AMBON – Salah satu rangkaian kegiatan dalam acara International Interfaith Dialogue (IID) GMKI adalah mengunjungi Masjid Darul Na’im di desa Wayame. Dalam kunjungan ini, Pengurus Pusat GMKI dan rombongan disambut hangat oleh pengurus Masjid tersebut.
Pengurus Masjid Darul Na’im, dalam sambutannya mengatakan bahwa desa Wayame adalah salah satu desa yang paling toleran dalam menjaga kerukunan umat beragama di kota Ambon.
“Kami mendengar bahwa desa Wayome merupakan desa yang tidak terkena kontaminasi dari konflik tahun 1999. Sampai sekarang keharmonisan umat beragama tetap terjaga dengan baik. Kita perlu belajar banyak dari masyarakat Wayame,” ujar Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI, Sahat Martin Philip Sinurat saat menyampaikan maksud kunjungan tersebut di hadapan pengurus Masjid, peserta IID dan penduduk desa Wayame, Jumat (17/11).
Sahat menyampaikan rasa terimakasih kepada jemaat Masjid Darul Na’im Wayame karena telah menyambut dengan rasa persatuan yang begitu hangat.
“Kami dari Pengurus Pusat GMKI dan rombongan belajar banyak dari pengalaman yang dilakukan warga Wayame. Keharmonisan masyarakat Wayame yang dapat menghadapi tantangan konflik dapat menjadi contoh bagi warga lainnya di Indonesia, bahkan dunia,” ujar Sahat.
Alumni program magister Studi Pembangunan ITB ini juga menyatakan bahwa peran warga Wayame yang terus merawat keharmonisan antar umat beragama perlu dicontoh oleh kota-kota lain di Indonesia.
“Wayame sangat tepat menjadi salah satu Laboratorium Perdamaian di kota Ambon dan provinsi Maluku,” ujar Sahat.
Setelah bersilaturahmi di Masjid Darul Na’im, Pengurus Pusat GMKI melanjutkan kunjungan ke Gereja Pniel Wayame yang berada tidak jauh dari lokasi Masjid. Kedatangan rombongan kegiatan IID diiringi oleh warga Muslim Wayame sambil diiringi musik rebana. Kunjungan rombongan IID disambut oleh Pengurus Gereja Pniel Wayame.
*PMII: Fokus PMII adalah Menghadapi Radikalisme di Dalam Kampus*
Di Gereja Pniel Wayame, para peserta mengikuti diskusi dan berbagi pengalaman dari beberapa pembicara, antara lain Ketua Umum PB PMII Agus Herlambang, Ketua Umum AM GPM Pdt. Max Takaria, Wakil Ketua Federasi Mahasiswa Kristen Dunia Asia Pasific (WSCF AP) Saman Jayasuriya, dan Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI, Sahat Martin Philip Sinurat.
Agus Herlambang, Ketum PB PMII, menyampaikan bahwa PMII fokus mengatasi persoalan radikalisme yang menjangkiti mahasiswa Indonesia, terkhusus mahasiswa di kampus negeri.
“Generasi muda adalah investasi masa depan bangsa. Maka organisasi seperti PMII dan GMKI harus fokus membina dan mendidik mahasiswa agar memahami nilai-nilai ke-Indonesia-an yang berdasarkan Pancasila,” ungkap Agus.
Menurut Agus, organisasi seperti PMII harus dapat mengikuti perkembangan zaman. Salah satunya dengan memanfaatkan media sosial dan teknologi untuk menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila kepada generasi millenial Indonesia.
“PMII saat ini melihat perlunya generasi muda menggunakan media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai positif, baik melalui media sosial, maupun dengan membuat video tentang tempat-tempat yang menjaga nilai-nilai kebangsaan, seperti Wayame,” ujar alumni pesantren Jombang ini.
Ketua Umum AM GPM Pdt. Max Takaria menyampaikan bahwa Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AM GPM) saat ini fokus dalam pendidikan karakter.
“Melalui pendidikan karakter, AM GPM ingin menunjukkan bahwa setiap orang dapat menjadi pemimpin asalkan memiliki pengalaman yang baik. AM GPM ingin mendidik pemuda gereja yang memahami nilai-nilai kebangsaan dan integritas,” ujar Max.
Wakil Ketua WSCF AP, Saman Jayasuriya mengucapkan terimakasih atas pelaksanaan kegiatan IID 2017.
“Kami melihat GMKI fokus terhadap persoalan intoleransi yang tidak hanya menjadi persoalan regional tapi juga nasional, bahkan dunia. Kami sangat tertarik dengan desa Wayame yang dapat menjadi contoh bagi dunia,” ujar Saman.
*Bangun Monumen Toleransi di Wayame Sebagai Laboratorium Perdamaian*
Kegiatan International Interfaith Dialogue melakukan peletakan batu pertama untuk membangun Monumen Toleransi di Desa Wayame, Ambon, Maluku. Pembangunan monumen tersebut guna menunjukkan bahwa Wayame merupakan laboratorium perdamaian.
Ketua Umum PP GMKI, Sahat Martin Philip Sinurat menyatakan bahwa pembangunan tersebut dilakukan sebagai bentuk semangat dari peserta International Interfaith Dialogue untuk membahas dan merumuskan strategi dalam menyelesaikan konflik intoleransi.
“Kami melihat bahwa kota Ambon bukanlah kota konflik melainkan kota perdamaian karena semua masyarakat telah sepakat bahwa mereka adalah basudara,” kata Sahat.
Dia juga menyampaikan GMKI ingin monumen ini tidak hanya menjadi monumen yang bisu melainkan dapat menyuarakan pesan-pesan perdamaian ke seantero negeri, bangsa, bahkan dunia.
“Kami mengucapkan terimakasih kepada Walikota dan Wakil Walikota Ambon yang mendukung pembangunan Monumen Toleransi ini. Kami berharap desa ini akan menjadi tempat belajar, tidak hanya bagi masyarakat Maluku, tapi juga Indonesia, bahkan dunia,” ujar Sahat.
Sahat menyampaikan bahwa masyarakat dunia perlu melihat bahwa masyarakat Wayame bisa menjadi contoh dalam menghadapi konflik secara cepat dan menjadikan Kota Ambon sebagai laboratorium perdamaian.
“Nilai-nilai toleransi dan perdamaian harus abadi, tidak digerus oleh waktu. Kita ingin Monumen Perdamaian dan Toleransi ini dapat abadi menyampaikan pesan-pesan perdamaian tentang pentingnya menjaga keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara,” tutup Sahat.