CHRISPOL: “Tunda Pilkada Serentak atau Ubah Cara Pilih Demi Cegah 3 Resiko”.
Jakarta, Suarakristen.com
Desakan dan Aspirasi akan penundaan Pilkada Serentak 2020 masih terus bergulir walaupun Presiden telah menegaskan akan tetap melangsungkan Pilkada Serentak pada Desember 2020.
Kini dari organisasi keagamaan Kristen juga ikut bersuara selaras dengan NU dan Muhammadiyah, kompak meminta penundaan Pilkada Serentak 2020.
“Kami dari komunitas Umat Kristiani, dalam hal ini Christian School Of Culture, Politics & Economics (CHRISPOL) juga sepakat dan kompak dengan NU dan Muhammadiyah, memohon kepada Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, Ketua KPU RI, Ketua Bawaslu RI, dan Ketua DKPP RI untuk mempertimbangkan penundaan kedua dari Pilkada serentak 2020 atau memikirkan cara lain yang relevan”, ujar Horas Sinaga Founder & CEO dari CHRISPOL.
Selaras dengan Horas, Mantan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt.Dr. Albertus Patty, M.A, M.St menyatakan dalam sebuah webminar nasional bertajuk “Quo Vadis Suara Kristen Di Pusaran Dunia Politik?”, bahwa belum ada satu pun lembaga kristen yang mengkritisi DPR dan Pemerintah terkait pelaksanaan Pilkada pada 9 Desember 2020 yang akan datang. Sangat disayangkan bila Suara Kristen tidak berbunyi terkait persoalan bangsa dan negara yang sangat krusial seperti saat ini.
“Kenapa kita diam jika Pemerintah mengambil kebijakan yang salah? Suara Kristen harus tetap berbunyi, karena kritik kepada pemerintah adalah baik bila disampaikan dengan cara baik serta relevan. Itulah contoh suara kenabian dan saya mengapresiasi CHRISPOL sebagai lembaga edukasi politik bernafaskan Pancasila dan nilai-nilai Kekristenan berani mengambil sikap dan menyatakan kritik serta sarannya”, ujar Pendeta Albertus Patty sebagai salah seorang speaker di webminar nasional yang diikuti para pimpinan gereja antar denominasi, aktifis kristen dan segenap warga gereja dari seluruh nusantara.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan perkembangan terkait data bakal calon kepala daerah yang masih positif COVID-19 per Sabtu (26/9). Tercatat delapan bakal calon masih dinyatakan positif, dari data sebelumnya ada 63 bakal calon yang positif Covid-19 (Antara, Sabtu 12 September 2020).
Pilkada di masa pandemi yang terus meningkat sekarang tanpa ada tanda pelandaian juga sangat membahayakan kesehatan pemilih, di tengah kerumunan massa yang bisa meningkatkan jumlah warga terinfeksi dan meninggal dunia. Apalagi bagi penduduk yang sudah berumur 50 tahun ke atas dan mereka yang memiliki komorbid.
“Yang perlu dipertimbangkan selain resiko kesehatan yang membahayakan juga ada 2 resiko lain yang perlu kita waspadai bila Pilkada serentak tetap dilanjutkan pada Desember 2020 nanti. Yaitu resiko bertambah maraknya kemungkinan politik uang karena masyarakat sedang sangat susah dan resiko pemilih golput karena kecewa kepada pemerintah”, Horas Sinaga yang juga adalah Ketua Umum Visi Indonesia Unggul (VIU).
Lalu dengan adanya 3 resiko tersebut apakah tetap akan memaksakan Pilkada serentak? Pertanyaan yang telah di jawab tegas oleh pemerintah bahwa Pilkada akan tetap berlangsung dengan mempersiapkan protokol kesehatan yang ketat demi alasan menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih dalam suatu agenda yang telah diatur dalam UU dan berbagai aturan perundang-undangan.
“Memangnya tidak ada alternatif lain yang bisa kita lakukan? Ubah saja cara pemilihannya bila tetap ingin melaksanakan Pilkada pada saat pandemi begini. Pemerintah dan DPR memiliki cukup waktu untuk mencari alternatif solusi. Bisa saja dialihkan Pilkada langsung menjadi tidak langsung karena situasi Pandemi Covid-19 ini memang sangat luar biasa. Hal itu, menurut saya, tidak melanggar undang-undang karena hanya presiden-wapres yang disebut dipilih lewat pemilu langsung. Pilkada lewat DPRD juga memutus politik uang sampai ke akar rumput,” pungkas Horas Sinaga.