Pdt. Weinata Sairin: “Nullus pudor est ad meliore transite. Tidaklah memalukan untuk berubah menjadi lebih baik”.

0
1221

Menuju Hidup yang Makin Baik dan Bermakna

 

Walaupun seorang filsuf sejak zaman baheula sudah menyatakan bahwa “semuanya mengalir, semuanya berubah” namun dalam kenyataan praktis tidak begitu mudah untuk berubah dan atau melakukan perubahan. Bahkan yang lebih ekstrim lagi ada orang yang secara sengaja melawan perubahan itu. Apalagi jika perubahan itu akan menimbulkan “kehilangan” ya kehilngan jabatan, kehilangan projek, kehilangan fasilitas, kehilangan kesempatan, kehilangan rasa aman, kehilangan kenyamanan, dan juga “kehilangan muka”. Akan ada banyak orang yang menentang gerakan perubahan apabila diasumsikan bahwa perubahan itu akan membuat banyak kehilangan. Perubahan dihadang. Perubahan ditentang. Perubahan digembosi. Perubahan hanya tinggal nama, perubahan hanya sebuah rangkaian huruf, namun tanpa jiwa.

 

Adalah penyair Sunda bernama Ayip Rosidi yang dalam puisinya tahun 1962 berjudul “Tiada yang lebih aman” mengungkap kegamangan diseputar perubahan itu. Berkata Ayip dalam salah satu bagian puisinya itu :

….” Tiada yang lebih gamang,

tiada yang lebih senang/

menghadapi masa datang/

yang kan jadi s’karang/

Detik-detik berloncatan/

tak satu pun kembali terulang/

antara tadi dan nanti, sekarang  menghalang”

 

Manusia hidup dalam ruang sejarah. Ia berkarya di pentas zaman. Dari waktu ke waktu dari zaman ke zaman, perubahan waktu acap menghadirkan kondisi psikologis tertentu dalam diri manusia. Era yang dianggap baik di suatu zaman tertentu terkadang terasa berat untuk ditinggalkan karena masa datang belum dapat dipastikan kondisinya. Pergulatan psikologis seperti itu mampu ditangkap cerdas oleh seorang Ayip. Perubahan yang akan dialami di era baru menghadirkan sikap skeptis bagi sebagian orang.

 

Ayip mencoba menarasikan bahwa masa datang menghadirkan rasa senang dan gamang. Namun masa datang yang membawa perubahan itu tak bisa dibendung, hal itu akan mewujud. Kesemuanya akan mengalir, akan berubah; detik-detik berloncatan, waktu bergulir satu-satu. Angin perubahan menyibak tegak. Bagaimanapun manisnya sebuah masa lampau yang telah menorehkan kenangan manis, masa datang yang mengembuskan angin perubahan tetap akan datang.

 

Semua agama datang dengan mengusung isu perubahan, yang memandu manusia untuk melakukan perubahan, perubahan dari sikap-sikap dan perilaku negatif kearah sikap yang positif. Ajaran agama mendorong manusia untuk *bertobat*, *bermetanoia*, sehingga ia tampil benar-benar sebagai makhluk mulia ciptaan Allah yang berbeda dari makhluk lainnya. Manusia yang dulu percaya kepada pohon-pohon besar (animisme, dinamisme) kemudian mereka memasuki _milestone_ yang baru ketika mereka percaya kepada Tuhan, Allah Yang Maha Esa.

 

Sejatinya ketika manusia percaya kepada Tuhan, ia adalah *ciptaan baru*, yang baru itu nampak dan yang lama itu telah berakhir. Roh ketuhanan telah membarui kedirian manusia, mengakhiri kuasa dari roh animisme dan dinamisme yang pernah menguasai manusia.

 

Pepatah kita menyatakan “tidaklah memalukan untuk berubah menjadi baik”. Ya tidak memalukan, malah membanggakan. Berubah menjadi lebih baik berarti kita menjalankan perintah agama, melaksanakan ketentuan perundangan. Berubah menjadi lebih baik berarti kita bertobat ( *tobat nasuha,* kata pak Kyai sahabat saya), kita bermetanoia (bertobat: Yunani). Berubah menjadi lebih baik secara praktis artinya tidak lagi : menipu, menggoreng isu, memproduksi hoax, korupsi, bikin anggaran fiktif, menista menghina agama, membuat ujaran kebencian, membobol ATM, mendisreditkan apa dan siapapun. Kita sebagai makhluk mulia ciptaan Allah harus berubah menjadi lebih baik. Setiap saat. Setiap hari. Sebelum sang maut menjemput.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here