Oleh: Pdt. Andreas Loanka
BGA dari Markus 14:32-42
Kita harus bersyukur, karena Tuhan Yesus yang kita percaya mengetahui segala kelemahan dan pergumulan kita, karena Ia sendiri pernah mengalaminya ketika Ia berinkarnasi menjadi manusia. Alkitab berkata, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukan imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan–kelemahan kita, sebaliknya sama seperti kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” (Ibr 4:15).
Di Taman Getsemani dapat terlihat bahwa Tuhan Yesus mengalami pergumulan yang berat. Alkitab menyatakan, “Ia sangat takut dan gentar”(ay. 33c). Frasa Yunani “ekthambeisthai kai ademonei” sangat sukar untuk diterjemahkan. Kata-kata itu mengungkapkan taraf tertinggi dari ketakutan dan penderitaan yang tanpa batas.
Tuhan Yesus takut dan gentar karena Ia harus meminum “cawan pahit”. Apakah cawan itu? Cawan pahit itu lebih dari pada sekedar penderitaan jasmani. Kendatipun secara jasmani Ia harus mengalami penderitaan yang berat di kayu salib, tetapi secara spiritual Ia mengalami penderitaan yang jauh lebih besar, karena Ia yang tidak pernah berbuat dosa harus memikul dosa seisi dunia, mengalami murka ilahi dan terpisah dari Bapa.
Alkitab sedikit sekali mengungkapkan tentang keadaan hati Tuhan Yesus, tetapi ketika itu Ia berkata, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (ay. 34). Ia sangat bergumul karena dunia dan segala isinya sedang dipertaruhkan. Ia sedang berjuang sekuat tenaga menggumuli berbagai konsekuensi dahsyat yang harus ditanggungNya, yang sebenarnya sulit dipahami seorang pun. Ia ingin sekali melepaskan hal yang disebut cawan pahit itu. Tetapi Ia harus meminumnya sampai tetes-tetes terakhir.
Bagaimana Tuhan Yesus mengatasi pergumulan yang berat? Pertama, Ia memilih tempat yang tepat untuk bersekutu dengan Allah. Ia pergi ke taman Getsemani (yang artinya “alat memeras minyak,” yang terletak di sebelah timur lembah Kidron), suatu tempat yang biasa dipakai-Nya untuk berdoa (bd. Yoh 18:1-2).
Kedua, Ia berdoa. Ketika Tuhan Yesus mengalami pergumulan yang berat, dalam keberadaan-Nya sebagai manusia, Ia berdoa. Ia bergumul dalam doa dengan begitu seriusnya, hingga keringat-Nya menetes seperti titik-titik darah.
Ketiga, Ia meminta dukungan rekan. Ia membawa 11 murid-murid-Nya ke taman Getsemani. Delapan orang Ia minta duduk agak jauh, dan tiga orang dibawa-Nya ke dalam taman untuk berdoa. Mereka diminta untuk berjaga-jaga dan berdoa. Tetapi sayang murid-murid-Nya tertidur karena kelelahan. Terlepas dari kelemahan murid-murid-Nya, kita dapat belajar bahwa dukungan rekan-rekan itu penting. Persekutuan dan dukungan doa itu sangat penting. Tuhan Yesus ketika menghadapi pergumulan berat, Ia pun membutuhkan dukungan doa murid-murid-Nya dan mengajak mereka berdoa bersama.
Keempat, mengutamakan kehendak Allah. Dalam menghadapi pergumulan, Ia mengutamakan kehendak Allah. Ia berkata, “… tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” (ay. 36b). Kendatipun secara insani Tuhan Yesus menginginkan agar cawan itu berlalu dari-Nya, tetapi Ia tetap taat pada kehendak Allah.
Tiga kali Tuhan Yesus berdoa dan mengucapkan doa yang sama (Mrk. 14:36, 39). Secara praktis kata-kata doa-Nya itu menandai titik kemenangan-Nya. Kemenangan-Nya di atas salib telah dimulai dalam doa di taman Getsemai. Setelah itu Ia pergi menuju ke Golgota dengan kemenangan. Dengan kemenangan itu bukan berarti lepas dari penderitaan, melainkan Ia menang dalam arti siap untuk memikul salib menuju ke Golgota, sebab itu adalah jalan keselamatan bagi manusia berdosa yang dikasihi Allah.
Salam dan doa,
Pdt. Andreas Loanka
GKI Gading Serpong