Pernyataan Sikap Komnas Perempuan: Urgensi Perspektif HAM dengan Perhatian Khusus Pada Kerentanan Perempuan dalam Penanganan Pandemi Covid-19

0
698

Pernyataan Sikap Komnas Perempuan: Urgensi Perspektif HAM dengan Perhatian Khusus Pada Kerentanan Perempuan dalam Penanganan Pandemi Covid-19

 

Jakarta, 26 Maret 2020

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyerukan integrasi perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) yang inklusif dan interseksional, dengan perhatian khusus pada perempuan dalam penanganan pandemi COVID-19.

Perhatian khusus ini dibutuhkan karena perempuan mengalami kerentanan terpapar virus ini, serta menanggung dampak yang khas dari kebijakan penanganan COVID-19 terkait peran sosialnya di dalam keluarga dan masyarakat. Dengan pendekatan yang mengintegrasikan HAM dan perhatian khusus ini diharapkan perempuan dapat lebih terlindungi, termasuk dari persoalan kesehatan, pemiskinan, eksploitasi dan kekerasan.

Kerentanan Perempuan Terpapar COVID-19

Petugas medis yang berada di garda depan merisikokan diri terpapar pada COVID-19, terutama dalam kondisi keterbatasan Alat Pelindung Diri (APD) medis. Termasuk di dalamnya adalah perawat, dimana dari 359.339 perawat, 71% atau 259.326 orang adalah perempuan (PPNI, 2017). Meningkatnya jumlah pasien COVID-19 tidak sebanding dengan jumlah perawat. Mereka harus bekerja keras melampaui jam kerja, di tengah keterbatasan jaminan sosial, bahkan berhadapan dengan kemungkinan kesulitan tempat tinggal karena stigma dari lingkungan.

Kelompok lain yang mudah terpapar adalah perempuan pekerja yang berada di lapis pelayanan langsung, misalnya kasir, resepsionis, layanan pelanggan (customer service), dan pemasaran (marketing) atau penjual di pasar. Sektor jasa ini memang didominasi oleh perempuan. Berbekal perlindungan seadanya, seperti masker, tidak semua dapat menerapkan jarak minimum dengan klien atau pembeli.

Kondisi kehidupan perempuan miskin juga menyebabkannya lebih gampang terpapar, baik karena asupan gizi maupun kualitas kesehatan di lingkungan tempat tinggal. Dari lebih 25 juta penduduk miskin, tingkat kemiskinan perempuan relatif lebih tinggi di seluruh lapisan usia dan di semua provinsi (Bappenas, 2019). Sekitar 10% hidup di bawah garis kemiskinan dan hidup pengangguran atau tanpa tempat tinggal (gelandangan). Kondisi kemiskinan perempuan perlu dicermati pula dalam konteks perempuan disabilitas dan lansia. Jumlah perempuan penyandang disabilitas dalam rentang usia 18-59 tahun lebih besar daripada laki-laki, dengan kecenderungan pendidikan rendah dan tidak bekerja (Kemenkes, 2018). Proporsi perempuan usia lanjut juga lebih besar, dengan rata-rata angka harapan hidup empat tahun lebih panjang daripada laki-laki. Diperkirakan lebih 9,3 juta perempuan berusia di atas 65 tahun pada 2019 (Sussenas, 2015) dengan jaminan sosial yang minim.

Baca juga  RPA Perindo Kawal Korban Eksekusi Rumah Cacat Hukum di BPN Jakarta Barat

Kelompok lain yang rentan terpapar adalah perempuan dalam tahanan atau serupa tahanan, seperti panti-panti sosial. Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia memiliki kapasitas hunian 125.000 orang namun diisi 249.000 orang, artinya kelebihan 199% dari kapasitas (Data Ditjen PAS, 2018) Pada kunjungan terakhir ke Rutan Pondok Bambu, Komnas Perempuan menemukan satu ruangan sel dihuni 17- 18 tahanan, dengan catatan 7 orang tidur di sisi tempat tidur bagian kanan, 7 orang di sisi bagian kiri, dan 3- 4 orang tidur di bawah dengan kondisi berdesakan. Kondisi ini menyulitkan pencegahan penularan COVID-19, di samping persoalan lain terkait asupan gizi maupun informasi.

Dampak Khas Kebijakan Penanganan Covid-19 pada Perempuan dalam Konteks Keluarga

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam menyikapi situasi darurat terkait COVID-19, yang juga telah dinyatakan sebagai pandemi global. Salah satunya adalah kebijakan pembatasan sosial dan jaga jarak diri (social and physical distancing), termasuk dengan mendorong kebijakan Kerja dari Rumah (KdR) dan Belajar dari Rumah (BdR). Kebijakan ini menghadirkan dampak yang khas bagi perempuan dalam konteks posisi perempuan dalam keluarga dan sebagai perempuan pekerja.

Kebijakan pembatasan sosial dapat menambah beban kerja berlapis terhadap perempuan, terutama sebagai ibu. Untuk persoalan beban berlipat-ganda ini perlu rekomendasi ke KPPA agar menyerukan setiap keluarga menerapkan kesetaraan dan kerjasama dalam berbagi tugas di rumah.

Kebijakan BdR dapat berarti pelimpahan tugas-tugas guru kepada perempuan. Ini menjadi beban tersendiri terutama ketika sekolah tidak menyediakan panduan yang cukup bagi orang tua untuk mendampingi anak dalam belajar. Terlebih, ketika tugas BdR menggunakan teknologi informasi dan komunikasi di tengah kondisi keuangan keluarga yang terbatas. Ketika kerja domestik tertumpuk pada di perempuan dan asupan gizi terbatas, kondisi ini dapat menyebabkan kelelahan fisik dan psikis perempuan sehingga mereka semakin rentan terinfeksi COVID-19.

Kebijakan KdR juga dikuatirkan berpotensi meningkatkan jumlah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada 2019, dari 14.719 kasus yang dilaporkan ke lembaga layanan, persentase terbesar adalah KDRT/Ranah Personal yakni 11.105 kasus (75%). Kasusnya meliputi Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 6.555 kasus (59%), disusul kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) 2.341 kasus (21%) dengan pelaku tertinggi adalah suami, ayah kandung, ayah tiri/angkat dan paman (CATAHU, 2020). Gambaran kasus ini menunjukkan bahwa rumah bukan tempat yang aman bagi perempuan dan anak perempuan. Sementara itu, kebijakan KdR menyebabkan layanan-layanan penanganan korban mengurangi jenis layanan, cara mengakses layanan dan masa operasionalnya.

Baca juga  PEMERINTAH DUKUNG DAN DORONG MUSISI INDONESIA TERUS MEMAJUKAN EKOSISTEM MUSIK VIA AMI AWARDS 2024

Dampak Khas Kebijakan Penanganan Covid-19 pada Perempuan Pekerja

Kebijakan KdR yang diterjemahkan dengan meliburkan pekerja yang disertai kebijakan pembayaran sebagian atau bahkan tanpa upah akan berdampak pada berkurangnya kesejahteraan pekerja. Bagi perempuan pekerja dengan penghasilan harian, kebijakan ini berarti kehilangan penghasilan karena ia tidak masuk kerja.

Kebijakan KdR dan BdR juga dapat meningkatkan kerentanan perempuan pekerja rumah tangga (PRT). Pembatasan sosial tidak berlaku bagi PRT, mereka tetap bekerja tanpa perlindungan dari penularan COVID-19. Tanpa payung perlindungan hukum dan jaminan kesehatan, pembatasan sosial membuat PRT rentan dieksploitasi dan menanggung tekanan fisik dan psikis sebagai imbas kehadiran penuh waktu seluruh anggota keluarga majikannya, termasuk akibat kecemasan pada penularan COVID 19. Kondisi ini juga dikabarkan dihadapi oleh perempuan pekerja migran Indonesia, yang sebagian besar bekerja sebagai PRT di luar negeri: di samping kesulitan mendapatkan APD, mereka juga kehilangan waktu libur akibat ancaman penghentian kerja jika berada di luar rumah (BBC, 2020).

Dampak kebijakan terhadap perempuan pekerja di sektor informal lainya juga terpantau. BPS mencatat pekerja informal perempuan sebanyak 61% dari total angkatan kerja di Indonesia dan sektor ekonomi kreatif paling banyak menyerap pekerja perempuan, yakni 53,86%. Dalam konteks normal saja, sektor ini memiliki jaminan hukum yang lemah pada kesejahteraan pekerjanya. Pantauan Komnas Perempuan, para perempuan di sektor informal seperti pedagang kecil di pasar tradisional seperti penjual jamu gendong dan keliling, perempuan yang bekerja di salon, perempuan pekerja pijat, berkurang penghasilannya akibat pembatasan sosial. Dalam kondisi tekanan ekonomi, perempuan menjadi lebih rentan pada berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan.

Rekomendasi

Bertolak dari kondisi-kondisi kerentanan perempuan tersebut di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada:

1. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19

A. Membangun pendekatan afirmasi dalam hal pencegahan dan penanganan COVID-19 yang menyikapi kerentanan perempuan, terutama dukungan bagi perempuan petugas medis, perempuan lansia, perempuan disabilitas dan perempuan miskin.

B. Mengembangkan layanan kesehatan mental untuk menolong mereka yang mengalami depresi atau trauma akibat kehilangan orang-orang terkasih akibat bencana COVID-19, di samping memperkuat layanan kesehatan fisik.

Baca juga  Ravelware Technology; Satu-Satunya Startup Deep Tech Indonesia di Top-100 Most Innovative Companies Entrepreneurship World Cup 2024

C. Memastikan akses informasi ramah perempuan, disabilitas dan lansia terkait penanggulangan COVID-19.

2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyediakan metode pembelajaran daring dan non daring bagi anak-anak didik, termasuk anak-anak penyandang disabilitas, dengan memperhatikan ketersediaan panduan bagi orang tua dalam pendampingan.

3. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak
A. Memastikan akses layanan berkualitas dan berperspektif inklusif dalam pendampingan untuk perempuan korban kekerasan yang mengantisipasi potensi kenaikan pelaporan KDRT.

B. Bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk mengembangkan dan menyebarkan informasi yang berperspektif kesetaraan gender untuk mendorong praktik kesetaraan gender di ranah domestik terutama dalam pembagian kerja perempuan dan laki-laki.

4. Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung

A. Memastikan akses layanan berkualitas dan berperspektif inklusif bagi perempuan korban kekerasan yang mengantisipasi potensi kenaikan pelaporan KDRT.

B. Mengembangkan kebijakan penanggulangan COVID-19 di lingkungan Rutan dan Lapas, dengan mempertimbangkan kemungkinan menangguhkan penahanan, memperluas kriteria pembebasan bersyarat terutama bagi terpidana pada kasus-kasus ringan, dan mengalihkan pelaksanaan pidana untuk Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) ke keluarganya masing-masing.

5. Kementerian Sosial

A. Menyusun skema bantuan sosial untuk pekerja di sektor informal yang karena kebijakan karantina wilayah dan pembatasan sosial secara luas kehilangan mata pencahariannya.

B. Mendorong pemanfaatan dana desa untuk skema bantuan sosial bagi kelompok rentan (lansia, penyandang disabilitas, orang sakit menahun) dan terpinggirkan.

6. Kementerian Tenaga Kerja

A. Mengembangkan pemantauan pelaksanaan kebijakan ketenagakerjaan dalam penyikapan COVID-19 agar tidak merugikan secara tidak proporsional pada perempuan pekerja.

B. Mengembangkan kebijakan penciptaan lapangan kerja di rumah dengan aturan perlindungan bagi keamanan dan kesejahteraan pekerja, dengan mempertimbangkan kerentanan khas perempuan.

C. Bersama Kementerian Luar Negeri memantau dan menyikapi kerentanan pekerja perempuan migran Indonesia terkait wabah COVID-19.

7. Pemerintah Daerah

A. Mengaktifkan komunitas Posyandu untuk pemenuhan gizi ibu dan anak.

B. Melibatkan komunitas basis Rukun Tetangga dan Rukun Warga sebagai garda depan dalam pencegahan penyebaran COVID-19.

C. Menyelenggarakan Tes Cepat COVID-19 yang berperspektif kelompok rentan dan terpinggirkan.

D. Melibatkan tokoh-tokoh agama dalam pencegahan penyebaran COVID-19.

Narasumber Komisioner:

Rainy Hutabarat
Andy Yentriyani
Siti Aminah Tardi
Mariana Amiruddin

Narahubung:
Yulita 08562951873

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here