“Pallida mors aequo pulsat pede pauperum tabernas/regumque turres. Dengan langkah yang sama kematian yang tanpa warna mengetuk gubuk si miskin atau benteng sang raja”.
Kita harus terus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada Allah SWT sesuai dengan keyakinan agama dan kepercayaan kita masing-masing atas anugerah kehidupan yang telah Ia berikan kepada kita masing-masing. Bahwa kehidupan kita berada pada “level” yang tinggi atau “rendah” dalam ukuran perspektif dunia sekuler itu soal yang lain, dan sama sekali tidak boleh menjadi kendala dalam hal kita bersyukur kepada Tuhan. Hidup kita yang dalam konteks Angka Harapan Hidup manusia Indonesia berada pada kisaran 70 an mesti kita daya gunakan secara optimal mewujudkan sebuah kehidupan terbaik, sesuai dengan ajaran agama dan taat hukum.
Bersyukur, berdoa dan melakukan aktivitas religius itu adalah bagian integral dari kehidupan harian kita selama rentang waktu 70-an tahun itu. Kita diingatkan oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat bahwa sebenarnya kehidupan kita itu harus mengartikulasikan dua bingkai besar yang berkaitan satu sama lain. Kedua frame, bingkai besar itu adalah : “horisontal” , berelasi dan mengasihi sesama manusia tanpa mempertimbangkan kesiapaan mereka; “vertikal”, berelasi dan mengasihi Tuhan Yang Maha Esa, yang pengaturannya secara detil praktis ditetapkan oleh agama dan kepercayaan kita masing-masing. Tugas utama manusia disepanjang rentang waktu hidupnya adalah mewujudnyatakan secara kontinyu dan konsisten kedua frame besar itu. Kita harus berelasi dan mengasihi sesama kita sebagai pencerminan bahwa kita berelasi dan mengasihi Allah; kita berelasi dan mengasihi Allah yang bisa diverifikasi dengan sikap kita yang berelasi dan mengasihi sesama kita.
Mengartikulasikan kedua frame besar itu : mengasihi Allah dan mengasihi sesama ternyata bukan hal yang mudah. Kita melakukan kedua hal itu serentak secara temporer, kita tak mampu melakukannya dengan setia dan terus menerus. Dalam dunia yang garang dan suasana hidup yang kompetitip kita tak bisa melakukan perbuatan mulia itu. Kita meninggalkan pola pikir yang memandang manusia sebagai “homo socius” tetapi lebih pada makna “homo homini lupus”. Relasi dengan Tuhan juga terjadi tidak dengan baik dan optimal; bahkan complain kepada Tuhan justru yang acap terjadi karena kita tidak merasa hidup nyaman dan nikmat.
Kata orang bijak siapapun kita, tanpa memandang etnik, agama, suku, kebangsaan, profesi, afiliasi politik, sekte, aliran keagamaan, sebenarnya kita berada dalam posisi yang sama yaitu sedang menuju ke titik kematian. Kita tengah beriring-iringan menuju tempat itu dengan pola berjalan yang aneka ragam. Ada yang melangkah tegap, ada yang berjalan dengan tertatih-tatih, terseok-seok dan terhuyung-huyung.
Ada banyak cara orang memandang tentang kematian. Budayawan Mudji Sutrisno dalam puisinya berjudul “Di depan kematian” mengungkapkannya demikian :
*”Di depan kematian”*
Di depan kematian/
Kita diajak berhenti sejenak/
Menekuni hidup yang diselesaikan/
Mengingati jalanan musafir kita.
Lalu sapaMu menepuk bahu/
Pelan menyadarkan/
Hidup berasal dariMu/
Berada ditanganMu Sang Maha Seniman/
Moga kami ziarahi oksigen hidup/
Dalam hela-hela/
NafasMu Sang maha Cinta./
Romo Mudji memahami kematian sebagai saat-saat tatkala Tuhan Khalik Alam Semesta menyadarkan ulang manusia bahwa hidup berasal dari Dia bahkan berada ditanganNya. Dalam buku kumpulan puisi berjudul “Ziarah Anggur”, Indonesiatera, Malang, 2004 yang ditulisnya bersama Willi Hangguman, Romo Mudji menyebut Tuhan sebagai Sang Maha Seniman. Karya cipta yang dibuat oleh Tuhan tidak terbandingkan!
Seorang Kuntiwijoyo, penyair kenamaan dalam puisinya berjudul “Mengubur Jenazah” mengungkap narasi filosofis seputar kematian. Bait pertama puisinya demikian..
*”Dimakam”*
Ruh tidak besatu dengan bumi/
Mereka kembali ke Kekosongan/
Sedang bunga kemboja/
Mengabarkan hari sudah sore/
Selalu sudah sore/
Pada pengunjungnya…
Walaupun kematian datang secara rahasia dan kehidupan baru sesudah kematian belum bisa diketahui secara detil namun para penyair dengan kekuatan imajinasinya mencoba mengungkapkan narasi seputar kematian yang kadang absurd. Kuntowijoyo dalam puisi diatas misalnya ya benar bahwa Ruh tidak bersatu dengan bumi. Tetapi mengapa ia menyebut Roh itu kembali kepada Kekosongan? Siapa yang ia maksud dengan Kekosongan? Bukankah roh itu kembali kepada Penciptanya?
Ada soal teologi disini yang tidak bisa dipecahkan lewat licencia poetica. Dalam perspektf agama dengan kematian itu maka jasad akan kembali ke tanah tapi roh kembali kepada Sang Maha Pencipta. Pepatah kita menegaskan bahwa kematian akan mendatangi siapa saja. Baik orang miskin yang tergolek di gubuk derita maupun orang kaya atau raja yang tinggal di benteng. Maut akan datang pada waktunya tanpa salam, tanpa mengetuk pintu. Kita harus nenyambutnya dengan gagah berani.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*