_”Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun dibumi selama tiga tahun dan enam bulan_” (Yakobus 5:17)
Doa adalah nafas hidup umat kristiani. Seorang warga Gereja tidak pernah lupa untuk berdoa baik secara pribadi maupun dalam komunitas. Doa dilakukan setiap saat, seiring dengan tarikan nafas. Doa tidak mengenal usia, tidak mempertimbangkan kondisi dan denominasi, tidak berkaitan dengan jabatan, tidak ada ada hubungannya dengan ‘sudah pensiun’ atau ‘masih bekerja’, sudah emeritus’ atau ‘masih menjadi ketua sinode’. Terminologi _doa_juga dikenal dalam kehidupan agama-agama dan dikalangan saudara-saudara berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pemikiran konseptual, narasi dan prakteknya, tentu saja berbeda dengan apa yang kita kenal dalam kehidupan Gereja. Jika konsisten, terminologi _doa_ tentu tidak ada dalam kamus mereka yang secara sadar tidak percaya kepada Tuhan. Istilah _doa_ dirasakan aneh, mau memohon doa kepada siapa? Dengan demikian Doa, ya bukan Do’a adalah istilah spesifik, yang hanya di kenal dalam kehidupan umat beragama.
Umat kristiani menjadikan Yesus sebagai _teladan_ dan referensi dalam berdoa. Hidup dan pekerjaan Yesus dipenuhi dengan doa. Doa amat kental dan integral dalam kedirian Yesus. Sosok Yesus tak bisa dipisahkan dari tindakan berdoa. Sebagai orang Yahudi maka Ia berdoa tiga kali sehari, pagi, siang dan sore (bdk. Maz 5:4; 88:14) walau pada titik-titik tertentu doaNya tidak sama dengan pemimpin agama Yahudi di zaman itu (lih. Mat. 6:5-6). Ia selalu mencari tempat _sunyi_ untuk berdoa; Ia berdoa _seorang diri_; Ia bisa sepanjang malam berdoa (lih. Mat. 14 : 22, 23, Mrk 1:32 dst, Luk 6:12). Doa bagiNya adalah kebutuhan pribadi untuk berkomunikasi dengan Bapa, dan bukan untuk mempertontonkan kepada publik kualitas spiritual.
Dalam kotbah dibukit, Yesus memberi perhatian khusus tentang Doa. Ia memberi pengajaran kepada murid-muridNya apa makna doa dan bagaimana sebaiknya berdoa (Mat. 6:5-15). Menurut Yesus jika kita berdoa jangan demonstratif: berdiri dalam rumah ibadah dan pada _tikungan jalan raya_ tetapi lakukan di dalam kamar. Kata-kata doa juga jangan bertele-tele, seolah dengan banyaknya kata, doa akan dikabulkan. Dalam bagian ini Yesus memberikan contoh teks sebuah doa standar, yaitu Doa Bapa Kami (Mat 6:9-13).
Dalam konteks Doa Bapa Kami, beberapa hari ini di media sosial beredar pandangan Paus Fransiskus (sejauh itu bukan hoax) yang ingin mengganti teks dalam Doa Bapa Kami *”janganlah membawa kami kedalam pencobaan* dengan teks baru yang dianggap lebih sesuai *”jangan biarkan kami masuk ke dalam pencobaan* sebagaimana yang sudah digunakan di Gereja Katolik Perancis. Menurut rasa bahasa Paus, teks yang ada sekarang mempunyai makna bahwa Tuhan yang secara aktif membawa seseorang masuk ke dalam pencobaan.
Mengubah teks Doa yang Yesus ajarkan 2000 tahun yang lalu, dan sudah dimuat dalam Alkitab dalam ratusan bahasa, dan telah dihafal dengan baik oleh jutaan warga Gereja, bukan hal mudah dan sederhana. Apalagi dalam konteks Indonesia yang majemuk, yang di dalamnya ada agama yang memiliki pandangan teologis tertentu tentang ‘keaslian’ dan atau ‘keabsahan’ kitab suci. Pengubahan teks Alkitab dalam hubungan dengan Doa Bapa kami bisa menghadirkan beban baru bagi kekristenan di negeri ini. Sebaiknya PGI dan KWI bertemu bersama untuk mengkaji hal itu dengan penuh kehati-hatian sehingga kekristenan di negeri ini akan dapat ditolong untuk melangkah kedepan dengan lebih baik. Adalah bijaksana andaikata kedua lembaga itu tetap mempertahankan teks yang telah ada, sambil memberikan tafsir yang lebih elaboratif atas teks Doa Bapa Kami dengan meninjaunya dari persektif linguistik yang lebih luas dan komprehensif.
Amat menarik tatkala Yakobus dalam suratnya menegaskan kembali pentingnya *doa* dalam kehidupan persekutuan umat beriman. Dalam perikop berjudul “Mengenai sumpah, dan doa untuk orang sakit” (Yak. 5:12-20), Yakobus secara spesifik menyinggung tentang *doa*. Jika ada yang menderita, sakit maka doa harus dipanjatkan, doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan yang sakit. Sebagai warga Gereja kita memiliki banyak pengalaman pribadi bagaimana doa itu berkuasa dalam hidup kita. Bukan doa formalistik, doa yang dipenuhi roh magis atau roh rutinitas tapi, istilah Yakobus, “doa yang lahir dari iman”. Artinya doa yang berdasarkan iman yang kukuh kepada Allah, bukan doa yang skeptis, doa yang didalamnya iman kepada Kristus itu dipertaruhkan. Tetapi pengabulan doa berada pada _domain Allah_, berbasis pada hak prerogatif Allah dan bukan pada kita, manusia. Bukan pada jumlah kata, durasi doa, sikap dan intonasi doa, bukan karena doa ditambah puasa maka doa dikabulkan. Tak ada standar atau *rumus baku* sebuah doa dikabulkan Allah. Rumus dan standar berada pada Allah, sesuai dengan rancanganNya, kairosNya, skenario keselamatanNya. Kita berdoa dengan iman yang _full_ lalu kita menanti dengan sabar dan tekun kapan Allah menjawab doa-doa kita.
Yakobus menunjuk Nabi Elia sebagai manusia biasa, bersungguh-sungguh berdoa dan doanya dikabulkan Allah : hujan tidak turun dan atau hujan turun (ayat 18)
Istilah “doa yang lahir dari iman”, “bersungguh-sungguh berdoa” yang dikemukakan Yakobus amat penting digarisbawahi karena hal itu berkaitan dengan bobot dan kualitas doa kita.
Yesus juga menyatakan bahwa doa itu harus dipanjatkan “dengan penuh kepercayaan” (Mat.21:22). Kita harus terus menaikkan doa kepada Allah disepanjang hidup kita, tanpa lelah dan jemu. Awalilah setiap doa dengan bersyukur kepada Tuhan atas anugerah kehidupan yang Ia sediakan, baru kita lanjutkan dengan permohonan/syafaat. Mari berdoa. Berdoa. Berdoa. Dan bekerja.
Selamat Merayakan Hari Minggu Advent III. God bless.
*Weinata Sairin*