“Ut desint vires, tamen est laudanda voluntas. Meskipun sudah tanpa kekuatan namun kemauannya masih patut dipuji”.
Kemauan, keinginan adalah sesuatu yang khas manusia. Manusia hingga usia berapapun tetap memiliki ‘kemauan’. ‘Kemauan’ biasanya lebih sempit dan teknis dibanding dengan “cita-cita” dan atau “program”. Pasien di Rumah Sakit di kelas tertentu misalnya acap ditanya “pak esok pagi _mau_ makan bubur atau roti?” “Bapak ini kemauannya makan sayur yang bersantan, tapi itu kan tidak baik bagi kesehatan”. Dialog seperti ini acap kita dengar di Rumah Sakit. Memang para pasien di Rumah Sakit, tanpa berfikir tentang penyakit yang dideritanya, memiliki banyak sekali “kemauan”. Kemauan dalam konteks ‘makanan’ juga kemauan dalam konteks yang non-makanan.
Pada waktu kita masih menempuh pendidikan di Sekolah Rakjat (kini Sekolah Dasar) salah satu peribahasa yang terkenal, dari ratusan peribahasa yang ada, berbunyi “Dimana ada kemauan, disitu ada jalan”. Disini, _kemauan_ menjadi penggerak utama. Selama masih ada’kemauan’, ada hasrat, ada ‘niat baik’ maka akan selalu terbuka jalan, akan terkuak sebuah perspektif baru yang sebelumnya berada diluar kerangka berfikir kita.
Kemauan atau kehendak merupakan dasar untuk mempelajari beberapa hal yang berhubungan dengan pengetahuan lainnya. Kemauan adalah faktor pendorong seseorang untuk mengerjakan sesuatu hal dalam kehidupan nyata. Dalam banyak pengalaman ternyata kemauan adalah tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri; kemauan itu juga adalah potensi dari dalam diri manusia yang diarahkan oleh pikiran dan perasaan.
Ada saat-saat tertentu oleh karena banyak faktor penyebab, seseorang apatis dan tidak punya kemauan sama sekali. Hal ini biasanya terjadi pada seseorang yang berdasarkan hasil pemeriksaan lengkap, dokter menetapkan diagnosis yang menyatakan bahwa penyakit orang itu tak bisa disembuhkan, dan tinggal menunggu waktu saja, kecuali ada mujizat. Mereka yang tak siap dengan pernyataan dokter seperti itu biasanya kehilangan pengharapan, dan sekaligus kehilangan kemauan dan antusiasme. Ia kemudian murung dan menutup diri bahkan menghindarkan diri dari komunikasi dengan orang lain.
Namun ada juga orang sudah di vonis dokter bahwa penyakitnya itu telah sangat parah, tetap optimis, tetap memiliki kemauan untuk melakukan kegiatan. Ia malah membentuk komunitas sendiri yang didalamnya ia berbagi bagaimana menghindarkan serta mengatasi penyakit yang mengancam kehidupan. Ia tidak kehilngan kemauan dan semangat dan menikmati penyakit yang ia derita itu dengan tabah sambil makin mendekatkan diri kepada Tuhan. Hasrat, kemauan, keinginan memang seharusnya tetap terpelihara dalam hidup dan kedirian kita sehingga kita mampu menjalani kehidupan ini dengan lebih berani.
Orang yang kehilangan jabatan atau dimutasi dari “jabatan basah” ke “jabatan kering” biasanya juga mengalami frustrasi yang luar biasa. Ia marah, benci, kecewa dan kehilangan semangat dan kemauan.
Pernah Nathaniel Hawthorne kehilangan jabatannya di pemerintahan. Ia pulang ke rumah dengan berjuta perasaan : kecewa, marah, putus asa dsb. Istrinya memahami kesedihan dan kekecewaan yang dihadapi suaminya. Ia tidak bereaksi apa-apa yang bisa menimbulkan kegaduhan. Ia menyiapkan pulfen diatas meja, menyalakan api di panggangan lalu melingkarkan lengannya di pundak suaminya dan berkata : “Sekarang kau punya kesempatan untuk menulis bukumu”. Nathaniel tersentuh dengan ucapan istrinya. Kemudian ia berhasil menulis bukunya “The Scarle Letter”. Dorongan untuk memulai kemauan bisa datang dari siapa saja, termasuk dari sang istri yang tahu dan apresiasi terhadap bakat dan cita-citanya.
Agama-agama mengingatkan agar kita tetap memiliki kemauan positif dalam menjalankan kehdupan ini. Kondisi fisik yang uzur yang terbatas tidak menghalangi kemauan kita untuk melakukan sesuatu yang baik. Mari terus memgembangkan sikap berkemauan baik agar kehadiran kita penuh makna bagi orang lain.
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin.