Prof. Syarifudin Tippe: Atasi Covid-19 Terapkan Pertahanan Semesta.
Jakarta, Suarakristen.com
Langkah Pemerintah RI menangani merebaknya Covid-19 patut diaparesiasi. Baik periode pertama, Januari dalam upaya pemulangan ratusan WNI dari Wuhan dan Hubei-Cina dan dari kapal pesiar Diamond Jepang, maupun langkah pada periode kedua yang kini sedang berlangsung.
Ancaman dan tantangan Pandemi Covid-19, menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof. Dr. Syarifuddin Tippe, dari perspektif pertahanan non-militer, sudah saatnya dihadapi dengan strategi pertahanan semesta, yang sifatnya total-terpadu-terarah-berkelanjutan.
Hal ini, ujarnya sesuai dengan kata kunci dalam Strategi Pertahanan Semesta (Undang-Undang RI Nomor 3, Tahun 2002), yang sejatinya dapat direalisasikan untuk memberi penguatan kepada dua keputusan stratejik pemerintah RI.
Dua keputusan stratejik itu, menurut Pengajar Ilmu Manajemen Stratejik pada Program Studi Ilmu Manajemen Pascasarjana UNJ ini adalah, pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pada tanggal 14 Maret 2020, yang diketuai oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun, tanggal 22 Maret 2020, tentang Refocusing Kegiatan, Relokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Pendiri, Pengajar, dan Rektor Pertama Universitas Pertahanan ini pun menyatakan bahwa ada 4 (empat) pendekatan yang mestinya dilakukan secara konsisten dan total oleh Pemerintah RI dalam upaya percepatan penanganan Covid-19 yang semakin meluas dan mengganas ini.
Mantan Dirjen Stratahan Kemenhan ini menyatakan bahwa langkah Presiden Jokowi menyatakan ini sebagai krisis adalah untuk mencegah kepanikan luar biasa di masyarakat. Mengawali periode ke-2, pada 2 Maret 2020, penyebaran corona disangkal Jokowi, Presiden RI, sebagai krisis dengan alasan menghindari kericuhan di masyarakat.
Pada titik ini, sebagai bagian dari, MS maupun AJS, konten atau pesan yang disampaikan pemerintah, ada benarnya, yaitu bertujuan mencegah kepanikan masyarakat.
Namun kemudian setelah mendapat tekanan atau desakan dari dunia internasional berupa surat dari Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (baca WHO), pada 10 Maret 2020, Tedros Adhanom Ghebreyesus yang mempertanyakan keterbukaan Pemerintah dalam menangani kasus Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Demikian salah satu isu awal yang sangat mengemuka di seputar upaya penanganan Covid-19 oleh pemerintah.
Untuk mencegah berlangsungnya ancaman Covid-19 secara berkepanjangan, Syarifuddin Tippe memberikan catatan analisis sebagai masukan untuk penguatan keputusan stratejik yang sudah dilakukan pemerintah.
Pertama, konten tentang alasan Jokowi yang enggan untuk menggunakan istilah krisis, dengan alasan untuk mencegah kepanikan masyarakat. Pada tataran nasional, tampaknya alasan Jokowi tersebut dapat dibenarkan.
Akan tetapi pada tataran internasional, tentu saja pihak WHO secara komprehensif, lebih melihat pada keterbukaan negara-negara lain dalam penanganan Covid-19 di wilayah negara masing-masing.
Terjadilah kesenjangan informasi, antara kepentingan nasional dan internasional tentang keterbukaan. Kesenjangan tersebut dijadikan peluang oleh sekelompok aktor / node yang kemudian membentuk jaringan hoax ataupun jaringan “kepentingan” yang mengeksposnya sebagai kesalahan pemerintah RI.
Jaringan hoax tersebut pada dasarnya memanfaatkan ke’awam’an masyarakat yang mudah percaya sehingga mudah terprovokasi.
Kedua, keputusan stratejik yang ditetapkan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, disebut sebagai “Bencana non-alam”. Dari segi etimologis, non-alam sama dengan “buatan”, yang kemudian dapat diartikan bencana buatan.
Pertanyaannya, siapa yang membuat Covid-19? Apakah dibuat secara individual, institusional atau organisasional atau bahkan negara? Jawaban dari pertanyaan tersebut, boleh jadi benar secara common sense menurut persepsi tertentu, misalnya dari sudut pandang intelijen.
Namun, ujarnya, secara akademis, tidak tersedia cukup data dan fakta untuk mempertanggungjawabkan sebuah pernyataan bahwa Covid-19 adalah bencana buatan. Dengan demikian, perlu ditinjau ulang, istilah bencana non-alam.
“Seyogyanya istilah tersebut diubah dengan istilah yang lebih umum, yang senada dengan istilah “Covid-19 sebagai ancaman pertahanan non-militer”, jika enggan menggunakan istilah yang terkait dengan ranah pertahanan,” ujarnya.
Ketiga, terkait dengan komponen proses yang secara teoretis, baik MS maupun AJS sama-sama menempatkan konten & konteks sebagai analisisnya, sementara AJS menambahkan aspek relasi sebagai kekhasan utamanya – bahwa setiap entitas baru memiliki makna ketika terhubung dengan entitas lainnya.
“Kedua pendekatan ini memiliki kesamaan dalam pengejawantahannya (operasionalisasi) baik signifikansi teoritis maupun signifikansi praktis. Covid-19 sebagai sebuah konten (muatan) harus ditempatkan dalam konteks global dan juga nasional (termasuk lokal, mengingat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan) membutuhkan perlakuan special,” katanya.
Keempat, kelebihan AJS yang terpenting adalah kegiatan merangkai-mengurai (composing-decomposing) yang melibatkan partisipasi dan kolaborasi “aktif” dari semua komponen masyarakat (tenaga medis, dokter, peneliti, pemerintah daerah / pusat, sukarelawan, swasta, pengusaha, pedagang pasar, toko kelontong, pelajar, ojek online, dst) dalam percepatan penanganan Covid-19 yang terkoneksi satu sama lain (tidak terpisah-pisah / terfragmentasi).
Kesimpulannya, lanjut Dewan Kehormatan Asosiasi Peneliti Jaringan Sosial Indonesia (APJARSI) ini bahwa dalam hal cakupan atau lingkup kedua keputusan stratejik terhadap penanganan Covid-19, baik pada tataran konseptual kebijakan maupun pada tataran operasional, sudah saatnya ditangani dengan strategi pertahanan semesta, yang bersifat total, terpadu, terarah dan berkelanjutan sebagai suatu rangkaian yang utuh.
Kedua, sebagai kelaziman doktriner dalam buku putih pertahanan (2015-2019) penerapan strategi pertahanan semesta senantiasa dikaitkan dengan ancaman dan dalam konteks ini, maka Covid-19 termasuk sebagai jenis ancaman pertahanan non-militer yang dapat dilengkapi dengan pendekatan Manajemen Strategik (MS) dan Analisis Jaringan Sosial (AJS).
“Lebih lanjut, kedua pendekatan ini secara teoretis dan praktis dapat bersinergi agar seluruh elemen masyarakat secara total, terpadu, terarah dan berkelanjutan dapat dilibatkan secara aktif dalam merealisasikan dua keputusan stratejik yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat penanganan Covid-19,” tutupnya.
Sementara itu Menurut Pengamat militer Wibisono mengungkapkan bahwa penanganan virus Covid-19 harus ikuti negara yang sudah berhasil seperti di China, pengaturan social distancing belum efektif diterapkan di Indonesia,mengingat dalam kondisi tertentu masyarakat bisa lupa atau bahkan abai dengan cara memperlambat penyebaran virus ini.
“Saya sependapat dengan pak Tippe, penanganan virus ini harus tuntas dengan melibatkan TNI-Polri sehingga konsep Perang Semesta bisa sukses,” pungkas Wibi.