“Secundis (temporibus) dubiscue rectus. Tetap tegar dalam saat-saat yang menguntungkan atau saat-saat merugikan”
Manusia tidak hidup dalam sebuah ruang hampa, ruang kosong nir benda. Sejak awal manusia diciptakan oleh Khalik Sang Pencipta, manusia hidup dan ditempatkan dalam sebuah wilayah yang dipenuhi karya cipta Sang Khalik : ada pepohonan, buah, binatang dan sebagainya. Manusia tidak hidup dalam sebuah dunia yang steril, bersih, bebas hama, sebuah wilayah yang putih, dunia tanpa _dosa_. Manusia, manusia generasi milenial, manusia zaman now, sejatinya hidup dan menghidupi sebuah dunia yang _sophisticated_, dunia yang dipenuhi dengan berbagai fenomena vandalisme dan barbar. Ada pembunuhan, persekusi, perseteruan, penghujatan, penculikan, perdagangan orang, pembunuhan karakter, penipuan, dan sebagainya.
Dunia yang dulu dicipta dengan putih telah berangkat menjadi sebuah dunia cemar berlumur noda, dunia yang hingar bingar dan jauh dari kenyamanan. Di negeri ini, dalam konteks apa yang disebut dengan “tahun politik” pertarungan antar kekuatan sosial politik, antar pribadi yang melihat kekuasaan sebagai sebuah ‘mesin ekonomi’ dan bukan “ladang pelayanan’ atau ‘wujud pengabdian’ sangat kasat mata kita bisa saksikan.
Dalam pelaksanaan Pilkada Serentak tanggal 27 Juni 2017 misalnya kita menyaksikan pertarungan antar kekuatan sosial politik yang amat kuat. Setiap orang dengan afiliasi politiknya masing-masing berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara dan pendekatan untuk memenangkan pertarungan. Bahkan dengan obsesi memenangkan pertarungan itu, ada kalanya terjadi juga pola-pola pendekatan yang tidak selalu sejalan dengan ajaran agama dan ketentuan peraturan perundangan. Pola pendekatan para tokoh dan aktivis parpol itu amat dipengaruhi oleh kepribadian dan karakter setiap orang.
Tentang kekuatan kepribadian seorang tokoh besar India, ada kisah menarik tentang Nehru. Ketua Kongres Kamaraj yang memimpin rapat pemilihan, memberikan penghargaan yang besar kepada Nehru : “Dimasa lalu partai dan pemerintah mungkin sudah melakukan kesalahan fatal. Tetapi mereka terlindung oleh kepribadian Nehru yang kuat. Tetapi sekarang bila kita melakukan kesalahan kecil saja kesalahan itu akan dibesar-besarkan dan rakyat tidak akan memaafkan kita.”
Kepribadian, memang amat penting dalam kedirian manusia. Kepribadian yang kukuh, tangguh yang berdasarkan ajaran agama akan mampu memperkuat seseorang untuk tetap tegar dalam berhadapan dengan beban pergumulan yang hebat yang dialami seseorang dalam hidupnya. Ved Mehta, seorang penulis India yang buta menggambarkan kepribadian Nehru dengan narasi yang amat membanggakan. “Perdana Menteri Nehru adalah sosok Brahman yang murni. Cara mengancingkan mantel dan piyama ketatnya tampak seperti Mughal. Ia hadir sebagai orang India yang mulia. Bila bicara ia tampak agung seperti seorang raja. Ia sangat cerdas dan memahami India dan Barat, kuno dan modern. Aku merasa sedang berhadapan dengan Sanskrit, Mughal dan India Inggris yang amat berbeda tetapi tidak bertentangan satu sama lain.”
Sebagai umat beragama, kita sejak kecil telah ditanamkan nilai-nilai agama dan dan lokal wisdom yang sangat bermakna bagi perkembangan kepribadian kita. Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyatakan “tetap tegar dalam saat-saat yang menguntungkan atau saat merugikan”. Dari pengalaman empirik kita amat mahfum bahwa orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa akan mengalami kekuatan spriritual yang baru sehingga mampu bertahan dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.
Dalam suka dan duka, dalam realitas kehidupan yang amat sulit dan krusial seorang yang beriman teguh kepada Tuhan akan selalu memperoleh bimbinganNya dan jalan keluar terbaik dari persoalan hidup yang membelit diri sehingga seseorang tetap kuat dan tegar.
Kita umat manusia hidup dalam sebuah dunia yang terus berubah cepat; dunia yang tidak steril, dunia dengan luka, dan darah bersimbah; dunia yang sarat dengan konflik dan bau mesiu menyengat; dunia yang kehilangan kasih dan keadaban. Kita yang dianugrahi hikmat dan wisdom dari Kuasa Transenden terpanggil trus menerus dan tak kenal lelah untuk menoreh sejarah bermakna : merajut cinta kasih bagi semua orang tanpa mempertimbangkan afiliasi politik, suku, agama, golongan dan aliran; merawat luka-luka, menghibur mereka yang berduka, menebar dan menabur kebajikan ditengah kekinian sejarah.
Kita harus terus berjuang merawat NKRI yang majemuk dalam sebuah rumah besar Indonesia yang berPancasila dan ber UUD NRI 1945. Andai sempat ada luka tergores dalam Pilkada Serentak di hari kemarin, maka di hari esok kita semua warga bangsa ini harus kembali _menyaturaga_ dan _menyatujiwa_ membangun negeri dalam tuntunan tangan Tuhan.
Selamat Berjuang. God Bless.
*Weinata Sairin.*