PDT. WEINATA SAIRIN: MENGUKIR KEHIDUPAN YANG DISUKAI TUHAN

0
1586

 

 

“Enam perkara yang dibenci Tuhan bahkan tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hatiNya : mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara.”_ (Amsal 6 : 16-19)

 

Nilai atraktif sebuah dokumen tertulis, terkadang dipengaruhi tidak saja oleh isinya, kontennya, tetapi juga oleh bentuknya, oleh cara mengekspresikannya. Hal ini utamanya berlaku pada dokumen (tertulis) di bidang sastra dan juga di bidang teologi/keagamaan. Bahkan pada sastra misalnya nilai atraktif itu sudah dimulai pada _judul_, judul novel atau judul puisi. Kita tertarik pada sebuah buku novel misalnya pada tahap awal pada layout buku, desain cover, judul, penulisnya, penerbitnya, materi atau isu utama yang dibahas pada novel itu. Fakta-fakta itu yang kemudian memberi dorongan kepada kita untuk membeli atau tidak nembeli buku itu. Ada juga faktor lain selain butir-butir tadi yang membuat kita terdorong untuk membeli sebuah buku yaitu tingkat kehebohan publik dalam mengomentari sebuah buku. Dalam kasus buku “Satanic Verses” atau “Ghost Fleet” tingkat kehebohan itu amat tinggi dan mendunia, sehingga kita memutuskan untuk membeli (dan membacanya).

 

Dokumen tertulis yang berisi peraturan perundangan, perjanjian kerjasama, dll sudah memiliki bentuk dan format baku yang ditentukan undang-undang sehingga tidak lagi dicari nilai atraktifnya, tetapi apakah diktum-diktum dalam dokumen itu telah mengakomodasi kepentingan para pihak, dan memiliki kekuatan hukum yang legitim.

 

Dalam hubungan dengan buku teks pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah, Pemerintah melalui PP 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan telah menetapkan kriteria buku yang layak untuk digunakan di sekolah. PP 19 Tahun 2005 Pasal 43 ayat ( 5) menyatakan bahwa “kelayakan isi, bahasa, penyajian dan kegrafikaan buku teks pelajaran dinilai oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

 

Walaupun kriteria kelayakan sebuah buku teks pelajaran itu sudah amat jelas namun dalam praktik masih banyak buku teks pelajaran yang dibawah standar sehingga tidak lolos dalam penilaian BSNP. Pengalaman selama lebih dari enam tahun terlibat dalam proses penilaian buku teks pelajaran dalam kapasitas sebagai anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) ada kesan kuat bahwa aspek profesional dalam penerbitan buku belum sepenuhnya menjadi pegangan utama dari para penulis dan penerbit kecuali kalkulasi-kalkulasi yang lebih bersifat ekonomis.

 

Dalam konteks itu banyak sekali kasus-kasus kehebohan tentang konten buku teks atau aspek kegrafikaannya yang tidak mempertimbangkan aspek agama dan realitas konteks sosiologis masyarakat kita. Contohnya pernah ada buku teks pelajaran agama Islam yang kutipan ayat Al Qurannya ternyata tidak menggunakan AlQuran mushaf yang sesuai dengan ketentuan Kementerian Agama. Pernah juga terjadi ada gambar _seronok_  menjadi ilustrasi buku teks pelajaran agama Islam yang menimbulkan protes publik. Beberapa kasus yang berhubungan dengan buku teks pelajaran yang menimbulkan reaksi negatif dari publik, memang dapat diselesaikan dengan baik. Kasus-kasus itu membuktikan bahwa adanya ketentuan perundangan tidak serta merta bisa melahirkan buku yang baik. Dan kasus

yang terjadi pada buku teks (sekuler) tidak akan pernah ter

jadi pada Alkitab.

 

Kitab Amsal yang dikutip pada bagian awal tulisan ini memiliki makna yang amat khas dan spesifik baik dari segi bentuk narasinya maupun kontennya. Menurut para ahli PL ada 5 jenis sastra hikmat Sumeria, salah satunya adalah Amsal. Kata Amsal berasal dari kata Ibrani _masyal_ yang kemungkinan besar diambil dari akar kata yang berarti “menyerupai”  atau “dibandingkan dengan”. Pada mulanya Amsal sering merupakan semacam perbandingan (vide. Ams. 15 : 17; 16:24)

 

Kitab Amsal sebagai sebuah sastra hikmat difahami para ahli sebagai buku petunjuk untuk hidup yang berhasil. Dengan memaparkan kebiasaan hidup yang positif atau negatif kitab Amsal menjelaskan perilaku yang benar dan salah dalam berbagai keadaan. Kitab Amsal dalam gaya bahasa yang tidak terlalu sulit berfungsi untuk memberi penjelasan elaboratif tentang hukum Kasih (Im.19:6; Ul.6:5)

 

Amsal 1-9 ini adalah semacam bagian pendahuluan dari seluruh kitab yang menurut ahli PL tidak ditulis langsung oleh Salomo, dan naskah ini sudah dikenal sejak lk tahun 600 SM. Gaya penulisan Amsal 6:16-19 sangat spesifik. Kita lihat narasinya “Enam perkara…. bahkan tujuh perkara..”. Mengapa seolah penulis Amsal ini tidak pasti terhadap jumlah keseluruhan dari “perkara” (hal, isu, tema, things)? Bentuk seperti ini diulangi lagi pada Pasal 30:7; “Dua hal aku mohon…”

 

Sangat jelas imperatif dalam Ams 6:16-19 ini yang menyatakan bahwa 7 perkara yang _dibenci Tuhan_ dan menjadi *kekejian* bagi hatiNya. Mata sombong, lidah dusta, tangan penumpah darah orang tidak bersalah, hati jahat, kaki jahat,  saksi dusta, penyebab pertengkaran. Ketujuh hal itu secara sadar atau tak sadar, mungkin saja dalam berbagai bentuk telah kita lakukan dalam hidup kita dan itu nembuat kita *dibenci Tuhan* dan menjadi *kekejian bagi hati Tuhan*

 

Kita bersyukur diingatkanulang oleh penulis kitab Amsal agar kita tidak (lagi) melakukan hal-hal negatif seperti itu bahkan perbuatan negatif lainnnya yang dibenci Tuhan. Kita anak-anak Tuhan yang telah ditebus oleh Yesus dengan darahNya harus mewujudkan hidup yang menyukakan hati Tuhan. Hal itu tidak selalu mudah dalam dunia yang garang sangat seperti sekarang ini; tetapi tak ada pilihan lain !

 

Selamat Merayakan Hari Minggu. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here