Jakarta, Suarakristen.com
Idul Fitri (lebaran) 2018, + tinggal 60 hari lagi, proses penyelesaian ganti rugi pembangunan jalan tol Batang-Semarang III belum menemui titik temu antara warga terdampak dengan Pemerintah (yang diwakili oleh Badan Pertanahan Nasional/BPN dan Pengadilan Negeri). Sementara proses penggusuran terinformasikan akan dilakukan pada tanggal 20-23 April 2018, hal ini membuat kebingungan dan keresahan bagi warga. Belum adanya kesepahaman ini, karena warga menilai pelaksanaan ganti rugi yang dilakukan oleh pemerintah mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil. Proses pengadaan lahan dinilai memiliki kesalahan administratif yang cenderung merugikan warga.
Meskipun warga sangat mendukung program pembangunan yang sedang dijalankan oleh pemerintah, namun menurut Ahmad Hasan, warga Desa Nolokerto, mengatakan selama ini pemerintah tidak menjalankan tahapan dalam proses pengadaan tanah, sebagaimana yang telah diatur dalam UU Misalnya saja soal penentuan kompensasi atas objek, BPN melakukannya sepihak tanpa proses musyawarah dengan warga. Hal ini tentu tidak sejalan dengan azas pengadaan dalam UU No.2 Tahun 2012 yaitu asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan.
Selama ini warga sudah melakukan upaya dialog kepada kepada Kementerian ATR/BPR RI, Kementerian PUPR, Komisi V DPR RI, Deputi II Kantor Staf Kepresidenan, Ombudsman, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan untuk menyampaikan persoalan yang mereka alami. Warga berharap pemerintah jangan melakukan penggusuran dengan cara-cara pemaksaan. Menurut Ketua Cabang Serikat Petani Kendal, Nurrokhim “ seluruh warga sangat mendukung pembangunan jalan tol, hanya saja masyarakat meminta pemerintah menjalankan proses/tahapan sebagaimana yang telah diatur”. Keputusan yang keluar berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan warga, bukan keputusan sepihak (pemerintah saja),” tegas Nurrokhim.
Nurrokhim menegaskan bahwa “Data nominatif ukuran tanah, bangunan, tanaman dan usaha tidak sesuai dengan kondisi dilapangan. Penilaian (appraisal) terhadap objek yang dilakukan oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kendal menggunakan data tahun 2000-2012” ujarnya. Kondisi ini tentu saja tidak sejalan dengan prinsip yang dianut dalam UU No 2 Tahun 2012. Beberapa objek ganti rugi, seperti tanah dan bangunan serta tanaman dan nilai usaha, belum semua terhitung sesuai fakta dilapangan dan belum adil dalam penentuan nilai”. tambah Nurrokhim.
Proyek infrastruktur seringkali berfokus pada isu-isu teknis dan harapan terhadap hasil pembangunannya, namun mengabaikan dampak sosial dari pembangunan. Pembangunan jalan tol Batang-Semarang III telah mengabaikan prinsip universal dalam proses pengambilan tanah negara sebagaimana mandat UU Nomor 2 Tahun 2012. Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Maya Rostanty menjelaskan bahwa dalam proses pembangunan jalan tol yang diselenggarakan oleh pemerintah, hendaknya sesuai regulasi dan memperhatikan kelompok-kelompok rentan yang terdampak, untuk memastikan tidak ada warga yang tidak dirugikan. Perhatian terhadap kelompok tersebut tidak saja dilakukan pasca pelaksanaan pembangunannya, namun penting juga dilakukan pra pelaksanaan pembangunan (saat proses pembebasan lahan). Karena jika ini tidak diperhatikan maka akan berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi warga.
Menurut Maya, pembangunan jalan tol Batang–Semarang III telah mengabaikan konsep pembangunan yang responsif gender dan inklusi, karena ada 9 Desa dari 5 kecamatan yang terkena pembebasan jalan yang saat ini masih mengharapkan ganti rugi yang adil dan layak. Jumlah jiwa yang terdampak sebanyak 778 jiwa, terdiri dari laki-laki dewasa 283 jiwa, perempuan dewasa 267 jiwa, jumlah anak 0-18 tahun sebanyak 224 jiwa ( laki-laki 120 jiwa dan perempuan 104 jiwa). Selain itu terdapat kepala keluarga perempuan sebanyak 19 orang, dan usia lanjut 6 orang. Dari jumlah ini, 2/3 nya adalah kelompok rentan.
“PATTIRO khawatir, bahwa tujuan pembangunan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ternodai oleh proses pengadaan lahan yang merugikan dan membuat masyarakat tidak sejahtera, karena mengabaikan prinsip berkeadilan. Pembangunan yang berkeadilan perlu dipastikan dilaksanakan oleh pemerintah, tidak sekedar jargon saja, untuk memastikan semua kelompok marjinal rentan dan difabel terpenuhi hak-haknya baik sebelum pembangunan dilaksanakan maupun maupun sesudahnya”, tambah Maya. “Pemerintah harus meninggalkan cara-cara lama dalam melakukan pembebasan lahan warga, UU No.2 tahun 2012 telah memberikan arahan dalam menjalankan proses pengadaan lahan bagi kepentingan publik, dan semestinya itu menjadi panduan agar warga mendapatkan ganti rugi yang layak dan adil”. pungkas Maya.
Narahubung:
Ahmad Hasan, Warga Desa Nolokerto ( 0823 7743 9142)
Nurrahim, Ketua DPC SPI Kendal (0852 2512 0832)
A. Salim, PATTIRO (0878 0677 5485)