_”Homines sumus,non dei._
Kita ini hanya manusia biasa, bukan Allah”.
Manusia adalah makhluk paling mulia yang diciptakan Allah. Proses penciptaan manusia amat berbeda dengan penciptaan makhluk lainnya. Dalam bahasa modern (dan sekuler) bisa dikatakan bahwa “SOP” penciptaan manusia itu berbeda dengan “SOP” penciptaan makhluk lainnya. Bukan hanya proses dan “SOP”nya yang spesifik tetapi juga ada predikat-predikat khusus yang diberikan kepada manusia. Dalam perspektif Kristen, manusia disebut _gambar Allah_, The Image of God, Imago Dei; dan dalam perspektif Islam manusia disebut _khalifah Allah_ dibumi. Dalam konteks pemaknaan kedua predikat itu maka manusia diberi mandat untuk mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sehingga dengan pengelolaan yang profesional dan bertanggungjawab, isi dari rahim bumi itu bisa bermanfaat optimal bagi sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia, dimasa kini dan bahkan di masa depan.
Manusia yang diciptakan Allah itu memang makhluk mulia, namun sekaligus ia juga adalah makhluk yang lemah, fana, berlumur dosa. Ia bukan superman, manusia superpower, manusia yang punya energi dalam sehingga cukup kuat dan tangguh dalam menghadapi turbulensi kehidupan, tabah dalam menghadapi bujuk rayu yang menggoyah.
Walaupun titik lemah manusia selalu muncul setiap saat dan mewarnai kedirian manusia namun hal itu tidak boleh menjadi excuse bagi manusia sehingga ia tidak berupaya untuk menampilkan karya bermutu. Akal budi, pemikiran dan intelektualitas manusia yang ia terima sebagai anugerah Allah harus didaya gunakan dengah lebih optimal sehingga kelemahan manusia dapat diatasi bahkan dapat “dilawan”.
Titik lemah manusia dan pengampunan dari Tuhan tidak boleh menjadi alasan bagi manusia untuk terus melakukan perbuatan dosa bahkan melakukannya berulang-ulang dalam berbagai bentuk serta berbagai bobot. Kita saksikan mereka yang terkena OTT tetap enjoy dan menebar senyum kepada publik, tidak nampak dalam raut wajah mereka tanda sedih atau menyesal dengan perbuatan dosa dan aib yang mereka lakukan.
Sebagai manusia yang beragama, yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa kita harus berupaya terus dengan memohon kekuatan dan bimbinganNya agar kita setia dan konsisten dalam melaksanakan ajaran agama kita masing-masing. Dengan tekad dan komitmen kuat seperti itu, dan memahami hakikat kita sebagai manusia ciptaan Allah yang mulia maka kita yakin bahwa kita mampu mengalahkan kelemahan yang ada pada kita.
Pepatah yang dikutip dibagian awal artikel menegaskan bahwa “kita ini manusia biasa bukan Allah”. Pepatah ini ingin menyadarkan kita bahwa kita ini manusia lemah, terbatas, fana, bersimbah dosa; jangan kita seolah berfikir dan bertindak seperti Allah yang maha kuat dan berkuasa di bumi dan di surga. Kita harus sadar tentang kesiapaan kita, jangan kita serakah dan rakus, rakus jabatan, rakus kekuasaan, rakus kekayaan. Kerakusan dan keserakahan bisa membawa kita ke tindakan korupsi, mengambil hak orang dan mendiskriminasi orang, mengeksploitasi manusia.
Kita dipanggil terus menerus untuk melakukan introspeksi, apakah kita sudah menampilkan diri sepenuhnya sebagai _khalifah Allah dibumi_ atau sebagai _imago Dei_ atau dalam predikat apapun yang diberikan agama-agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia. Kita ini manusia bukan Allah itu bukan pernyataan _excuse_ tatkala kita gagal menjalankan perbuatan baik; tetapi sebuah pengingatan, remind, bahkan peringatan, warning, agar hidup kita tidak dikuasai oleh libido korupsi atau dililit oleh syahwat kekuasaan, tetapi dibimbing oleh roh untuk melayani, dituntun spirit berbakti bagi rakyat jelata yang tertatih–tatih menjalani kehidupan di lorong-lorong sejarah.
Rakyat jelata yang mengais kehidupan dari benda-benda tersisa tiada makna dari hari ke hari dari rezim ke rezim, adalah orang-orang lugu yang menghidupi kehidupan penuh keberanian. Tak tahu mereka apa yang disebut politik identitas, politik fulus, politik sara; tak peduli mereka dengan melemahnya nilai tukar rupiah, dengan judicial review jabatan wapres, dengan parlimentiary treshold dan electoral treshold.
Mereka rakyat jelata yang dulu mengangkat bamboe runtjing mengusir penjajah adalah mereka yang kini hidup megap-megap dibawah jalan layang penuh mural, hidup yang terjajah oleh derita dan usia uzur. Kita mesti merawat, mengasihi dan melayani mereka karena mereka adalah juga kita.
Kita hanya manusia biasa, bukan Allah. Mari bertindak standar dan normatif sesuai dengan ajaran agama dan ketentuan hukum. Mari mewujud diri sebagai imago dei dan khalifah Allah di bumi.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin.*