Manusia yang hidup adalah manusia yang berinteraksi dengan banyak hal. Ia tidak tinggal didalam sebuah dunia yang homogen, dunia yang satu, yang seragam. Ia menghidupi dan menghadapi sebuah dunia yang heterogen, yang jamak, plural, majemuk. Dan dunia itu tidak lagi ramah, lembut, kondusif tapi dunia yang keras, sangar, penuh kompetitor. Manusia tidak hidup dalam katakombe, ghetto, penjara introvert atau apapun namanya yang membuat manusia terisolasi dari konteks kesekitarannya.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang istimewa, adalah sosok yang justru _diutus dan disuruh masuk kedalam dunia_ agar dapat memanaje dunia menjadi lebih baik, lebih berkeadaban. Itu berarti manusia harus menghadapi dunia, tidak melarikan diri dari dunia.
Dalam menjalani kehidupannya ditengah sejarah, manusia melakukan berbagai pendekatan. Ada yang ‘menjauhi’ dunia, menganggap dunia adalah lembah kotor penuh noda, dipenuhi roh sekularisme. Orang menjadi pertapa, asketis, pikirannya terarah ke masa depan yang transendental. Dunia kini bukan bagian dari hidupnya. Ada yang juga melupakan dan melarikan diri dari pelukan dunia dengan mengkonsumsi obat-obat tertentu yang membuat seseorang fly dan atau meminum jenis minuman beralkohol tinggi yang dengan iringan musik tertentu menjadikan orang dalam posisi “trans” sehingga melupakan realitas dunia.
Sebenarnya berbagai pendekatan yang dilakukan, jika intinya menjauhi dunia, melupakan dunia, menegasikan dan atau menafikan dunia kesemuanya *mubazir*, semua akan sia-sia. Manusia memang secara sengaja, bukan _kebetulan_ disuruh masuk untuk mengukir karya ditengah dunia. Khalik Sang Maha Pencipta memang memberi mandat kepada manusia untuk hadir, hidup didunia sekarang ini. Inilah tempat tinggal manusia (sementara), inilah _civitas terrena_ tempat manusia.
Hal yang mesti dilakukan manusia adalah *tetap* hidup dan menghidupi dunia ini dengan berbagai realitas dan dinamikanya. Untuk menghadapi tantangan dan godaan dunia maka manusia harus memperlengkapi dan membentengi diri dengan ajaran agama, karakter, moral, etik dan spiritualitas yang ‘tinggi’ dan mewujudkan hal itu semua secara konsisten dalam kehidupan konkret. Kita semua umat manusia harus tekun dalam menjalankan ibadah dan mempraktekkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-sehari.
Tekun berarti terus menerus, tidak jemu-jemu, kontinyu, tidak mengenal waktu bahkan kadang-kadang tanpa mempertimbangkan kondisi diri kita pribadi. Thomas Edison adalah seorang pekerja keras. Pada Hutnya ke-80 seorang sahabatnya menyarankan agar ia *memperlambat* langkahnya. _”Kau harus punya hobby tertentu!”_ kata sahabatnya.
_”Mengapa engkau tidak memilih golf saja?”_
“Tidak, aku belum *terlalu tua*!” Jawab Thomas Alva Edison.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini memberi pernyataan penting tentang jalan hidup yang bersih dan tanpa cacat. Adakah figur seperti itu dalam era digital sekarang yang dipenuhi dengan makin merebaknya kasus korupsi, ujaran kebencian, pelanggaran HAM, KDRT, pelecehan seksual, eksploitasi terhadap anak dan buruh, penodaan kehidupan beragama dan sebagainya. Dalam sebuah NKRI yang rakyatnya amat saleh dalam beragama, beriman dan bertakwa yang secara legitim dan tekstual dimuat dalam ketentuan perundangan, orang yang hidup bersih dan tanpa cacat, tentu ada. Orang seperti itu mesti lebih banyak dilahirkan di negeri ini apalagi dalam sebuah NKRI yang berusia 72 tahun.
Selamat berjuang. God bless
Weinata Sairin.