senior dan dengan kinerja yang memuaskan (extraordinary). Hal ini terjadi terutama disebabkan karena para karyawan lama terhambat penyesuaian gajinya, sedang perusahaan tidak bisa merekrut karyawan baru dengan gaji sesuai pasar tenaga kerja. Jadi terpaksa gaji karyawan baru ini ditetapkan di atas gaji karyawan lama.
Para karyawan pasti butuh fair and equel treatment, dan apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan terjadi kemerosotan moril kerja yang menyebabkan rendahnya produktivitas dan tingginya labor turnover. Kondisi ini juga bertentangan dengan retention program yang dilaksanakan oleh perusahaan.
4 Perusahaan tidak memiliki *Performance Management*. Akibatnya penilaian kinerja (performance assessment) akan juga menimbulkan ketidakpuasan karena terjadi prinsip PGPS (pinter, goblok, penilaian kinerjanya sama). Di samping itu pembinaan karir juga tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
5 Terjadi *employer of choice,* artinya para pencari kerja yang sudah berpengalaman terlebih yang profesional, pasti pilih-pilih calon boss yang baik. Oleh sebab itu boss/CEO yang galak terlebih yang terkenal sebagai *toxic leader* pasti dihindari oleh para pencari kerja tsb. Perusahaan-perusahaan yang tidak diminati oleh para pencari kerja (kecuali yang kinerjanya jelek) adalah perusahaan yang laborturnover-nya tinggi, yang terkenal banyak terjadi fraud dan yang jam kerjanya tinggi.
HC Strategy, apa yang sudah kita lakukan ?
Merujuk kepada nasihat bijak dari Sun Tzu, saya mengamini bahwa di dalam kolam, air mengikuti bentuk kolam, di sungai air mengikuti lekuk sungai. Di lautan, air bisa menutupi samudera. Begitu juga strategi yang kita pakai tidak ada yag baku, selalu mengikuti situasi, keadaan. Strategi yang kita terapkan disatu perusahaan belum tentu cocok diterapkan di perusahaan lain walau dengan kasus yang sama, anda setuju?
Lalu apa ukuran strategi yang baik dan strategi yg buruk? Paling tidak ada tiga kriteria untuk menilai strategi:
1. Moral
2. Hasil
3. Sumberdaya
✍Strategi yang baik adalah strategi yang bermoral tidak menghalalkan segala cara, tidak curang . Mis, tidak asal main Phk. Strategi yang baik tentu juga harus membawa Hasil yg diinginkan namun dengan penggunaan sumberdaya yg Hemat ( tidak asal selesai persoalan). Mis, PHK karyawan dengan win win solution.
✍Berikut beberapa strategi yang juga sering dilakukan dalam mengelola bisnis atau organisasi :
1. Menang dgn menghalalkan segala cara 》》》 tdk bermoral
2. Menang dgn menghabiskan kekuatan yg ada 》》》Boros
3. Menang dgn menyerang titik lemah lawan 》》》 Smart
4. Menang dengan mengalihkan atau memecah kekuatan lawan (devide et impera)》》》 more strategic
5. Menang dengan menyerang atau menggunakan kekuatan lawan 》》》 more and more strategic
6. Menang dengan membuat lawan menang》》》 Sometime , give and take
7. Menang dengan tanpa berperang》》》Amazing
✍Strategi yang ke tujuh ini kalau kita bisa lakukan tentu sangat indah bukan, namun kalau tidak bisa maka paling tidak strategi no.2 tidak apalah habis amunisi asal tidak menggunakan strategi no.1, karena itu tidak bermoral.
Kata kunci adalah Moral.
✍Semoga kita dapat menerapkan strategi kita dalam memenangkan setiap pertandingan atau masalah yang timbul di organisasi kita dalam mengelola Sdm kita yg semakin dinamic.
✍Akhir kata, untuk Menghadapi sdm yg semakin dinamic kita harus terus belajar ” LEARN CONTINUALLY” never ending and NO COMPLECENCY.