Pdt. Weinata Sairin: Menebar Cinta Kasih Mengubur Nafsu Amarah

0
1627

 

_”Do not speak harshly to any one; those who are spoken to will answer thee in the same way. Angry speech is painful; blows for blows will touch thee.”_ (Buddha)

 

Dunia sekarang ini sedang dilanda dan dibanjiri oleh _kemarahan_ dalam berbagai wujud; mulai dari wujud yang oral-verbal dan vulgar hingga wujud yang modern yang menggunakan instrumen legislasi atau relasi diplomatik. Negara-negara yang dianugerahi Tuhan oleh kekuatan besar, superpower, adi daya, lebih memiliki ‘kesempatan’ untuk melakukan hal itu karena mempunyai bargaining power yang kuat. Sementara itu negara-negara yang termasuk kecil, lemah, miskin, nyaris hanya menjadi objek kemarahan dan atau eksploitasi negara-negara super power. Mereka semua pasrah dengan kondisinya dan hanya bisa berjuang agar mereka bisa bertahan hidup, dan tidak “diakuisisi” oleh sang adi daya yang selalu saja _kemaruk_ dengan banyak hal.

 

Belum lama ini VOA memberitakan bahwa pemerintah Rusia telah memanggil pulang 60 ribu pelajar Rusia yang ada di luar negeri. Hal itu dikakukan, menurut pemerintah Rusia karena sedang berkembang sikap _Russophobia_, sentimen anti Rusia di berbagai negara, terutama sekali di Eropa.

 

Kemarahan, konflik, bahkan teror terjadi hampir di seluruh jagat raya ini, baik dalam skala kecil maupun besar disebabkan banyak faktor : ekonomi, geo politik, ras, pertahanan, perbatasan, penguasaan laut, idologi, ada juga yang mengarah ke aspek agama. Kemarahan bisa terjadi karena ada negara yang abai terhadap perjanjian internasional atau bisa juga karena gaya kepemimpinan dan visi politik dari presiden negara super power.

 

Dalam konteks apa yang disebut “Tahun Politik” di Indonesia yang pada tahun 2018 ini melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak dan kemudian diteruskan dengan Pemilihan Presiden tahun 2019, maka frekuensi dan tingkat _kemarahan_ menjadi lebih tinggi.

 

Menurut catatan yang ada, Pilkada Serentak tahun 2018 ini akan dilaksanakan tanggal 27 Juni 2018, dilangsungkan di 171 daerah yaitu 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten. Hal yang penting dicatat adalah pelaksanaan dan hasil Pilkada Serentak ini akan memiliki keterkaitan yang  cukup kuat dengan gambaran dan atau peta pemenangan Pilpres 2019, dengan melihat siapa para parpol yang bertarung dan mengusung para tokohnya untuk menjadi pemimpin.

 

Roh pemarah, _roh sensi_ sudah merasuki begitu banyak orang terlepas siapa orang itu : filsuf, anggota parlemen, birokrat, sopir angkot, sopir tranport online,  calon pejabat, bahkan terkadang pemimpin agama. Memang marah dilakukan banyak alasannya. Rakyat marah karena harga sembako naik dan langka; banyak orang marah karena hukuman bagi koruptor besar yang telah merugikan negara ternyata hanya sekian tahun saja dan itu menyinggung rasa keadilan masyarakat. Marah bisa terjadi karena pil koplo itu se-enaknya saja di jajakan dengan bebas seperti menjual _comro_ atau _kacang goreng_. Sebagian masyarakat marah besar karena niatnya yang tulus untuk beribadah ke Tanah Suci ternyata gagal karena perusahaan travelnya bermasalah. Calon pejabat marah karena niatnya untuk bertarung menjadi pimpinan daerah terkendala oleh beberapa dokumen untuk persyaratan yang dianggap tidak valid. Seorang ayah marah kepada anaknya yang ternyata diam-diam rutin nyabu.

 

Kemarahan bisa juga terjadi karena seorang menulis karya sastra berbekal _licencia poetica_ namun dianggap tetap menyinggung hal-hal yang bernuansa keagamaan, kemarahan bisa terjadi karena seorang ilmuwan memberi tafsir (atau judgement) tentang kitab suci agama-agama diruang publik dan tidak dalam konteks diskusi keilmuan. Kemarahan lebih tersulut jika pejabat publik mengutip ayat kitab suci (yang bukan kitab suci agama yang dianutnya) dan dianggap publik tidak tepat bahkan menista. Kemarahan bisa terjadi karena salah ucap, salah menggunakan istilah dan atau secara sengaja menghujat, menghina pihak lain. Kemarahan bertebaran dimana-mana, di dunia maya, di kehidupan nyata, di rumah, dijalan, di kantor ya dimana-mana.

 

Dalam pepatah yang dikutip di bagian awal tulisan ini, Buddha mengingatkan agar kita jangan bicara kasar kepada siapapun, kata-kata yang penuh kemarahan itu amat menyakitkan. Ungkapan Buddha ini amat penting kita hayati dan praktikkan dalam dunia yang tengah diamuk kemarahan. Agama-agama yang kita anut sebenarnya telah memberikan pedoman, tuntunan yang jelas bagaimana kita sebagai umat beriman mampu menampilkan kepribadian yang elegan, yang mampu menebar kata-kata penuh cinta kasih, harmoni, penuh tali-silaturahim. Kita bisa mengendalikan kemarahan melalui latihan dan pembiasaan. Mengungkapkan rasa marah itu juga membutuhkan energi, bahkan bisa menghadirkan kondisi fisik dan mental yang jauh dari kenyamanan. Dengan memohon kekuatan dari Tuhan, Energi Vertikal, kita bisa mengendalikan dan menghentikan nafsu amarah yang menggelora dan berkobar di dada kita.

 

Dalam dunia yang dilanda kemarahan, curiga, persekusi, ujaran kebencian, pembunuhan, konflik antar manusia karena berbagai kepentingan, marilah kita bertindak *paradoks*; menebar kasih sayang, merajut tali-silaturahim dengan banyak orang tanpa memandang keberbedaan mereka, mengupayakan perdamaian, memutus mata rantai konflik dan kekerasan. Kita harus membangun NKRI yang maju, modern, adil, damai, sejahtera dan berkeadaban berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.

 

Selamat Berjuang. God Bless

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here