Hidup manusia dalam perspektif agama-agama adalah menyusuri garis linier yang membentang dari tonggak A menuju tonggak Z. Rentang waktu A-Z ini adalah rentang standar dengan mengacu kepada urutan abjad sebagaimana yang kita kenal. Bisa saja terjadi ada orang yang tidak sampai mencapai Z; ada yang hanya sampai D E F dan seterusnya. Dalam bahasa sekuler, itu tergantung sponsor! Dan dalam bahasa agama kurun waktu yang bisa dicapai seseorang amat tergantung pada hak prerogatif Allah, pada rencana keselamatan dan KasihNya kepada manusia.
Sejak awal negeri ini mengenal program pembangunan, zaman baheula ada : “Pembangunan Semesta Berencana”; maka agama-agama selalu mengingatkan agar manusia menjadi tokoh sentral dalam pembangunan. Artinya, manusia sebagai makhluk ciptaan yang mulia, tidak disisihkan dalam program pembangunan, bahkan manusia jangan menjadi korban dari pembangunan. Itulah sebabnya dalam kamus pembangunan kemudian dipupulerkan istilah “pembangunan manusia seutuhnya”.
Dengan jargon “pembangunan manusia seutuhnya” dimaksudkan agar pembangunan itu tidak hanya memproduk gedung-gedung tinggi pencakar langit tetapi juga pembangunan mental spiritual manusia. Kita patut bersyukur oleh karena pada RPJMN atau pada dokumen Nawacita peran strategis manusia amat diperhitungkan.
Dalam RPJMN 2005-2025 ditegaskan bahwa “pembangunan manusia pada intinya adalah pembangunan manusia seutuhnya. Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan agama adalah mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, mewujudkan kerukunan intern dan antar umat beragama serta memberikan rasa aman dan perlindungan dari tindak kekerasan”
Dalam Nawacita (=sembilan harapan) yaitu program Presiden periode ini, program peningkatan kualitas manusia termasuk dalam cita kelima, yang dilaksanakan melalui pembangunan di sektor pendidikan. Perhatian pada sosok manusia dalam program pembangunan seharusnya makin meningkatkan kualitas manusia sehingga ia mampu menjawab tantangan zamannya.
Pembangunan manusia seutuhnya sejak zaman pra GBHN, zaman GBHN dan pasca GBHN menjadi tema utama dalam pelaksanaan program pembangunan bangsa. Pembangunan mental-spiritual, pembangunan bidang keagamaan yang telah dilaksanan sejak tahun 60-an telah melahirkan sosok manusia, yang juga hingga kini kita alami realitasnya dalam kehidupan praktis. Ada orang-orang yang sukses dizamannya sebagai ‘hasil’ dari program pembangunan tersebut namun banyak juga yang menghasilkan sosok koruptor dan para penjahat diberbagai aspek kehidupan.
Memang realitas manusia Indonesia masa kini yang acap terkena OTT, masuk penjara, pembunuh sadis dsb, tidak semata-mata sebagai akibat “ideologi pembangunan” tetapi ada banyak faktor dibelakangnya.
Hal yang harus digarisbawahi adalah bagaimana proses pembinaan spiritual dalam keluarga. Apakah aktivitas keagamaan dalam setiap rumah tangga berjalan lancar ? Masihkah tersedia waktu bagi setiap rumah tangga untuk melakukan ibadah di keluarga secara bersama setiap malam?
Ada banyak anggota keluarga muda yang baru pulang dari kantor setiap hari diatas pk 20.00 sehingga tidak lagi tersedia waktu baginya untuk ikut dalam ibadah bersama yang biasanya dilakukan didalam setiap rumah tangga, atau ibadah yang dilakukan antar rumah tangga di suatu wilayah. Realitas ini mengharuskan pimpinan komunitas keagamaan mencari pola-pola dan pendekatan baru agar pembinaan terhadap umat bisa berjalan dengan baik.
Pembinaan spiritual baik oleh keluargan maupun oleh lembaga/komunitas keagamaan mesti berlangsung kontinyu, terarah dan terencana. Setiap lembaga/komunitas keagamaan memiliki cara dan program sendiri dalam hubungan dengan pembinaan spiritualitas itu. Ibadah dalam Keluarga/Rumah Tangga, ibadah antar keluarga dan ibadah dalam rumah ibadah harus menjadi aktivitas rutin dari setiap warga bangsa apapun agama mereka. Tempat ibadah sebagai pusat pembinaan spiritual mesti difasilitasi pembangunannya oleh pemerintah/pemda.
Dengan terwujudnya pembinaan spiritual bagi setiap manusia secara terus menerus diharapkan seseorang akan tangguh imannya dan mampu menolak segala tantangan yang dihadapi dalam hidupnya, dan hingga akhir hayat ia menjadi orang yang baik, yang patut diteladani.
Dikalangan Saudara-saudara Muslim dikenal istilah *kusnul khotimah* (=mengakhiri hidup dalam keadaan beriman, akhir kehidupan yang baik). Setiap umat beragama pada masa-masa akhir kehidupannya harus lebih dekat kepada Tuhan, lebih banyak berbuat baik, dan beriman sampai akhir hayat.
Setiap umat beragama pada akhir hayatnya harus bisa berkata namun dengan tetap “humble”:
“aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman”. Pepatah kita mengingatkan agar kita mengakhiri hidup ini dengan kehidupan yang *pantas* ! Mari renungkan dan lakukan!
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin.