“Da Gloriam Deo. Berikan kemuliaan kepada Allah”.
Manusia Indonesia adalah manusia religius. Religiusitas manusia Indonesia secara kasat mata bisa kita lihat secara riil dalam kehidupan praktis. Ungkapan-ungkapan vokatif yang meluncur secara spontan dari mulut warga kita amat religius. Misalnya : “puji Tuhan, Haleluya”, “syukur alhamdulilah” dan sebagainya. Pada hari-hari raya keagamaan kekentalan religiusitas warga bangsa kita terlihat secara eksplisit. Realitas itu tak bisa difahami dalam frame keberagamaan yang formalistik atau bahkan yang ‘kosmetik’ tetapi benar-benar sebuah wujud keberagamaan yang kukuh, sakral dan vertikalistik.
Keberagamaan manusia Indonesia mendapat penguatan yang legitim dari Pancasila dan UUD NRI 1945. Tatkala NKRI ini menyatakan diri sebagai negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa maka seluruh warga bangsa ini adalah umat beragama yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang secara teknis detail lebih diatur oleh masing-masing agama.
Sebagai umat beragama yang hidup di negara RI kita juga patut bersyukur kepada Tuhan dan berterimakasih kepada Pemerintah karena dalam segala keterbatasannya, Pemerintah telah memberikan pelayanan bagi 6 (enam) agama yang ada yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu. Pemerintah harus terus berupaya menetapkan sistem dan prosedur agar semua agama yang ada di negeri ini mendapat pelayanan dari Pemerintah.
Pemerintah juga setiap tahun secara resmi menetapkan hari hari libur sehubungan dengan peringatan hari besar keagamaan. Dalam konteks penetapan hari besar keagamaan, kordinasi Pemerintah dengan lembaga keagamaan tingkat nasional harus makin diperkuat. Hal itu akan membantu baik bagi Pemerintah maupun umat beragama. Istilah yang digunakan dalam konteks hari besar keagamaan seharusnya adalah istilah yang berasal bersumber dari umat beragama itu sendiri sehingga dapat menghindarkan adanya tafsir dan atau problem teologis yang tidak perlu. Pemerintah juga harus membatasi diri pada ranah yang memang menjadi tugasnya. Tidak boleh terulang peristiwa tahun 2003 tatkala Pemerintah up. Menko Kesra memundurkan peringatan Hari Kenaikan Yesus Kristus dari hari Kamis menjadi hari Jumat yang menimbulkan berbagai pertanyaan dari warga Gereja.
Pada waktu tahun 2003 itu Pemerintah menyatakan bahwa hari raya agama itu dibagi dua, ada yang ritual dan seremonial. Yang seremonial itu bisa dimajukan atau dimundurkan. Hari Kenaikan Yesus Kristus itu termasuk dalam kategori seremonial. Persoalannya adalah apakah ranah atau tupoksi Pemerintah termasuk dalam membuat kategorisasi hari raya keagamaan ?
Sebagai umat beragama kita terpanggil untuk menjalankan kewajiban agama secara khusuk dengan sebaik-baiknya, dengan rasa syukur dan sukacita kepada Tuhan. Fungsi Negara/Pemerintah adalah memfasilitasi agar umat beragama dapat melaksanakan aktivitas agamanya dengan sebaik-baiknya, memberikan jaminan keamanan dan perlindungan hukum agar pelaksanaan aktivitas keagamaan berjalan dengan baik.
Memuliakan Allah adalah panggilan kita sebagai umat beragama yang amat penting dan fundamental. Dalam ibadah yang kita lakukan, dimanapun, disitulah kita memuliakan Allah. Namun ‘memuliakan Allah’ bukan hanya sebuah ‘akta teologis’. ‘Memuliakan Allah’ juga adalah sebuah ‘akta praksis’ yaitu suatu tindakan praktis yang kita lakukan dalam kehidupan kita. Tak boleh ada paradoks dan kontradiksi antara ” akta teologis” dan “akta praksis”. Tidak boleh terjadi kita memuliakan Allah dalam ibadah tetapi kita terus melakukan tindakan korupsi dalam dunia nyata.
Kita harus mengindari sikap pseudo memuliakan Allah, berpura-pura memuliakan Allah. Kita harus berjuang untuk sepenuhnya dan sebenar-benarnya memuliakan Allah.
Kita harus menampilkan keberagamaan yang utuh penuh sebagai wujud memuliakan Allah. Kita wajib memuliakan Allah dengan seluruh kedirian kita, dengan pikiran, perkataan, perbuatan kita. Tak boleh ada sikap dikotomis dalam memuliakan Allah.
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin.