“Hate the sin, love the sinner.” (Mahatma Gandhi)
Dalam kehidupan kita sehari-hari kita banyak bertemu dan atau menggunakan istilah baik istilah teknis yang berasal dari suatu disiplin ilmu (terminus tehnikus) atau istilah umum, dan acap juga istilah agama. Dalam dunia yang makin maju dan modern, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, begitu banyak istilah baru dari berbagai disiplin ilmu yang belum bisa dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Atau ada padanannya dalam bahasa Indonesia namun para pengguna tidak merasa ‘sreg’ dengan padanan itu. Misalnya, beberapa tahun yang lalu pernah diperkenalkan istilah *mangkus* dan *sangkil* sebagai padanan kata efektif dan efisien. Namun dalam kenyataan praktis masyarakat masih tetap menggunakan kata efektif dan efisien karena kata itu lebih dimengerti dan lebih ‘akrab’ didengar. Akhirnya kata “mangkus” dan “sangkil” tidak digunakan oleh masyarakat dan mungkin hanya menjadi topik diskusi dalam kelas-kelas program Bahasa Indonesia. Memang dalam mencari padanan kata bahasa Indonesia dari bahasa asing, selain soal ketepatan makna, ada juga soal “rasa bahasa”. Dalam perkembangan selanjutnya para ahli mencoba melakukan “indonesianisasi” dari kata-kata asing sehingga lebih memperluas vokabulari kata serapan dalam bahasa Indonesia.
Kita amat memahami bahwa bahasa amat penting dalam kehidupan umat manusia. Kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Ia menganugerahkan manusia dengan *bahasa* dan kemampuan berbahasa. Kita mesti mendayagunakan anugerah Tuhan itu dalam membangun peradaban umat manusia yang makin maju, unggul ditengah dunia yang makin modern, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai religius sebagaimana yang dimiliki dan menjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia yang majemuk.
Bahasa lah yang membedakan manusia dari makhluk yang lain. Bahasa lah yang menjadikan manusia itu benar-benar manusia. Para ahli filsafat bahasa mengingatkan kita bahwa bahasa bukan saja ungkapan kata, ekspresi bunyi. Bahasa adalah strukturisasi pemikiran manusia, bahasa adalah ekspresi mindset manusia. Kerancuan dan distorsi dalam berbahasa bisa ditelusuri sebabnya dalam kondisi dan kapasitas otak manusia yang menjadi pusat pemikiran sosok seorang manusia. Kerancuan berbahasa adalah potret dari kerancuan berfikir yang melanda seseorang.
Kesalahan atau ketidaktepatan berbahasa bukan saja bisa bermasalah dalam proses peradilan, tetapi juga bisa menimbulkan persoalan dalam kehidupan rumah tangga, di kantor, di lingkup birokrasi, parlemen, bahkan di ruang publik. Kesalahan penulisan nama, istilah dan berbagai data lain dalam dokumen pribadi kita acap menimbulkan persoalan yang tidak mudah pada saat-saat kita membutuhkan misalnya untuk jadi anggota parlemen atau menjadi cagub/cawagub.
Dalam konteks hubungan antar umat beragama ketidaktepatan dan atau kesalahan dalam menggunakan istilah agama, utamanya itu bukan agama yang kita anut, bisa menimbulkan dampak negatif dalam membangun kerukunan antar umat bergama. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam menggunakan istilah agama dan hendaknya pengertian sebuah istilah agama mestinya merujuk pada pengertian yang bersumber dari agama itu sendiri, dan sumber literaturnya memang benar-benar valid. Dengan cara itu relasi antar umat beragama tidak ternodai dan tercederai hanya oleh karena ketidakcermatan kita dalam menggunakan istilah agama.
Dalam kenyataan empirik kita terkadang sulit untuk memisahkan secara ketat antara figur orang dan perbuatan yang ia lakukan. Oleh pengaruh media massa kita selalu dengan cepat menyatakan bahwa si X itu koruptor besar dan lalu kita langsung “membenci”orang itu sambil menganggap kita sendiri “bersih”.
Ungkapan Gandhi yang dikutip diawal bagian ini sangat penting menjadi fokus kita : *Benci dosanya, kasihi orangnya*. Para pemimpin religius di masa lalu, antara lain Yesus memang menyatakan dengan tegas bahwa harus dikasihi orang yang berdosa, dan disadarkan agar ia bertobat dari dosanya. Kata “dosa” adalah istilah agama, artinya dalam ruang lingkup agama istilah itu lebih banyak digunakan. Menurut ahli bahasa kata “dosa” itu dalam bahasa Arab adalah “dzanbun” dan jamaknya “dzunuubun”; dalam bahasa Yunani “hamartia”, bahasa Ibrani “khata”.
Kata “dosa” itu sendiri diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti tindakan yang melanggar hukum Tuhan atau melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat. Kata “dosa”dan banyak lagi sinonim atau turunannya sebagaimana bisa dibaca dalam kitab suci agama-agama maknanya adalah pelanggaran terhadap hukum Tuhan.
Ungkapan Gandi penting artinya agar kita bisa memilah dengan baik antara *orang yang berdosa* dengan *dosa* itu sendiri.Orang yang berdosa itu tetap dikasihi, tetap diproses secara hukum, tetap diberikan pembinaan spiritualitas agar ia bertobat; jangan dibenci apalagi ditindak dengan “main hakim sendiri”. Ia pembunuh, ia pengguna “ventilon”, ia koruptor, ia membakar rumah ibadah, ia membacok pastor, ia menembak pendeta, ia menganiaya ulama, apapun “jenis” dosanya ia tetap harus dikasihi, dimaafkan, diampuni.
Kita sadari tidak bisa begitu cepat seorang korban mengampuni perbuatan orang yang sudah membunuh keluarganya, tapi proses pengampunan itu akan tetap terwujud seiring dengan proses hukum. Kasih itu sabar, murah hati, tidak pendendam, dengan dasar itu pemaafan dan pengampunan dapat terwujud. Mari kita wujudkan ungkapan Gandhi dalam kehidupan praktis.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*