Pendahuluan
Pemerintah Indonesia pada tanggal 1-4 Mei 2017 mendapatkan kehormatan dari Unesco untuk menjadi penyelenggara Hari Kebebasaan Pers International di Jakarta. Pada momen tersebut Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Yusuf Kalla hadir yang menjadi bukti kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap kebebasan Pers yang merupakan pilar demokrasi keempat. Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang pertama kali menjadi tuan rumah kegiatan ini. Sebelumnya, selama 15 tahun, Hari Kebebasan Pers Dunia hanya diselenggarakan di beberapa negara di Eropa. Namun secara umum pada tahun 2017, ada beberapa fenomena yang bila tidak diselesaikan dengan bijak dapat membahayakan kondisi kebebasan Pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Pada tahun 2017 perkembangan pengguna internet di Indonesia semakin meningkat. Hal ini memiliki dampak positif antara lain semakin meningkatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Tetapi, pada waktu yang sama, peningkatan jumlah pengguna yang luar biasa dapat membuka ruang lebih luas untuk meningkatnya radikalisme digital, jejaring teroris online, berita palsu, ujaran kebencian dan cyberbullying.
Selain sorotan terhadap kasus-kasus cyber diatas, pada tahun 2017, LBH Pers telah menangani secara langsung berbagai kasus yang berkaitan dengan mandat di bidang perlindungan kebebasan pers dan kebebasan berekpresi baik secara litigasi maupun non litigasi. Untuk perkara ketenagakerjaan pekerja media baik individual dan kelompok sebanyak 9 kasus, untuk perkara pidana sebanyak 12 kasus, sengketa keperdataan 2 kasus, dan untuk perkara sengketa pemberitaan sebanyak 3 kasus. LBH Pers juga terlibat aktif dalam upaya untuk meningkatnya kerja-kerja dibidang jurnalisme investigasi untuk menghasilkan liputan yang mendalam dan lengkap dengan tergabung dalam kerja kolaboratif yang disebut dengan Indonesialeaks.
Dalam outlook ini, Kami membagi dua bagian catatan, pertama tentang kebebasan pers dan kedua tentang kebebasan berekspresi. Berikut adalah catatan khusus yang di soroti oleh LBH Pers di tahun 2017:
Kebebasan Pers
1. Kesejahteraan Jurnalis yang Tergerus Arus Digitalisasi
Memasuki tahun 2017 kondisi perusahaan-perusahaan media khususnya media cetak mulai mengalami krisis ekonomi. Hal tersebut dikarenakan fenomena transisi teknologi dari aktivitas bisnis konvensional ke digital. Proses transisi besar-besaran menuju media digital sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh sektor media saja. Seluruh sektor pun terkena dampak transisi ke digital. Misalnya sektor retail penjualannya beralih ke online, sistem pembayaran tol mulai beralih menjadi electronic toll, proses transaksi juga mulai dilakukan secara elektronik tanpa melalui kertas, dan lain sebagainya.
Khusus sektor media, menjadi salah satu sektor yang cukup terkena dampak signifikan. Adanya fenomena transisi ke digital ini tentu membawa konsekuensi tertentu khususnya dari aspek ketenagakerjaan. Proses penyajian berita dari media cetak ke digital berpengaruh pada efisiensi besar-besaran. Sektor ketenagakerjaan pun terkena imbasnya. Salah satu dampak terbesar adalah terjadinya pengurangan tenaga kerja besar-besaran untuk pekerja media cetak. Opsi untuk berlaih dari cetak ke digital merupakan strategi bisnis yang memang menjadi pilihan prerogatif setiap perusahaan. Tujuannya semata untuk mempertahankan perusahaan di tengah persaingan ketat secara global. Saat ini banyak perusahaan mengalami keguncangan finansial karena belum siap memodifikasi bisnisnya untuk menyesuaikan dengan sarana teknologi digital. Namun terlepas dari apapun pilihan bisnisnya, hak-hak pekerja media sebagai karyawan tetap harus dijamin dan tidak boleh dilanggar. Jumlah pekerja media yang menerima manfaat bantuan hukum dari LBH Pers secara keseluruhan sebanyak sekitar 190 pekerja media.
2. Impunitas Kekerasan terhadap jurnalis di tahun 2017
Sepanjang tahun 2017, LBH Pers melakukan monitoring dan sedikitnya kami mencatat ada 63 kasus kekerasan terhadap jurnalis atau narasumber. Adapun bentuk-bentuk kekerasan seperti intimidasi, pelarangan liputan, perusakan atau perampasan alat, kekerasan verbal, penganiayaan dan pelaporan kepada pihak kepolisian. Adapun pihak yang sering menjadi pelaku adalah dari pihak aparat penegak hukum yaitu kepolisian. Wilayah DKI Jakarta dan Papua daerah merupakan daerah terbanyak terjadinya kekerasan terhadap jurnalis.
· Penyelesaian Pembunuhan Jurnalis yang Belum Tuntas
Sejak tahun 1996, setidaknya ada 9 kasus pembunuhan jurnalis yang sampai saat ini belum diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia. Mereka adalah Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin 1996, jurnalis Bernas Yogyakarta 1997, Naimullah jurnalis Sinar Pagi 1999, Agus Mulyawan jurnalis Asia Press 1999, Muhammad Jamaluddin Kameramen TVRI 2003, Ersa Siregar jurnalis RCTI 2003, Herliyanto freelance journalist 2006, Adriansyah Matra’i Wibisono Jurnalis lokal TV di Merauke Papua 2010, Ridwan Salamun jurnalis Sun TV and Alfred Mirulewan dari tabloid Pelangi 2010.
3. Kriminalisasi Karya Jurnalistik
Narasumber adalah elemen penting bagi sebuah karya jurnalistik, sehingga keberadaannya tidak bisa dipisahkan dengan karya jurnalistik, artinya segala pertanggungjawaban atas karya jurnalistik pemimpin redaksilah yang bertanggung jawab. Maraknya kriminalisasi narasumber, selain menyebabkan narasumber melakukan swasensor terhadap pernyataannya, juga menimbulkan masalah baru antara narasumber dengan media. Media dan narasumber seringkali saling berusaha lepas dari tanggungjawab dalam menghadapi tuntutan hukum. Media merasa tidak bertanggungjawab terhadap pernyataan narasumber dengan alasan sudah berimbang, berita akurat dan sesuai pernyataan narasumber, namun disisi lain, narasumber merasa pernyataannya sudah melewati proses editing yang panjang sebelum diterbitkan menjadi berita.
4. Mendorong Penyelesaian Masalah Pemberitaan kepada Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pers di Dewan Pers
Tahun 2017 terdapat beberapa kasus sengketa pemberitaan yang diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian di Dewan Pers. Perkara yang didampingi oleh LBH Pers yakni kasus pemuatan artikel Allan Nairn oleh media online Tirto dengan tulisan berjudul “Investigasi Allan Nairn : Ahok Hanyalah Dalih Untuk Makar” dan pemberitaan 7 media online terhadap Kordinator Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia (PKNI), Edo Agustian yang menyatakan seolah-olah Edo sebagai pecandu narkoba. Kedua kasus tersebut akhirnya diselesaikan melalui proses penyelesaian di Dewan Pers dengan dibuatkan Risalah Penyelesaian antar para pihak.
5. Penyiaran dan Kebebasan Berekspresi
Memasuki tahun 2017 telah dimulai agenda pembahasan RUU Penyiaran di Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah bertahun-tahun proses pembahasan sempat tersendat di DPR yang kemudian mulai dibahas kembali di tahun 2017. Di dalam rumusan RUU Penyiaran tersebut menuai permasalahan terkait pengaturan konten siaran. Pengaturan tersebut meliputi pelarangan menayangkan suatu isi siaran yang dianggap menunjukkan adegan lesbian, gay, bisexual, dan transgender serta mempertunjukkan adegan laki-laki yang meniru gaya perempuan. Pelarangan tersebut dianggap membatasi dan mengekang kebebasan berekspresi masyarakat. Ketentuan tersebut sangatlah diskriminatif terhadap kelompok LGBT yang kedudukannya tetap sebagai warga negara yang dijamin hak berekspresinya oleh Konstitusi.
6. Kebebasan Pers VS Contempt of Court-Potensi Kriminalisasi Pers dalam RKUHP
Pembahasan RKHUP yang dibahas oleh Panja RKUHP Komisi III DPR RI telah berlangsung setidaknya lebih dari 2 tahun. Saat ini pembahasan R KHUP sudah berada di ujung penyelesaian. Sebelumnya Panja R KUHP menargetkan selesai pada akhir Desember 2017, namun target tersebut mengalami kemunduran. Dari pasal-pasal yang sudah selesai dibahas, terdapat di dalamnya pasal mengenai Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan Pasal 328 dan 329 RKUHP yang kami anggap sebagai kontra terhadap kebebasan pers dan berekspresi yang sudah dijamin oleh Konstitusi Indonesia.
Kebebasan Berekspresi
1. Kriminalisasi Kebebasan Berekspresi Melalui pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE
Beberapa catatan terkait permasalahan kebebasan berekspresi di internet yang paling menonjol adalah,
Pertama, tingginya kasus pencemaran nama baik dan penghinaan yang dilaporkan dan di usut oleh pihak kepolisian. Berdasarkan data dari Badan Reserse Kriminal Khusus Markas Besar Polisi Indonesia, terdapat 2700 laporan terhadap kasus pencemaran nama baik atau penghinaan sebagaimana mana dalam Pasal 27 ayat 3. Meskipun pasal defamasi ini dianggap masih konstitusional oleh konstitusi Indonesia, namun dalam catatan LBH Pers, pasal ini sangat sering disalahgunakan untuk menghambat kebebasan berekspresi di Internet. Tingginya ancaman pidana dalam pasal ini membuat pasal ini menjadi “idola” bagi para pelapor untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi.
Kedua, berdasarkan laporan tahunan dari Kementrian Komunikasi dan Informatika terdapat 773,037 situs yang telah diblokir oleh Pemerintah dengan kategori pornografi, kebencian terhadap SARA, penipuan, narkoba, perjudian, radikalisme, kekerasan, anak, keamanan internet dan hak kekayaan intelektual.
Ketiga, dalam revisi undang-undang ITE, legislatif memasukan pasal tentang Hak untuk dilupakan atau menghapus informasi atau biasa dikenal dengan Right To Be Forgotten (RTBF) . Munculnya pasal RTBF ditengah-tengah impunitas yang tinggi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aktor-aktor penting negara menimbulkan kekhawatiran di masyarakat akan terjadi penyalahgunaan dalam pasal ini.
2. Fenomena baru – persekusi
Sepanjang tahun 2017 begitu banyak rentetan kasus-kasus persekusi dengan pola-polanya tersendiri muncul ke publik. Berbagai kasus persekusi dilatarbelakangi oleh kasus mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok yang divonis bersalah karena didakwa melakukan penistaan agama sehingga memancing reaksi publik khususnya kelompok fundamentalis untuk memonitor pihak-pihak mana saja yang melakukan perbuatan penistaan agama serupa. Tensi politik yang tinggi yang didorong karena peristiwa Ahok Effect dan Pilkada Jakarta menjadi pendorong para kelompok fundamentalis untuk melakukan upaya persekusi terhadap siapapun yang mencoba berkomentar mengenai suatu agama khususnya islam.
3. Kelompok Minoritas dan Kritis Rentan Menjadi Sasaran Pemblokiran Website Secara Sewenang-Wenang
Dalam laporan tahunan Kementrian Komunikasi dan Informasi tentang jumlah situs atau website yang diblokir sampai akhir tahun 2016 sebanyak 773.037. Dari banyaknya situs website yang telah diblokir, sebanyak itu pula Pemerintah melakukan pemblokiran tanpa menggunakan mekanisme dan prosedur yang sesuai dengan pembatasan hak asasi manusia sebagaimana UUD 1945.
Berdasarkan beberapa pemaparan di atas, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) mendesak:
1. Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya untuk memastikan perlindungan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di tahun politik sebagai bagian untuk merawat demokrasi dan hak asasi manusia;
2. DPR RI untuk lebih teliti dan hati-hati dalam membahas UU yang berkaitan dengan kebebasan pers dan berekspresi, karena seperti yang sudah diungkapkan di atas bahwa kebebasan pers adalah syarat mutlak untuk negara demokrasi.
3. Mendesak Kapolri beserta jajarannya untuk mematuhi Nota kesepahaman Kapolri dengan Dewan Pers dalam menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan Media;
4. Menghimbau kepada masyarakat umum untuk mempergunakan UU Pers jika merasa dirugikan oleh pemberitaan di media, tidak melakukan cara-cara main hakim sendiri dengan cara apa pun termasuk persekusi;
5. Menghimbau agar para Jurnalis senantiasa memenuhi standar kode etik jurnalistik dalam setiap aktivitas jurnalistiknya;
6. Menghimbau kepada perusahaan media untuk memberikan perlindungan kepada para jurnalisnya di lapangan;
7. Menghimbau kepada Perusahaan Media untuk memberikan hak-hak terhadap para jurnalis dan pekerjanya sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan;
Jakarta, 12 Januari 2018
Hormat Kami,
Nawawi Bahrudin. SH
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers
Narahubung :Nawawi Bahrudin : 0815-961-3469
LEMBAGA BANTUAN HUKUM PERS
Jl. Kalibata TImur IV G, No. 10, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan
Telp. +6221-79183485, Fax. +6221-79183479, Hotline pengaduan:+6221-70305610
EMAIL :lbhpers@yahoo.com,
WEBSITE :www.lbhpers.org