Jangan Gadaikan Imanmu

0
4594

Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi

 

 

Matius 26:14-16

(14) Kemudian pergilah seorang dari kedua belas murid itu, yang bernama Yudas Iskariot, kepada imam-imam kepala. (15) Ia berkata: “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?” Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya. (16) Dan mulai saat itu ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus.

 

Hidup sebagai murid Kristus adalah hidup di bawah kuasa-Nya. Kristuslah yang memerintah di setiap relung kehidupan kita. Citra ini harus tercermin dalam kehidupan kita secara individual maupun secara sosial. Bila tidak begitu, kita akan bersikap mendua. Maksudnya, secara pribadi mungkin kita memelihara nilai-nilai moral, kita hidup beriman dan bertakwa, namun dalam kehidupan bermasyarakat kita dikenal kejam dan tak bernurani. Contoh ini bisa terlihat, misalnya, dalam dunia kerja, baik di bidang ekonomi maupun politik. Walau rajin bergereja, tapi ia sering tak berperikemanusiaan kepada bawahan atau kepada rekan kerjanya. Pribadi seperti ini sulit merasakan kehidupan damai dalam arti yang sebenarnya.

Yudas adalah salah seorang murid yang gagal “menghambakan” dirinya kepada Kristus. Ia bersedia mengikuti Kristus. Ia menjalankan tugasnya dengan baik. Tapi ternyata, hatinya tidak sepenuhnya untuk Kristus. Ketika pemimpin agama berusaha untuk menangkap Yesus, Yudas menawarkan diri untuk membantu mereka. Ia berkata: “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?” (ay. 15). Para pemimpin agama berjanji akan mereka membayar Yudas dengan uang berjumlah tiga puluh perak. Paulus tertarik dengan tawaran itu, ia bersedia menjadi “mata-mata” untuk melancarkan rencana mereka. Dikatakan dalam ayat 16, “Dan mulai saat itu ia (Yudas) mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus. Yudas diam-diam “menjual” Guru-Nya. Ia menggadaikan imannya demi 30 uang perak.

Tapi apa yang terjadi dengan Yudas di kemudian hari? Ia dikejar-kejar oleh perasaan bersalahnya. Ia bukannya merasa berbahagia, tapi sebaliknya, diliputi oleh ketakutan dan kegelisahan yang mencekam. Dia tidak sanggup hidup seperti itu, sehingga mengakhiri semuanya dengan cara menggantung dirinya sendiri di atas pohon.

Sebagai murid Kristus, kita harus menyadari bahwa hidup dalam pemerintahan Yesus, adalah hidup yang telah mengalami perubahan radikal dan mendasar. Bukan sekedar berubah dari ‘luar’nya saja tapi benar-benar bertobat. Dengan bertobat, hidup diubah dan diangkat ke tingkat yang lebih tinggi. Mengapa dikatakan demikian? Karena pertobatan tanpa perubahan tidak akan membawa kita kepada kedudukan yang benar sebagai murid Kristus. Bertobat, artinya berbalik secara radikal. Berubah sepenuhnya dari “yang lama” kepada “yang baru”. Dari kehidupan yang dikuasai nafsu kedagingan menjadi dikuasai oleh Roh Kudus. Dan ini berlangsung seterusnya dan selamanya.

Kalau perubahan hanya bersifat sementara, itu belum dapat disebut bertobat. Memang harus diakui, banyak orang memperlihatkan semangat yang menggebu-gebu pada awal pertobatannya, tapi setelah itu dingin dan beku. Tak ada semangat lagi. Hidup dalam pertobatan adalah berjuang terus-menerus untuk menaati perintah-perintah Yesus. Dialah sang Guru dan kitalah murid-Nya. Tanpa ketaatan penuh, kita mudah menggadaikan iman kita demi memperoleh kenikmatan dunia. Kita akan mudah terpikat oleh godaan dunia lalu “menjual” sang Guru. Suara dunia sekarang ini begitu keras dan gencar menawarkan godaannya. Jika kita tidak tahan, kita akan menjadi Yudas-Yudas baru di masa kini yang mencari kesempatan baik untuk menyerahkan Yesus. Waspadalah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here