Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
2 Timotius 2:19
Tetapi dasar yang diletakkan Allah itu teguh dan meterainya ialah: “Tuhan mengenal siapa kepunyaan-Nya” dan “Setiap orang yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan.”
Di kayangan, ada seorang dewa yang mempunyai banyak putri. Suatu hari dia menyuruh putri-putrinya itu turun ke bumi. “Putri-putriku, turunlah ke bumi, carilah suamimu di sana. Masing-masing pilihlah pemuda yang mencintaimu dan jadilah istrinya,” kata sang dewa kepada putri-putrinya. Maka turunlah mereka ke bumi dan masing-masing masuk ke daerah yang berbeda. Karena parasnya yang cantik dan sikapnya yang lemah lembut, masing-masing putri dewa ini, disenangi dan dicintai oleh semua orang. Dalam waktu yang bersamaan mereka menemukan pemuda yang mencintainya. Masing-masing pemuda itu mengungkapkan rasa cintanya, membuat putri-putri ini merasa senang. Mereka menyatakan cintanya menurut bahasanya masing-masing.
Putri yang turun di Batak, mendapatkan pasangannya setelah seorang pemuda menyatakan cintanya: “Holong do roha’ku tu ho”. Yang turun di Jawa, mendapat penyataan cinta dari pemuda setempat dengan berkata, “Aku trisno marang koe”. Yang turun di Sunda, didatangi pemuda yang mencintainya dengan berkata, “Abdi bogo kamane”. Di Poso juga demikian, seorang pemuda di sana berkata, “Kupomawo siko”. Pemuda di Manado juga tak ketinggalan menyatakan isi hatinya, “Kita suka pangana”. Demikian juga pemuda Ambon kepada puteri yang datang ke tempatnya, berkata, “Beta cinta ose lebeh”. Pemuda Toraja juga, dengan perasaan cinta menyatakan, “Ku kamali’ ko”, dan seterusnya.
Seluruh putri ini senang mendengar ungkapan-ungkapan itu. lalu mereka menikah dan merayakan pernikahannya menurut kebiasaan masing-masing tempat. Tahun-tahun pertama pernikahan mereka lewati penuh keindahan. Dan setiap putri ini tetap senang mendengar kata-kata cinta pasangannya.
Akan tetapi pada tahun kelima semua putri ini secara bersamaan pulang dan kembali ke kayangan. Mereka kembali tanpa sepengetahuan suaminya masing-masing. “Kenapa kamu tinggalkan suamimu, apa kamu tidak senang hidup dengan pria idamanmu di bumi?” tanya ayahnya. Serentak mereka menjawab: “kami senang ayah, tapi belakangan ini mereka tidak lagi mengatakan kata-kata cinta mereka. Mereka tidak mau lagi mengatakannya. Mereka lebih banyak mengeluh, lalu kami tinggalkan.
Saudara, ungkapan cinta para pemuda tadi beragam, tapi maknanya sama dan sama diterima oleh para putri kayangan.
Dalam beribadah pun demikian, kita mempunyai ungkapan yang beragam tapi semuanya menyatakan kerinduan yang sama. Kenyataan yang beragam adalah karena kita diciptakan Tuhan dalam keragaman.
Jadi tidaklah salah kalau orang Jawa mengungkapkan iman dan pujiannya atau mengekspresikan ibadanya dalam ke-Jawaan-nya, orang Batak dalam ke-Batakkannya, orang Toraja dalam ke-Torajaannya, dan lain sebagainya.
Yang menjadi masalah adalah: kalau kita tidak konsisten dengan apa yang kita ucapkan. Kalau begini, maka cinta tinggallah cinta, ibadah tinggallah ibadah, doa tinggallah doa, tak menggugah dan tak menggetarkan hati lagi.
Adakah ungkapan-ungkapan iman, janji dan komitmen kita selama ini kita tetap kita pegang secara sadar dan konsisten? Renungkanlah. Jangan ada dusta di antara kita. Sungguh, Tuhan mengenal kita sebagai kepunyaan-Nya.