“Tempora labuntur, tacitisque cenescimus annis. Waktu meluncur dan tanpa sadar kita menjadi tua”
Hari-hari yang kita jalani terkadang terasa mengalir dengan amat cepat, kita bangun sejak pagi buta, bahkan sinar mentari yang berpijarbinar belum lagi mekar, tetapi kita merasa _keteter_, kita merasa tidak cukup waktu untuk melaksanakan pekerjaan kita. Bagi orang yang _workaholic_, gila kerja, terkadang mereka mengurbankan waktu-waktu makan siang, mereka terus saja bekerja agar tugas yang menjadi tanggungjawab mereka itu segera rampung. Dalam beberapa waktu terakhir ini, ada kebiasaan baru yang dilakukan oleh banyak orang, khususnya mereka yang memiliki mobil pribadi. Kebiasaan itu muncul sesudah pemerintah memberlakukan peraturan “ganjil-genap”; yaitu mobil dengan nomor polisi genap hanya bisa melewati jalan raya tertentu pada tanggal genap; dan mobil dengan nomor polisi ganjil hanya bisa melewati jalan raya tertentu pada tanggal ganjil. Pagi hari seseorang mesti disibukkan dengan mengingat “ini tanggal genap atau ganjil” agar ia tidak terkena tilang seharga setengah juta rupiah membayar langsung di bank yang ditunjuk, atau mesti menunggu sepuluh hari mengikuti proses persidangan dengan membayar sekian ratus ribu rupiah.
Itu sebuah gaya hidup modern yang menambah beban baru, bagi warga ibukota dan sekitarnya, yang bisa berdampak pada dana, waktu, beban stres yang membuat hidup semakin tidak nyaman. Bagi eksekutif muda dan siapapun yang tidak muda tetapi memiliki dana liquid yang cukup dengan sangat mudah menyiasati peraturan “ganjil genap” itu. Kelompok ini bisa langsung mencairkan dana yang ada, tanpa berfikir kena penalti atau tidak, datang ke show room mobil yang juga sedang melakukan promo dan langsung membeli mobil itu, sehingga dalam waktu kurang dari seminggu kelompok ini tak usah lagi setiap pagi mengigau dengan konten vulgar “hari ini genap atau ganjil ya…”; setiap pagi ia siap berangkat ke kantor : jika tanggal genap ia tinggal gunakan Shienta B 1948 MZ, jika tanggal ganjil ia tinggal ambil Toyota Fortuner B 1953 EM, dan selesailah persoalan ganjil genap.
Dalam kehidupan yang kita jalani ini memang begitu banyak persoalan yang kita hadapi, dan bukan sekadar persoalan teknis *ganjil-genap*. Ada banyak persoalan mikro dan makro yang menghadang kehidupan kita baik sebagai pribadi keluarga, komunitas, institusi, masyarakat, bangsa dan negara. Kesemuanya harus kita urai, kita petakan dan kita cari solusi mendasar. Selama kita hidup dan _diutus_ di tengah dunia, persoalan akan datang silih berganti. Kita nikmati dan kita hadapi dengan energi dan investasi spiritual yang (masih) kita miliki.
Sebagai umat yang beragama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam mindset kita, tak pernah kita berfikir untuk melarikan diri dari kenyataan hidup, lari ke LN atau lari dengan _fly menenggak sabu_ dan sejenisnya sehingga kita melupakan (sesaat) persoalan hidup. Pelarian model apapun melawan perintah agama dan bertentangan dengan hukum. Kita mesti hadapi setiap persoalan hidup, kita rangkul derita, kita yakin dan percaya bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian derita itu melebihi “dosis” yang memang sesuai dengan tingkat kekuatan kita.
Rabindranath Tagore orang besar India yang sangat terkenal itu dalam menghadapi persoalan hidup ia selalu berdoa memohon kekuatan dari Tuhan. “Berikan aku kekuatan untuk meringankan bebanku agar aku sanggup memikul kebahagiaan dan penderitaan. Beri aku kekuatan agar aku setia pada kecintaanku dalam meyakaniMu. Beri aku kekuatan untuk memasrahkan kekuatanku kepada apa yang Kau kehendaki dengan cinta”. Itulah antara lain doa seorang Tagore, doa yang riil sekaligus doa yang sarat makna. Selain doa yang kontinyu dan khusuk kepada Tuhan, maka _kesabaran_ adalah juga hal yang amat penting di kedepankan dalam kehidupan. Adalah seorang bernama Bernardo Tasso yang sangat marah kepada anak laki-lakinya Torquato yang lebih memilih masuk ke Fakultas Filsafat ketimbang Fakultas Hukum. “Apa yang telah filsafat bagimu?” kata ayahnya penuh kemarahan. Dan Torquato menjawab “Filsafat telah mengajarku untuk menghadapi *cercaan seorang ayah* dengan kelembutan”.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyatakan “waktu meluncur dan tanpa sadar kita menjadi _tua_”. Waktu yang meluncur amat dekat dengan “menjadi tua”
Atas berkat Tuhan Yang Maha Esa, saya bersyukur karena pada tanggal 23 Agustus 2018, Tuhan mengantarkan saya memasuki usia ke-70. Ibadah syukur hari ulang tahun bersama kawan terdekat telah dilakukan di Gedung Pusat Alkitab pada hari Kamis 23 Agustus 2018 dilanjutkan dengan peluncuran dua buku saya. Suasana syukur dan bahagia benar-benar kami alami bersama istri, kedua anak, kedua menantu dan kedua cucu pada saat itu. Hadir saat itu Bapak Dirjen Bimas Kristen, Ketua Umum PGI, Sekjen PHDI, Ketum Matakin, Walubi, Setara Institute, Ketum MS GKP dan para pendeta GKP, Pembimas DKI, LPPN, STT Bethel The Way, Dr B. Pasaribu, STT Cipanas, RS PGI Cikini, RSU UKI, RS Bayu Karta LAI, Yamuger, Peradi, BSNP, PGLII, Prof Sularso Sopater, Prof HAR Tilaar, MPK, Wakil Ketua KPK, DPP PIKI, GMKI, Tim Advokasi MPK, PGIS Depok dan berbagai Gereja/organisasi sertabbanyak teman teman dari banyak lembaga. Pdt Dr Bambang Widjaja/MP PGI dalam kotbah berdasarkan Alkitab : 1 Korintus 9: 24 dengan amat menarik dan lugas mengingatkan umat agar terus *berlari* dengan baik dan “finishing well”! Berlari begitu rupa, berlari bukan sekadar berlari!
Semula saya berminat ke Fakultas Sastra, karena guru SR saya telah memperkenalkan dengan puisi dunia saat itu, namun ayah saya sebagai aktivis Gereja meminta saya menjadi pendeta. Saya memasuki STT Jakarta 1968 dan tamat l973, ditahbiskan oleh Pdt Habandi di GKP Cimahi 7 November 1974 dan emeritus 12 September 2011 di GKP Bekasi. Dalam kurun waktu 1974-2011 itu saya menjadi pendeta Jemaat 4 tahun, kemudian menjadi Sekum Sinode GKP 12 tahun, Wasekum PGI 15vtahun, Sekum MPK 4 tahun, (semua full time) dan kemudian di berbagai lembaga secara part time baik lembaga kristiani maupun non kristiani.
Kami sekeluarga bersyukur kepada Tuhan atas kasihNya yang mengantarkan saya memasuki usia 70 tahun, juga cucu kami Adrian Widhitama Samuel pada tanggal yang sama memasuki usia 13 tahun; kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Bapak Ibu atas ucapan selamat, doa, kehadiran, dan atas dukungan dan kerjasama yang amat baik selama ini. Sebagaimana yang diharapkan Bapak Dirjen Bimas Kristen, MPH PGI, LAI, Sinode GKP dan banyak lembaga dan rekan pada tanggal 23 Agustus 2018, komitmen saya kedepan adalah tetap menulis, menggagas pemikiran cerdas bernas yang konstruktif bagi Gereja, Masyarakat dan Bangsa ditengah sergapan usia tua, dan waktu yang meluncur cepat. Dengan memohon doa Bapak, Ibu, Saudara dan kekuatan dari Tuhan Yang Maga Esa, saya berharap komitmen itu bisa saya wujudkan.
Selamat Berjuang. God Bless.
*Weinata Sairin.*