Pdt. Weinata Sairin: “Tuhan: Sumber Pengharapan Abadi”

0
1985

 

“In te Domine, speravi. PadaMu Tuhan aku berharap”

 

Ada banyak kata, istilah, akronim, jargon dari anak-anak zaman “now” yang tak bisa lagi di fahami dengan tepat oleh generasi yang lebih tua. Apalagi banyak dari kata itu yang tak bisa dilacak di KBBI, Thessaurus dan bahkan mbah Google pun tidak selalu bisa ditanya dalam kasus seperti ini. Kata-kata itu hanya bisa difahami di lingkup mereka dan bisa juga menjadi semacam “bahasa rahasia” bagi mereka tatkala mereka mengalami berbagai permasalahan dalam berinteraksi dengan pihak lain. Bahasa anak-anak muda ini yang sering disebut bahasa gaul, bahasa prokem, lahir di Jakarta sejak tahun 80-an. Konon pada awalnya bahasa ini diperkenalkan oleh generasi muda yang mengambilnya dari kelompok masyarakat terpinggir, termasuk waria. Gaya seperti ini jika kita lihat banyak diungkapkan oleh komika Mongol lewat Stand Up Comedy. Salah satu ungkapan atau singkatan populer dilingkup generasi ini adalah “PHP”. “PHP”, pemberi harapan palsu, biasanya dikenakan kepada seorang laki-laki yang selalu mengumbar cintanya kepada banyak perempuan. Laki-laki ini acap merayu seorang perempuan dan menyatakan cintanya, namun kemudian ia juga pergi kepada perempuan yang lain lagi dan menyatakan cintanya juga kepada perempuan itu. Dalam perspektif anak gaul, type laki-laki seperti itu adalah laki-laki yang “PHP”, seorang laki-laki yang memberi harapan palsu, dan bukan harapan asli dan sejati.

 

Harapan, pengharapan, *hope* sangat penting bagi manusia fana. Walaupun seorang Euripides, dramawan Yunani 485 – 406 SM menyatakan dengan sinis bahwa “harapan tidak dapat diandalkan” namun manusia memerlukan harapan. Manusia yang dalam hidupnya tidak lagi memiliki harapan, ia akan tergolek saja tanpa makna. Harapan memberi roh dan spirit bagi manusia untuk menggapai sesuatu yang lebih baik. Bagi kita umat  beragama harapan kita itu berdasarkan iman, _faith_, yaitu sikap yang berbasis pada percaya kepada Tuhan.

 

Dalam konteks orang yang beragama maka harapan itu memiliki dua dimensi : harapan yang berkaitan dengan kehidupan kini dan disini, dunia fana dan harapan yang berhubungan dengan kehidupan di dunia mendatang sesudah kematian,yang dalam perspektif kristen biasa disebut sebagai pengharapan _eskatologis_. Kedua dimensi itu berbeda arah dan jurusannya namun keduanya tak bisa dipisahkan secara tajam.

 

Harapan di dunia fana ini yang bisa banyak sekali dan amat tergantung pribadi dan kapasitas seseorang. Ada harapan-harapan standar, misalnya agar naik kelas, lulus ujian, cepat di wisuda, naik pangkat, pindah golongan, promosi jabatan dsb. Ada harapan-harapan yang spesifik dan luar biasa : agar menang Pilkada, diangkat menduduki jabatan “basah”, memenangkan tender, dsb. Ada juga harapan-harapan yang agak nakal dan liar: tidak terkena OTT, tidak ketahuan sebagai pengedar sabu, dsb. Harapan yang berkaitan dengan masa yang akan datang sesudah kematian biasanya tidak beragam, malah tunggal : ingin masuk surga!

 

Orang yang berpengharapan tidak berarti orang yang pasif, yang duduk manis saja dan tidak melakukan apa-apa. Orang yang berharap adalah juga orang yang berjuang, bekerja keras, melakukan berbagai tindakan yg diperlukan, bahkan yang siap berkorban.

 

Justru karena seseorang memiliki pengharapan maka ia berjuang tak kenal lelah. Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyatakan “PadaMu Tuhan aku berharap”. Kita sebagai orang yang beragama, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa maka sumber dan dasar pengharapan kita itu adalah Tuhan, bukan kuasa lain. Kita berharap kepada Tuhan agar Ia memberi yang terbaik bagi kita bahkan bagi bangsa dan negara kita. Dialah Tuhan atas sejarah, Dialah pengendali sejarah dan berkuasa atas peradaban manusia. Dia pasti merealisasikan pengharapan kita sesuai dengan rencana agungNya. Dia tidak akan pernah bertindak PHP seperti manusia fana. Mari kita terus berharap kepada Tuhan, sambil tetap bekerja keras sesuai dengan panggilan dan kompetensi kita.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here