Oleh: Hotben Lingga
Jakarta, Suarakristen.com
“Sejak negara ini merdeka, para pendiri Negara Indonesia telah sepakat untuk menempatkan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Ini berarti, seluruh sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia,termasuk sistem pemerintahan dan tata kelola bernegara, berlandaskan pada kelima sila yang terkandung dalam Pancasila, yaitu (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Kelima sila/prinsip ini jugalah yang mendasari pemerintah Indonesia dalam mencapai empat tujuan utamanya, yaitu: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Namun, dalam dua dekade terakhir ini, bermunculan gerakan-gerakan yang menolak Pancasila dan berupaya untuk menggantikan Pancasila dan menggunakan ideologi agama untuk menjadi dasar negara Indonesia. Bahkan atas nama agama dengan jumlah pemeluk terbesar di Indonesia, kelompok-kelompok intoleran turut andil dalam menggoyahkan nilai-nilai dalam Pancasila, terutama sila pertama,“Ketuhanan Yang Maha Esa,” sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” dan sila ketiga, “Persatuan Indonesia.”Kelompok intoleran ini dengan sengaja melakukan intimidasi terhadap kelompok pemeluk agama lainnya yang kerap didukung juga oleh pemerintah setempat. Yang lebih menyedihkan lagi, kelompok ini dapat menghentikan ibadah kelompok agama lain dengan cara menutup tempat ibadah dan menarik ijin rumah ibadah dengan mendapatkan dukungan dari masyarakat dan pemerintah setempat,seperti yang terjadi pada gereja HKBP Filadelfia di Bekasi dan GKI Yasmin di Bogor.
Oleh karena itu, Pancasila harus tetap dipertahankan sebagai falsafah hidup bangsa untuk menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia di mana rakyatnya terdiri dari berbagai macam suku, agama dan ras.”demikian disampaikan Angel Damayanti,M.Sc., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, dalam acara seminar tentang “Pancasila Dalam Menjaga Keutuhan NKRI” yang diselenggarakan oleh Fisipol UKI di kampus UKI, Cawang, Jakarta (21/3/18).
Papar Angel Damayanti lebih lanjut,” Sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa yang melandasi semua sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Pancasila terbukti mampu mengayomi dan melindungi seluruh warga negara yang berbeda suku, agama dan ras. Kelima sila dan 45 prinsip yang terkandung dalam Pancasila merupakan pedoman yang sangat ideal dalam mengatur perilaku seluruh warga negara Indonesia dan dalam mereka berhubungan satu dengan yang lain sebagai bagian dari negara Indonesia, serta untuk menjaga keutuhan NKRI.
Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa,” memiliki tujuh butir yang mengatur tentang bagaimana manusia Indonesia perlu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan kepercayaannya masing-masing serta mengejawantahkan iman takwanya dalam sikap ibadah yang saling menghormati dan saling bekerjasama antar umat beragama. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” berisikan 10 butir yang mengatur perilaku di dalam kehidupan bermasyarakat yang saling menghormati, saling mencintai, bertenggang rasa, tidak semena-mena, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, serta berani membela kebenaran dan keadilan tanpa membeda-bedakan. Sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia,” berisi 7 prinsip yang menegaskan tentang pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, serta menempatkan kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan,” menjamin persamaan hak dan kewajiban dari seluruh warga negara Indonesia.Sila ini juga mengajarkan tentang pengutamaan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, yang dilandasi oleh akal sehat dan itikad yang baik untuk melaksanakan hasil keputusan dalam musyawarah tersebut. Sila kelima yang berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” menekankan pada pentingnya pola hidup bersama dalam suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Bahkan kebersamaan itu juga perlu ditunjukan dalam kemajuan dan kesejahteraan bersama yang merata dan berkeadilan sosial.”
Menurut Angel Damayanti,”Seluruh butir yang terkandung dalam lima sila Pancasila sesungguhnya telah menjadi landasan ideal bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menjaga keutuhan bangsa. Sayangnya, keadaan tersebut terganggu setelah muncul aksi terorisme dan radikalisme yang mendorong terjadinya intoleransi di negara ini. Kelompok intoleran di Indonesia mulai terlihat melakukan aksinya di akhir tahun1990an, bersamaan dengan terjadinya perubahan signifikan dalam pemerintahan Indonesia.Tuntutan untuk mengubah sistem politik menjadi lebih demokratis dan transparan pada era reformasi, setelah jatuhnya Presiden Soeharto,mendorong Presiden ketiga Indonesia, B.J. Habibie mengeluarkan Undang-undang (UU) No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik. UU ini membuat politik menjadi wilayah publik di mana setiap orang dapat terlibat di dalamnya dan memberikan kesempatan kepada setiap Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menyampaikan pendapat, berserikat dan membuat partai politik.”
“Kebebasan mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat bukan hanya mendorong terbentuknya lebih dari 150 partai politik di Indonesia pada saat itu, namun juga memberikan kesempatan kepada warga Indonesia untuk membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan.Sayangnya, seperti yang disampaikan oleh Bahtiar Effendy (2003), sejumlah organisasi kemasyarakatan yang dibentuk ini bukan untuk meresponi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik di Indonesia melainkan untuk menyampaikan aspirasi keagamaan mereka.Bahkan beberapa di antaranya tumbuh menjadi kelompok agama yang militan dan menyebarkan gagasan-gagasan radikal di dalam masyarakat. Beberapa kelompok radikal tersebut diduga memiliki hubungan dengan kelompok separatis Darul Islam (DI) dan Jemaah Islamiyah Indonesia (JII) yang dinyatakan sebagai kelompok teroris oleh pemerintah Indonesia. JII inilah yang bertanggungjawab atas sejumlah aksi pengeboman di Indonesia, termasuk terhadap 24 gereja pada malam natal tahun 2000.”tegas Angel Damayanti.
Ungkap Angel Damayanti lagi,”Sesuai amanat Pembukaan dan Isi UUD 1945, Pemerintah Negara Indonesia bertanggung jawab untuk melindungi warga negaranya serta menjamin terpenuhinya hak-hak warga negaranya. Sekalipun sistem pemerintahan saat ini telah membagi kewenangan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 18, namun keduanya tetap bertanggung jawab untuk melindungi, menghormati dan menjamin terpenuhinya hak-hak asasi warganya, termasuk hak untuk memeluk agama dan hak untuk beribadah menurut agama dan kepercayannya masing-masing. Terkait dengan urusan agama dan pelaksanan ibadahnya, idealnya, menurut pasal 10 ayat 1 point (f), UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan kewenangan penuh dari pemerintah pusat, selain dari urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi dan moneter serta fiskal nasional.
Dari data yang ada, dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah dan pemerintah lokal seperti ketua RT, ketua RW, lurah, camat, bupati, walikota dan gubernur serta aparat keamanan setempat turut andil dalam aksi intoleransi yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Perbedaan sikap antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menunjukkan pentingnya monitor dan evaluasi terhadap pelaksanaan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang terkait dengan pengelolaan kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.Dalam hal ini pemerintah pusat perlu memastikan bahwa pemerintah daerah tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup para pelaksana pemerintahan dan seluruh lapisan masyarakat di wilayahnya.Sekalipun saat ini, atas nama otonomi daerah,ada lebih dari 400 Perda Syariah yang diterapkan di Indonesia, pemerintah pusat tetap perlu memonitor dan mengevaluasi pelaksanaannya agar nilai-nilai Pancasila tidak menjadi luntur dan UUD 1945 tidak kehilangan esensinya.
Di samping itu, untuk meminimalisir aksi intoleransi yang muncul akibat perbedaan agama dan pelaksanaan ibadah, pemerintah pusat dan daerah perlu sepakat tentang pembagian kewenangan di antara mereka. Tanpa harus menghambat warga dalam menikmati hak-hak asasi manusia, terutama yang terkait dengan hak beragama dan menjalankan ibadah sesuai agamanya, pemerintah pusat dan daerah perlu menegakan hukum yang singkron baik di pusat maupun di daerah,khususnya yang terkait dengan aturan untuk menjaga ketertiban bersama. Upaya melindungi hak seseorang dalam beragama dan beribadah perlu diimbangi dengan upaya menjaga ketertiban bersama.Itu sebabnya, ketika terjadi aksi intoleransi berupa penutupan rumah ibadah, tindakan tegas untuk menjaga ketertiban bersama perlu diambil. Namun tindakan perlindungan dan pengamanan terhadap para korban sambil memfasilitasi hak beribadah dari para korban juga tetap perlu dilakukan.
Tentang adanya perbedaan sikap antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelesaikan kasus-kasus intoleransi berupa pengrusakan dan penutupan rumah ibadah, maka diperlukan ketegasan dan komitmen pemerintah, pusat dan daerah,untuk tetap menjaga dan mempertahankan Pancasila menjadi dasar negara dan falsafah hidup bangsa demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Sementara itu, pembicara lain dalam Seminar tersebut, Martin Hutabarat, Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI, yang juga Anggota Komisi I, dan Anggota Pansus Revisi RUU Teroris dan Badan Legislasi DPR RI, menyatakan” Pancasila yang disepakati oleh para pendiri bangsa sebagai Dasar dan Ideologi Negara dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, dimaksudkan untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang beraneka ragam latar belakangnya menjadi sebuah negara bangsa (nation state). Oleh karena itu, rasa persatuan dan kebersamaan harus menjadi sikap bersama dalam menjaga keutuhan negara bangsa tersebut. Hal itu terlihat jelas ketika wakil-wakil Protestan dan Katolik dari Indonesia Timur menyampaikan kepada Bung Hatta bahwa mereka lebih suka berdiri diluar republik atau tidak ikut dalam negara yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 karena ketidaksetujuan terhadap rumusan kalimat dalam pembukaan undang-undang yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Alasan ketidaksetujuan adalah karena di masa penjajahan Belanda masyarakat sudah dikotak-kotakkan menjadi 3 kelompok atau 3 lapis penduduk, sehingga ada 3 golongan hukum yang diperlakukan yaitu hukum untuk golongan Eropah (Belanda), hukum untuk golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab, India, dsb), dan hukum untuk golongan Pribumi. Sehingga kalau Indonesia merdeka, ternyata rakyat Indonesia juga masih dikelompokkan pada golongan hukum yang berbeda yaitu hukum yang berlaku untuk yang beragama Islam dan yang tidak beragama Islam, maka apa bedanya Indonesia merdeka dengan penjajahan Belanda. Sebab tetap saja tidak ada kesetaraan dan kesatuan hukum bagi masyarakat sebagaimana menjadi cita-cita kemerdekaan.
Ketidaksetujuan tersebut direspon dengan cepat oleh Bung Hatta dengan mengajak para tokoh Islam yang merupakan anggota PPKI yakni Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Mohammad Hasan dari Sumatera mengadakan rapat pendahuluan sebelum pelaksanaan sidang PPKI, dan mereka kemudian dengan jiwa besar sepakat menghilangkan kalimat yang tidak disetujui tersebut demi keutuhan NKRI. Bung Hatta dalam Memoar-nya (1979) menyatakan, “Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut diwaktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa”. Itulah sebabnya, dalam sidang PPKI tidak ada lagi perdebatan diantara anggota panitia persiapan terkait masalah itu, dan semua menerima apa yang disepakati dalam sidang kecil yang dipimpin Bung Hatta tersebut.
Kabar baiknya, ditengah ancaman terorisme di Indonesia terus meningkat karena beragam faktor pendukung yang mengalami kemajuan terutama faktor eksternal atau dimensi internasionalnya melalui Alqaeda dan ISIS tetapi ideologi Pancasila masih tetap menjadi pegangan menjaga NKRI dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Kita telah mengalami pengalaman integrasi nasional yang kokoh sejak awal kemerdekaan hingga memasuki dua dekade era Reformasi. Lihat saja, kita tidak pecah berkeping-keping saat dunia dilanda gelombang diintegrasi nasional sebagaimana terjadi pada Uni Soviet yang pecah menjadi 15 negara berdaulat. Atau, Yogoslavia harus pecah menjadi 7 negara berdaulat. Masalah integrasi nasional sedang terjadi di benua Afrika. Bahkan Sudan akhirnya pecah menjadi dua negara (Sudan dan Sudan Selatan) karena faktor agama. Di Timur Tengah terus menerus mengalami gejolak peperangan karena tidak mampu mengatasi konflik politik identitas padahal mereka memiliki kehidupan kemasyarakatan yang cenderung lebih homogen, terutama latar belakang keagamaan. Kita juga dapat mengatasi konflik dan kekerasan dibebarapa wilayah di negeri ini akibat politik identitas di awal era Reformasi. Sekarang ini masyarakat diberbagai daerah konflik telah hidup dalam perdamaian karena mampu menghapus lingkaran kekerasan yang berada dalam kehidupan mereka selama bertahun-tahun.
Walaupun demikian harus diakui bahwa tidak mudah mengelola integrasi politik atau integrasi nasional Indonesia ditengah ancaman gerakan terorisme global yang terus mengalami perkembangan. Keberadaan sosial media yang memberikan ruang terbangunnya komunikasi yang anarkis dan propaganda ideologi terorisme terhadap generasi muda harus dihadapi dengan memperkuat peran dari elemen keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat dilevel bawah (RT, RW, Keluraahan/Desa). Mereka harus memahami bahwa dalam konteks Indonesia, kemanusiaan dan keadilan sosial harus dilihat dalam konteks ideologi Pancasila, keyakinan dan keagamaan harus dibaca dalam konteks Bhineka Tunggal Ika, dan bangunan kebangsaan harus dipahami dalam konteks integrasi nasional yang diperjuangkan oleh semua elemen masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya, budaya gotong royong harus kembali dihidupkan sehingga upaya-upaya untuk memecah belah bangsa dari kelompok radikalisme dan terorisme akan mengalami kesulitan untuk berkembang di Indonesia. Ini merupakan tantangan bagi kita untuk menciptakan manusia Indonesia yang berkarakter dalam mencegah radikalisme dan terorisme.
Sejalan dengan itu, negara bangsa ini harus mampu mengatasi faktor-faktor yang mendorong tumbuh suburnya jaringan terorisme. Pemerintah harus melaksanakan pembangunan nasional secara lebih baik. Ekonomi harus terus meningkat, pendidikan dan kesejahteraan harus diberikan kepada seluruh rakyat secara berkualitas dan merata, dan yang terpenting saat ini adalah para pembuat kebijakan di negeri ini, mulai dari yang tertinggi hingga yang terbawah harus menyelenggarakan pemerintahan dengan bersih dan menjauhi perilaku tindak pidana korupsi yang sangat merugikan rakyat. Penegakan hukum yang adil berlandaskan Pancasila dan peningkatan kesejahteraan rakyat harus digunakan sebagai faktor kunci untuk memperkuat NKRI, dan mengatasi negeri ini dari ancaman radikalisme dan terorisme.”
Pembicara lain dalam seminar tersebut adalah Dr. Sri Yunanto, dosen Fisipol Universitas Muhamadiyah Jakarta (UMJ).
Seminar ini diikuti oleh sekitar 250 mahasiswa dan dosen UKI serta peserta undangan lainnya.
Rektor UKI Dr. Maruarar Siahaan membuka acara seminar yang merupakan kerja sama antara Badan Pengkajian MPR RI dengan Senat Mahasiswa FISIPOL UKI, Jakarta.