*Soal Larangan Ibadah: Jangan Halangi Warga Negara Amalkan Pancasila*
Oleh: Arbie Haman, S.I.P.
Pelarangan beribadah secara berjemaah masih menjadi jenis pelanggaran kebebasan beragama yang kerap terjadi di Indonesia. Kenyataan pahit ini kembali diperkuat oleh polemik di Sumatera Barat yang mencuat akhir-akhir ini soal pelarangan terhadap umat Kristiani untuk melakukan ibadah berjemaah di Jorong Kampung Baru, Nagari (Desa) Sikabau, Kec. Pulau Punjung, Dharmasraya.
Polemik ini menjadi viral manakala Surat Pemberitahuan dari perwakilan umat Kristen Katolik tertuju kepada Wali Nagari (Kepala Desa) Sikabau (8/12/2019) perihal rencana pelaksanaan Ibadah Natal dan Tahun Baru di rumah salah satu jemaat pada 24 dan 25 Desember 2019 serta 1 Januari 2020, ditolak oleh Wali Nagari dua hari setelahnya melalui surat balasan. Sebagai catatan, di Nagari Sikabau tidak ada satupun gereja, dan dari total 19 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat, hanya sembilan yang memiliki gereja sebagai tempat beribadah, sisanya tidak ada.
Adapun di dalam surat balasan tersebut sesuai aslinya ditulis bahwa “Pemerintah Nagari Sikabau MERASA KEBERATAN/TIDAK MEMBERIKAN IZIN pelaksanaan kegiatan tersebut dilaksanakan di wilayah hukum Nagari Sikabau”. Keberatan ini disampaikan mengacu kepada Surat Pernyataan Bersama tanggal 21 Desember 2017 antara Pemerintah Nagari Sikabau, Ninik Mamak (Lembaga Adat), Tokoh Masyarakat, dan Pemuda Nagari Sikabau yang dianggap belum dicabut/masih berlaku.
Ada tujuh poin yang tercantum dalam Surat Pernyataan Bersama tersebut. Beberapa poin yang menurut saya bernuansa intoleran adalah poin ke-4, 5a, 5b, 5c, dan 6. Tanpa bermaksud merestui atau menyetujui poin-poin lainnya yang juga menggelitik nalar.
Poin ke-4: “Keberadaan rumah yang dijadikan tempat kegiatan beribadah umat Kristiani tersebut tidak dapat kami terima dan kami izinkan.”
Poin 5a: “Untuk tidak melaksanakan kegiatan perayaan Hari Natal dan perayaan agama Kristiani lainnya di Jorong Kampung Baru”.
Poin 5b: “Untuk tidak melaksanakan kegiatan perayaan agama Kristiani yang sifatnya mengundang seseorang atau jama’ah yang banyak”.
Poin 5c: “Jika Bpk/Ibu/Sdr/i umat Kristiani Jorong Kampung Baru ingin melaksanakan dan mengikuti kegiatan perayaan Natal, Tahun Baru maupun perayaan hari besar umat Kristiani yang bersifat terbuka dan atau berskala jama’ah yang banyak agar melaksanakan dan merayakannya di luar wilayah hukum Pemerintahan Nagari dan wilayah adat-istiadat Nagari Sikabau”.
Poin 6: “Jika Bpk/Ibu/Sdr/i umat Kristiani Jorong Kampung Baru ingin melaksanakan kegiatan ibadah agar dilaksanakan secara individu di rumah masing-masing”.
Membaca poin-poin di atas, terasa seolah ada negara di dalam negara. Seolah ada badan khusus, wilayah khusus, atau entitas kelompok khusus yang mendapat pengecualian untuk tidak memberlakukan Pancasila dan UUD ’45 khususnya Pasal 28E dan 29 Ayat 2. Padahal setiap jengkal dari Negara Kesatuan Republik Indonesia haruslah tunduk kepada dasar negara, patuh dan setia terhadap ideologi negara tanpa terkecuali.
Membaca poin-poin di atas, muncul kesan dalam benak bahwa wilayah Pemerintahan Nagari Sikabau ingin mensterilkan (jika tidak memisahkan) wilayahnya dari Indonesia. Mengapa demikian? Sederhana saja, Indonesia adalah negara dengan teritorial dari Sabang sampai Merauke yang menjamin kebebasan beribadah untuk enam agama beserta penghayat kepercayaan. Jika ada pemerintahan wilayah yang melarang peribadahan salah satu saja dari enam agama yang diakui, maka perlu diragukan komitmen keIndonesiaannya.
*Mengamalkan Pancasila: Jangan Dihalangi*
Tidak seperti kebebasan beragama secara individu yang masuk dalam kategori nonderogable rights (hak yang tidak bisa dibatasi dan tidak bisa dibatalkan dalam situasi apapun), kebebasan beribadah secara kolektif/berjemaah masuk dalam kategori derogable rights atau hak yang dapat dibatasi.
Suatu hak dianggap perlu untuk dibatasi apabila dapat merugikan hak orang lain. Maka pertanyaannya, apakah pelaksanaan ibadah berjemaah umat Kristiani di tempat privat (salah satu rumah warga) dianggap merugikan penduduk Nagari Sikabau lainnya, misalnya mengganggu aktivitas warga ataupun menggangu ibadah pemeluk agama lain? Perlu diingat, pelarangan yang terjadi di Nagari Sikabau tidak hanya untuk momen Natal, tetapi juga mencakup ibadah mingguan dan perayaan agama Kristiani lainnya, dan berlaku hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Kewajiban pemerintah dalam menjamin kebebasan beragama tidak hanya berupa melindungi (to protect), tetapi juga menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfill). Rujukan kehidupan beragama dalam konteks berbangsa adalah Pancasila, khususnya Sila Pertama. Fungsi dan kedudukan Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum, tetapi juga merupakan pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia. Artinya Pancasila harus berfungsi dan termanifestasi secara nyata pada perilaku sehari-hari warga negara dalam kehidupannya.
Oleh sebab itu setiap warga negara berhak dan wajib untuk mengamalkan Pancasila pada kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan beragama (Sila Pertama) dengan tujuan meningkatkan akhlak dan moral bangsa. Ibadah menjadi cara manusia untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama. Maka pemerintah harus melindungi, menghormati, dan memenuhi kebutuhan warga negara untuk beribadah. Selain dalam konteks menjamin kebebasan beragama, hal ini juga adalah kewajiban pemerintah dalam hal memfasilitasi warga negara untuk mengamalkan Pancasila.
Jadi perlu dikritisi untuk kasus di Nagari Sikabau secara khusus, dan kasus-kasus serupa secara umum. Apakah upaya warga negara melaksanakan haknya untuk mengamalkan Pancasila layak untuk dilarang/dibatasi? Tentu tidak.
Pemerintahan Nagari Sikabau perlu ekstra hati-hati dalam menyikapi paradigma berpikir ini. Menciptakan kondisi dimana ada sekelompok warga nagari yang tidak dapat melaksanakan ibadah mingguan dan perayaan-perayaan Kristiani berarti menghalangi mereka untuk mengamalkan Sila Pertama Pancasila.
Pelaksanaan ibadah berjemaah, baik di rumah warga, ataupun di bangunan/tempat-tempat lainnya di Nagari Sikabau seharusnya tidak dilarang, melainkan harus didukung dan kalau perlu difasilitasi, mengingat juga belum adanya bangunan gereja di wilayah tersebut. Rakyat yang ingin secara kolektif mengamalkan Pancasila tidak perlu dibatas-batasi haknya.
Selama ini rakyat selalu menjadi sorotan ketika berbicara soal komitmen terhadap Pancasila. Melalui polemik pelarangan ibadah berjemaah di Nagari Sikabau ini, nampaknya kita juga pantas bertanya soal komitmen pemerintah terhadap Pancasila.
Penulis : Arbie Haman, S.I.P.
IG: @arbiehaman
Ketua Angkatan Muda Protestan Pluralistik (AMPP).
Kepala Departemen Wawasan Nusantara & Bela Negara DPP GAMKI 2019-2022. (Johan Sopaheluwakan)