Pdt. Weinata Sairin: “Hominem pagina nostra sapit. Tulisan kita memiliki rasa kemanusiaan kita”.

0
1319

Kita bersyukur karena kita diberi kemampuan untuk menulis oleh Tuhan Yang Maha Esa. Menulis dalam arti biasa seperti yang kita mulai masa kecil : membaca, menulis dan berhitung (calistung) di ajari oleh guru kita dan oleh orangtua kita dirumah. Tetapi juga _menulis_ dalam arti ‘mengarang’, menyusun esai atau artikel yang berisi gagasan dan atau pemikiran kita tentang sesuatu isu tertentu. Menulis dalam arti ini adalah sebuah bakat/talenta yang tumbuh pada diri seseorang yang kemudian mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu melalui pelatihan/workshop dan tentu latihan mandiri yang dilakukan seseorang.

 

Menulis pada makna pertama ternyata juga tidak terlalu mudah. Pada waktu di Sekolah Rakjat (kini Sekolah Dasar) para tahap awal kita diperkenalkan dengan huruf, lalu kita menghafal abjad dalam lingkup bahasa Indonesia. Baru kemudian kita belajar membaca dan menulis. Pada saat itu kita diajarkan guru bagaimana menulis dengan huruf yang bagus yang tingkat kemiringannya standar.

 

Pada waktu ada latihan, PR atau “ulangan” pelajaran ‘menulis” maka yang dinilai itu adalah pada aspek kemiringannya. Tatkala ulangan Bahasa Indonesia khususnya Mengarang maka fokus penilaian berada pada aspek *isi* dari tulisan itu. Bagi yang menganggap soal tulisan dan kebahasaan itu soal yang mudah dan remeh tentu tak ada masalah yang mesti dianggap rumit.

 

Sesudah melewati jenjang SR/SD tentu saja pelajaran Menulis tidak lagi dialami.Di jenjang selanjutnya pada pelajaran Bahasa Indonesia maka aktivitas Mengarang kita alami, pada saat itu kita menuangkan imajinasi dan gagasan kita dalam bentuk tulisan untuk kemudian diperiksa dan diberi nilai oleh guru. Patut dicatat bahwa untuk menguji ketepatan kita dalam menulis maka kemampuan ‘mendengar’ juga menjadi sangat penting. Pada saat di SR ada kegiatan tulis menulis yang bahannya didiktekan oleh guru. Bapak atau Ibu Guru membaca secara perlahan dokumen tertulis dengan aksentuasi dan intonasi sesuai dengan tanda baca, kemudian peserta didik dengan cermat mendengar bahan yang didiktekan itu. Biasanya bahan itu sudah tersedia dalam buku Bahasa Indonesia.

 

Bapak/Ibu guru biasanya memeriksa apakah hal-hal yang didiktekan tadi telah ditulis dengan tepat oleh kita. Ketepatan menulis, kecermatan mendengar akan bisa dipantau dengan lebih baik oleh para guru. Akan sangat berbahaya jika ada perbedaan antara apa yang kita dengar dengan apa yang kita tulis.

 

Pada masa kini terutama para orang- orang yang sudah melewati masa-masa dI SMA maka jika kita bicara tentang ‘menulis’ maka kita berbicara tentang aktivitas seseorang yang memiliki gagagan cerdas bernas, original dan menuangkan gagasan itu dalam bentuk tulisan/artikel untuk kemudian dimuat dalam media massa dan atau media sosial.

 

Dalam dunia dan peradaban yang makin maju maka kita hidup ditengah membanjirnya tulisan dalam berbagai wujudnya. Tulisan di media cetak, buku, internet membantu kita memperluas informasi; menambah keterampilan dan mengedukasi banyak hal kepada umat manusia. Inilah fungsi penting dari sebuah tulisan. Hanya saja harus disadari bahwa kehausan anak muda merakit bom dan meledakkannya ditempat tertentu, info dan ilmu itu mereka peroleh dari tulisan/artikel. Provokasi makar, hasutan untuk melakukan kegiatan destruktif dan banyak hal-hal negatif lainnya berasal dari sebuah tulisan. Tulisan bisa menampilkan  wajah yang multi, yang beragam angle tapi tetap dalam keduaan, kegandaan : positif dan negatif. Disitulah hakikat sebuah tulisan baik di koran, buku, maupun internet, medsos dlsb, tulisan mengandung ‘dimensi ganda’ ya positif, ya negatif.

 

Pepatah kita menegaskan “tulisan kita memiliki rasa kemanusiaan kita”. Artinya sesuatu yang kita tulis itu bukan ujaran kebencian, provokator ke arah sara, penginaan terhadap agama/aliran agama/lembaga agama, penghujatan terhadap dasar negara, penghinaan kepada negara, atribut negara, pejabat negara dsb dsb, tetapi tulisan yang menghargai martabat manusia, menghargai dan memajukan HAM, memuliakan manusia sebagai ciptaan Allah, menyadarkan hakikat manusia sebagai “makhluk yang ditanggungi jawab”. Mari kita menulis sesuatu yang bermakna bagi peningkatan martabat kemanusiaan, konsistensi terhadap hakikat manusia sebagai khalifah Allah, dan sebagai imago dei. Menulislah demi dunia yang lebih ramah dan damai.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here