‘Mati’ dan ‘hidup’ adalah dua kata yang antagonistik yang amat penting, utamanya bagi sejarah umat manusia. Andai kata Hidup kita lambangkan dengan pangkalan pertama atau terminal pertama, maka Mati, atau kematian sudah pasti adalah pangkalan terakhir, atau terminal yang penghabisan. Manusia mengukir karya terbaiknya, menorehkan sesuatu dalam sejarah, adalah di antara kedua pangkalan atau terminal itu.
Dalam perspektif agama-agama, manusia adalah makhluk fana yang amat istimewa. Ia diciptakan secara khusus oleh Sang Maha Pencipta, dengan prosedur dan mekanisme tertentu, yang berbeda dengan penciptaan makhluk lainnya. Manusia diberi mandat oleh Allah untuk mengelola bumi dan seluruh ciptaan Allah agar memberi kemaslahatan bagi umat manusia.
Manusia dianugerahkan akal, pikiran, perasaan, berbagai bakat talenta termasuk “sense of art”. Cara pandang dan pendekatan manusia terhadap sesuatu benda, obyek atau suara bisa berbeda-beda tergantung sejauh mana ia memiliki dan memberdayakan sense of art yang ada dalam dirinya. Misalnya suara gemericik air ditengah hutan bagi seorang A amat indah dan mampu melahirkan inspirasi baru untuk menulis sebuah lagu; namun bagi seorang B suara itu biasa saja tidak punya makna apa-apa.
Kita bersyukur bahwa negeri ini tidak hanya memiliki tehnokrat, pemikir makro dan visioner, peneliti, para ahli di bidang masing-masing, tetapi juga para seniman dari berbagai cabang seni. Para seniman ini telah membuat Indonesia bertambah cantik, pandai menari, menyanyi, berpaduan suara; berkata-kata lebih puitis, berakting dengan penuh penjiwaan. Para seniman ini telah mengingatkan kita semua bahwa kehidupan itu indah untuk dinikmati dan dijalani. Kehidupan bukan hanya soal debat, polemik, permainan intrik, pembinasaan karakter, soal diskriminasi, pelanggaran HAM, teror, penculikan, pembunuhan atau bunuh diri atau apapun juga.
Kehidupan adalah sebuah “art”, sebuah seni bagaimana memaknai usia yang Tuhan sediakan bagi kita, ditengah sebuah dunia yang bergolak dikoyak turbulensi. Para pelukis, koreografer, fotografer, komika, novelis, sutradara film, dramawan, penyanyi, ahli musik, komposer, penulis puisi, artis sinetron dan layar lebar dan seluruh seniman amat menolong kita untuk menghayati kehidupan dari perspektif yang penuh tawa ria, canda, kejenakaan, rasa gembira yang tiada tara dikekinian dunia. Fungsi semua itu bukan untuk meninabobokan kita, atau membuat kita “fly”, dan dalam suasana “trans” kita lari dari dunia nyata. Bukan itu fungsinya.
Kehadiran para seniman dari berbagai bidang seni membuat hidup ini lebih hidup, tidak kering dan gersang yang ujungnya bisa berpotensi lahirnya hal-hal negatif dan kontra produktif. Pepatah kita menyatakan bahwa seniman telah mati tetapi karya sang seniman itu tetap hidup. Chairil Anwar, Rendra telah tiada tetapi karya sastranya tetap hidup. Para pematung, pelukis, komposer, dramawan, komika, artis film, novelis, semua mereka telah mengakhiri kefanaannya di dunia ini, tetapi karya seni yang pernah diukir semasa hidupnya tidak pernah mati.
Mari terus berkarya dalam hidup, sense of art kita kembangkan dalam diri kita agar kita bisa memberi yang terbaik dalam hidup ini dengan terus memohon anugerah dan berkat Tuhan.
Selamat berjuang. God bless
Weinata Sairin.