Ingat: Setiap Orang Hendaknya Cepat Mendengar, Lambat Berkata-kata

0
9842

Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi

 

Yakobus 1:19-27

(19) Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; (20) sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. (21) Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. (22) Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. (23) Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. (24) Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya. (25) Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya. (26) Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya. (27) Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.

 

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah.” Dari ayat ini kita dapat menarik tiga pelajaran yang patut dijadikan prinsip hidup orang Kristen.

Pertama, kita diminta cepat untuk mendengar. Kalau dalam suatu percakapan terjadi perbedaan pendapat, itu biasa. Barangkali juga kita mungkin tidak mencapai kesepakatan, itu wajar. Walau begitu, kita harus belajar membiasakan diri untuk mendengar orang lain. Seringkali perselisihan memuncak karena ego kita sendiri. Kita menganggap bahwa hanya kita yang benar, dan ketika keinginan kita tidak diikuti, kita lalu marah dan bereaksi keras. Sikap seperti ini hanya akan merugikan kita. Untuk itu kita harus belajar menjadi pendengar yang baik. Ketika Yesus berkunjung ke rumah Marta dan Maria, Marta memilih untuk sibuk melayani, tetapi Maria memilih untuk diam di dekat kaki Yesus dan terus mendengarkan perkataan Yesus dengan sungguh-sungguh (Lukas 10:38-42). Apa yang dilakukan Maria menurut Yesus adalah “memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari padanya.”

Ada kalanya kita harus berbicara, namun ada juga saat dimana kita harus menjadi pendengar yang baik, yang mampu mendengar dengan cepat sebelum menarik kesimpulan dengan tergesa-gesa atau terburu-buru untuk menuduh orang lain. Hati yang cepat mendengar akan akan membuat kita mampu melihat dengan lebih jelas permasalahan dari sudut pandang orang lain sehingga bisa menghindarkan kita dari amarah berlebihan yang akan merusak diri kita sendiri dan menyakiti orang lain.

Kedua, kita diminta lambat untuk berkata-kata. Menurut penelitian, setiap orang mampu berbicara sebanyak 150-an kata permenit. Jika kemampuan ini diarahkan secara positif, tentu sangat baik. Tetapi, kalau diarahkan untuk hal-hal negative, dunia kita akan menjadi kacau, hanya karena kata-kata. Seringkali orang yang terburu nafsu dan tanpa pengendalian diri mempermalukan diri sendiri dengan mengumbar kata-kata yang provokatif dan tidak pantas untuk diucapkan. Yesus mengajarkan sesuatu yang sangat menarik mengenai perkataan. Kata-Nya, “Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum.” (Matius 12:35-37). Cepatlah mendengar, lambatlah berkata-kata. Hal itu akan menjauhkan kita dari berbagai sikap tercela dan menunjukkan kebijakan diri kita.

Ketiga, kita juga diminta lambat untuk marah. Bolehkah kita marah? Marah sebenarnya adalah bagian jiwa manusia, sehingga rasanya tidak akan ada orang yang sama sekali tidak pernah marah. Wajar, jika pada kondisi tertentu orang bisa marah. Dan terkadang dalam situasi tertentu, kita memang perlu marah. Alkitab juga tidak melarang untuk marah. Yang tidak boleh adalah marah secara berlebihan, berkepanjangan dan tidak terkendali (bdk. Efesus 4:26-27). Yakobus mengingatkan agar kita lambat untuk marah karena menurutnya amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Orang yang sedang dilanda kemarahan meluap-luap tidak akan dapat melakukan hal yang baik, yang berkenan di hadapan Allah.

Oleh karena itu janganlah terburu-buru untuk marah, karena kemarahan yang terlalu sering dan tidak terkendali akan merusak hidup kita, menghancurkan masa depan kita bahkan orang lain, dan merugikan banyak orang, termasuk diri kita sendiri. Jangan terburu nafsu untuk marah ketika kita tidak sependapat dengan orang lain atau ketika apa yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan anda. Belajarlah untuk mendengar orang lain, tidak terburu-buru melontarkan perkataan sebelum memahami sesuatu hal, dan tidak menjadi pemarah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here