Jakarta, Suarakristen.com
Hari ini, Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau mengadakan workshop dengan tema “Cukai Rokok dan Mengapa Harus Mahal”, di Jakarta sekaligus launching Komunitas Perempuan Bersuara Untuk Sehat. Rokok sebagai penyebab kemiskinan dan pengeluaran keluarga miskin untuk membeli rokok menempati urutan kedua setelah biaya beras sehingga mengurangi “jatah” biaya belanja makanan bergizi, kesehatan, pendidikan dan seterusmya*
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan jumlah dan prevalensi merokok yang tinggi. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa rokok merusak kesehatan, namun tingkat konsumsi terhadap rokok di Indonesia masih tergolong tinggi. Bahkan, Indonesia merupakan negara dengan proporsi perokok muda terbesar di kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan Survei Indikator Nasional (Sirkesnas) 2016, jumlah perokok pemula diketahui meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 8,8 persen pada 2016. Meningkatnya jumlah perokok pemula lebih banyak disebabkan karena harga rokok di Indonesia terlampau murah.
Mudahnya rokok dijangkau oleh masyarakat, bahkan oleh anak-anak, berkaitan erat dengan pemberlakukan cukai pada rokok. Sayangnya, hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui seluk beluk pentingnya cukai diberlakukan pada rokok. Bahkan, konsumsi rokok di Indonesia masih menjadi pemandangan yang umum ditemui, sehingga upaya membatasi konsumsi rokok kadang dianggap berlebihan. Sementara itu, masyarakat seolah lupa bahwa mudahnya rokok dijangkau menjadi ancaman tersendiri bagi kualitas hidup keluarga karena dampak negatif rokok dapat berimbas pada pengeluaran biaya kesehatan, kemiskinan dan pendidikan anak-anak.
Kurangnya gizi bagi keluarga terutama untuk ibu yang sedang mengandung dapat menyebabkan proses tumbuh kembang anak dalam janin terganggu. Sebagai akibatnya anak lahir dengan tubuh yang tidak normal dan kerdil (stunting). Perilaku pengutamaan rokok dibanding gizi yang baik untuk keluarga menjadi fenomena yang sangat memperihatinkan. Asap rokok mengganggu penyerapan gizi pada anak, yang pada akhirnya akan mengganggu tumbuh kembangnya dan berpengaruh pada anak stunting
Dr. Abdillah Ahsan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, mengemukakan, rata-rata penikmat rokok membelanjakan Rp 600.000 per bulan atau Rp 7.200.000 per tahun dan Rp. 72.000.000 per-10 tahun. “Padahal, jika tidak digunakan membeli rokok, maka kita bisa menabung sebesar Rp. 600.000 per bulan dalam 10 tahun mendapatkan minimal Rp. 72 juta, tidak mubazir dan badan lebih sehat” ujar Ahli Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Dr. Abdillah Ahsan kepada Peserta workshop “Cukai Rokok dan Mengapa Rokok Harus Mahal”, yang digelar oleh Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau, Senin (31/7).
Sementara itu, tanpa disadari, besarnya konsumsi untuk rokok juga berdampak pada perempuan yang seringkali memainkan peranan penting dalam keluarga. Harga rokok akan berpengaruh pada pengeluaran rumah tangga. Total pengeluaran keluarga miskin untuk membeli rokok sebesar 12,56 persen, menempati urutan kedua setelah biaya kebutuhan beras yang mencapai 15,51 persen.
Dina Kania dari WHO (World Health Organization) memperkirakan jika semua negara menaikkan cukai sebanyak 50%, jumlah perokok akan berkurang 49 juta, dan jumlah kematian akan berkurang 11 juta.
“Menaikkan cukai rokok akan meningkatkan penerimaan negara. Jika semua negara menaikkan cukai rokok sebesar 50% perbungkus, Pemerintah seluruh dunia akan mendapatkan ekstra penerimaan negara sebesar US$ 101 Milyar”, ujar Dina
Dalam kesempatan itu pula JP3T me-launching Komunitas Perempuan Bersuara untuk Sehat dengan membuat gerakan EGM (Emak-emak ‘Grudug’ Menteri’). Gerakan EGM, Emak-emak ‘Grudug’ Menteri lahir dari komunitas akar rumput ditingkat RW yang menyuarakan dukungan terhadap pengendalian tembaku dan menuntut Menteri-menteri melakukan aksi nyata untuk melindungi keluarga dan anak atas bahaya rokok.
“inisiatif para ibu-ibu yang begitu resah melihat anak-anak sekolah mulai kecanduan rokok. Mereka khawatir karena dampak rokok akan menghancurkan kesehatan anak-anak dan masa depan mereka”, ujar Dete Aliah Program Officer JP3T dalam pembukaan workshop tadi.
“Karena itu para ibu bersatu untuk menyuarakan kegelisahannya kepada pihak-pihak yang memiliki peran besar untukk bisa merubah keadaan.” Ujarnya kembali.
Komunitas Perempuan Bersuara Untuk Sehat yang terdiri dari berbagai profesi antara lain: Ibu Rumah Tangga, Kader PKK dan Posyandu, Ketua RW, Rohaniawan, Aktivis memberikan pernyataan, “Perempuan Mendukung Harga Rokok Harus Mahal”, yang ditujukan kepada Pemerintah RI dan DPR RI yaitu:
1. Keprihatinan terhadap tingkat konsumsi merokok yang masih terus meningkat di Indonesia. Rokok bersifat adiktif, sehingga perokok sulit berhenti dan terus menerus meracuni dirinya sendiri dan keluarga dengan asap rokok.
2. Keprihatinan terhadap harga rokok yang murah dan sangat mudah dijangkau oleh masyarakat, termasuk anak-anak dan orang miskin. Harga rokok yang murah membuat anak-anak sejak dini terpapar racun rokok sehingga sangat berbahaya bagi kualitas kesehatan anak.
3. Keprihatinan karena orang tua yang perokok membawa dampak buruk bagi ibu hamil dan anak yang dilahirkan bisa terhambat pertumbuhannya (Stunting).
Oleh sebab itu, mereka sepakat untuk:
1. Mendesak pemerintah RI dan DPR RI agar segera membentuk dan menegakkan kebijakan tentang pengendalian rokok
2. Mendesak Pemerintah RI dan DPR RI untuk menaikkan harga rokok setinggi-tingginya, agar tidak terjangkau oleh anak-anak, remaja dan masyarakat luas terutama keluarga miskin dan kelompok yang rentan (perempuan dan anak).
3. Mendesak Pemerintah RI dan DPR RI untuk memberikan perhatian yang besar terhadap kualitas kesehatan generasi muda bangsa dan melindungi generasi muda dari dampak buruk rokok.
***
Keterangan lebih lanjut, hubungi Evie Permata Sari (08129676180 / viepermatasari@gmail.com, jp3tindo@gmail.com)
Tentang Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T) :
Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau dibentuk pada Agustus 2011 dan merupakan prakarsa enam organisasi perempuan yang terdiri dari: Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP), Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender, Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2), Sahabat Perempuan dan Anak Indonesia (SAPA Indonesia), Kelompok Peduli Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KePPak) dan Rindang Banua. JP3T lahir karena keprihatinan bersama terhadap menurunnya kesehatan dan kualitas hidup perempuan dan anak Indonesia saat ini akibat terpapar asap rokok. JP3T mendorong pemerintah RI untuk segera meratifikasi konvensi internasional kerangka kerja pengendalian tembakau (FCTC- Framework Convention on Tobacco Control).