“Se ipsum excusare et alium vituperare humanum est. Membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain adalah sifat-sifat manusia”.
Manusia bagaimanapun kuatnya, “powerfull” oleh karena uang, jabatan, dukungan politik, keturunan, kualifikasi akademik, dan sebagainya, dan sebagainya, tetapi realitas dan faktanya, manusia tetap “lemah” tiada daya. Kelemahan manusia terutama sekali bukan pada hal _fisik apalagi jika ia masih muda,_ tetapi hal-hal non-fisik : mental, spiritual. Secara kasat mata kelemahan itu kita saksikan melalui media massa, media cetak, elektronik, media sosial bahkan kita saksikan _live_ tanpa rundown yang jelas.
Mengingat bahwa titik lemah manusia lebih terkonsentrasi pada hal-hal yang berdimensi mental spiritual maka penguatan dimensi spiritualitas dan aspek bina mental menjadi sesuatu yang amat urgen. Kedua aspek itu mestinya dilakukan mulai dari keluarga, komunitas keagamaan, lembaga pendidikan dan komunitas yang ada dalam masyarakat. Seseorang melalui *pembiasaan* yang konsisten di dalam keluarga mengalami penguatan spiritualitas dan bergerak dari basis keluarga ia kemudian mendapatkan elaborasi dan pengayaan di komunitas keagamaan, lembaga pendidikan dan dalam kehidupan masyarakat.
Pembiasaan dalam keluarga juga tidak mudah apalagi di era digital seperti sekarang. Dulu sekitar 65 tahun yang lalu ayah dan ibu kita yang tekun memberlakukan pembiasaan itu kepada kita. Misalnya tatkala kita melaksanakan makan malam dan ayah/ibu tidak melihat atau mendengar bahwa kita memulai makan malam itu dengan _berdoa_ maka beliau selalu bertanya : ” apakah sudah berdoa sebelum makan?” “Kok tidak terdengar doanya?”. Jika kita katakan “sudah” maka persoalan sudah ‘dianggap selesai’. Namun pada kesempatan lain dan terjadi hal yang sama, tetapi kita katakan “lupa berdoa, karena terburu-buru sudah lapar” maka ayah/ibu dengan intonasi yang agak kesal meminta untuk melakukan doa makan. Ayah biasanya memberikan ‘kotbah singkat’ yang menekankan bahwa berdoa itu penting bagi setiap orang, apalagi doa makan.
Proses pembiasaan memang memerlukan kontrol dan pemantauan sehingga sebuah aktivitas itu menjadi sebuah kebiasaan dan akhirnya bisa menjadi bagian dari agenda kehidupan. Pembiasaan juga memerlukan sikap yang “otoriter” pada tahap-tahap awal. Jika pada tahap-tahap awal itu aktivitas tersebut sudah menjadi ‘biasa’ maka sikap otoriter tidak lagi diperlukan. Selain *pembiasaan* maka *keteladanan* juga menjadi hal penting untuk dikedepankan dalam upaya penguatan spiritualitas dan bina mental.
Aspek keteladanan itu amat penting untuk di kedepankan. Dan itu dimulai dari tengah-tengah keluarga. Teladan memberi hormat kepada guru, tokoh agama, orang-orang yang dituakan kita peroleh pada tahap awal dari ayah ibu kita. Bagaimana cara memberi hormat, cara berdoa, membaca kitab suci, menyanyikan lagu pujian kepada Tuhan, berdoa di rumah ibadah, dan sebagainya itu kita peroleh dari orang tua kita.
Sebagai anak kecil yang baru berusia 5-6 tahun kita sangat membutuhkan keteladanan dari orang tua kita. Ucapan-ucapan berbentuk nasihat akan makin mantap jika diberi contoh praktis oleh orang tua kita sendiri. Suasana kontradiktif sesekali terjadi juga tatkala pesan orang tua adalah X tetapi ditengah masyarakat yang justru dilakukan adalah yang Y. Realitas yang dualisme seperti itu membutuhkan klarifikasi dan konfirmasi dari.orang tua kita agar kita memiliki pilihan yang benar dan definitif.
Pepatah yang dikutip di awal tulisan ini mengingatkan bahwa sifat manusia adalah membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Sifat seperti ini memang menjadi bagian padu dari kedirian manusia, bahkan sejak zaman generasi awal umat manusia hal itu telah terjadi. Manusia tidak mau disalahkan, yang sudah jelas ia bersalah, ia tetap tidak mau mengaku salah. Ia malah mencari kambing hitam dan menimpakan kesalahan itu pada kambing yang warnanya hitam. Atau ia menimpakan kesalahan itu kepada orang lain.
Dalam perspektif agama-agama, seseorang itu mesti sportif mengakui kesalahan dan dosanya baik yang ia lakukan kepada orang lain maupun kepada Tuhan. Kita harus meminta maaf kepada sesama kita dan memohon pengampunan dosa kepada Tuhan. Jangan kita menimpakan kesalahan kita sendiri kepada orang lain dan kita membenarkan diri sendiri. Sifat mulia dari manusia adalah tatkala ia mau mengaku salah dan mengaku dosa, dengan segala konsekuensinya.
Selamat Berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*