“Keep silence for the most part, and speak only when you must and then briefly”(Epictetus)
Ada banyak hal dan benda yang membuat seseorang dicekam atau dihantui perasaan traumatik. Orang bisa traumatik terhadap sebuah ruangan di Rumah Sakit, tempat orang yang ia kasihi meninggal di ruangan itu, apalagi meninggalnya karena keterlambatan tindakan medis, kesalahan diagnosis atau bahkan karena malpraktek. Seseorang enggan dan menolak untuk datang keruangan itu bahkan di waktu mendatang ia bisa saja tidak mau lagi datang ke rumah sakit itu.
Ada orang yang trauma untuk bicara di suatu seminar atau persidangan karena ia pernah dihentikan pembicaraannya karena dianggap melebihi alokasi waktu yang tersedia. Moderator kadang-kadang juga merendahkan dirinya menjadi seperti robot : tak mau tahu lagi siapa yang bicara, apakah kontennya penting atau tidak, ia melihat jam tangannya sudah cukup waktu ia lalu menyetop saja percakapan sang pembicara, tanpa basa basi. Dan realitas itu bisa menjadi sebuah pengalaman traumatik yang membuat orang itu apatis dan malas untuk bicara dalam forum-forum seperti itu.
Ada kasus juga pernah terjadi tahun 2000an tentang “pemberhentian” percakapan. Dalam acara seputar Gerakan Cinta Rupiah zaman itu, ada acara di Televisi Pendidikan Indonesia, saat itu masih hidup yang dipandu oleh seorang aktor yang kini menjadi Gubernur. Pembicara di TPI malam itu adalah para tokoh masyarakat dan pimpinan PGI memberi tanggapan tentang “Gerakan Cinta Uang”. Belum seluruh uraian dari PGI dikemukakan moderator yang aktor itu telah menyetop pimpinan PGI dengan alasan waktu telah habis. Kondisi ini menimbulkan rasa traumatik apalagi lembaga lain yang mengungkapkan pemikirannya lebih panjang tidak dihentikan.
Sebenarnya ada “seni” bagaimana mengelola sebuah pertemuan, seminar, persidangan sehingga akan selalu ada cara yang berkeadaban, manusiawi dan non-robotic dalam menyetop pembicaraan orang secara terbuka, sehingga perlakuan itu tidak melukai dan menghina pribadi seseorang. Time table dari sebuah persidangan bisa selalu terbuka untuk di remanage sehingga apa yang disebut “disiplin waktu” tidak menafikan konten yang diungkapkan seorang pembicara pada satu sisi dan pada sisi lain juga mengapresiasi pandangan yang lahir dari floor.
Secara jujur harus dikatakan bahwa ada banyak orang yang mengikuti sebuah pertemuan rutin organisasi yang dihinggapi roh kebosanan mengikuti sebuah proses persidangan yang penuh dengan kerutinan dan konvensional. Misalnya mereka baru menerima materi sidang pada awal pembukaan sidang; laporan yang disampaikan bukan resume, abstrak ataupun pointers penting dari setiap materi, dalam bentuk power point dan bukan membaca semua laporan tertulis sehari penuh, bahkan yang mungkin copy paste dari laporan terdahulu. Realitas ini terjadi oleh karena forum pertemuan/persidangan lebih dilaksanakan dalam konteks pemenuhan (formalitas) dari ketentuan/peraturan organisasi belaka dan tidak dalam konteks terjadinya proses pembelajaran yang maju dan efektif dalam rangka good governance.
Kata, words adalah wujud keunggulan manusia sebagai makhluk Allah yang fana, dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia harus berkata-kata, manusia harus memberi jawab, manusia harus memberi resposn, manusia adalah *makhluk yang ditanggungi jawab*. Manusia adalah juga *homo socius*, makhluk sosial, makhluk yang hidup dan terikat dalam relasi. Manusia bisa kehilangan hakikat kediriannya sebagai manusia apabila ia diam seribu bahasa, ia tidak menjawab bentuk relasi apapun. Di zaman *Now* di era digital ada saja manusia yang mencoba hidup di zanan batu, ia abai terhadap relasi, ia tidak menjawab message atau whatts app, atau menjawab 10 hari kemudian sesudah pengirim sms itu menjadi jenazah. Ini paradoks yang terjadi di zaman Now, ini sebuah “contradictio in terminis” di zaman Infomation Technology!
Pada tahun politik khususnya perhatian kepada bahasa harus lebih diberi ruang. Dari para tokoh filsafat bahasa kita telah belajar banyak apa dan bagaimana bahasa itu dalam kehidupan manusia. Bertrand Russel mengingatkan bahwa bahasa yang benar dan logis itu dapat merepresentasikan apa saja yang ada dalam alam sekitar dengan baik. Sedangkan Wittgenstein mengingatkan agar bahasa itu harus digunakan dalam konteksnya masing-masing. Pada saat kampanye bahasa sebagai medium komunikasi akan berhamburan memenuhi ruang publik. Hal yang harus dijaga adalah jangan sampai dalam bahasa yang melimpah ruah itu ada ujaran kebencian, ada penghujatan agama, ada pendiskreditan berbagai lembaga dan atau pribadi. Edukasi terhadap masyarakat seharusnya terjadi pada ruang publik tatkala para calon pimpinan daerah menawarkan program-program bermutu bagi kemaslahatan masyarakat dengan berbasis pada Pancasila dan UUD NRI 1945 serta visi misi setiap parpol kontestan pilkada.
Lembaga-lembaga keagamaan yang bersikap netral dan inklusif harus lebih berhati-hati dalam menggunakan bahasa. Harus dijaga jangan sampai terjadi distorsi akibat ketidaktepatan penggunaan kata, diksi, terminologi, terminus tehnikus, nomenklatur dan sebagainya. Istilah yang amat spedifik agama dan memiliki makna teologi yang amat sakral tidak bisa digunakan sebagai “bahasa sekuler”. Pada sekitar tahun 80-an seorang pejabat negara menyatakan “saya baptiskan pesawat ini dengan nama Tetuko”. Kata “baptis” yang digunakan untuk menyatakan seseorang telah resmi dan legal secara teologis memeluk agama Kristen, sama sekali tidak bisa digunakan terhadap pesawat. Model-model distortif seperti ini tidak boleh diulang pada waktu-waktu mendatang.
Agama-agama dan tokoh agama sebagai pelayan dan juga mitra dari seluruh masyarakat sebaiknya juga tetap pada posisi netral dan tidak memihak terhadap parpol dan atau calon yang diusungnya. Oleh karena itu lembaga/majelis keagamaan harus sangat arif dalam melayani permohonan paslon di daerah-daerah tertentu yang misalnya minta di doakan khusus, atau mohon diberkati dengan penumpangan tangan.
Secara khusus perlu juga ditegaskan agar doa dalam rumah ibadah dan dalam berbagai aktivitas keagamaan harus terarah bagi *semua paslon* beserta parpol pengusungnya agar mereka semua diberkati Tuhan dalam mewujudkan niat baiknya dan agar rakyat pemilih dibimbing Tuhan dalam menetapkan pilihannya secara demokratis dan sesuai dengan hati nurani. Harus dihindarkan tokoh agama/majelis, sebagai pihak yang netral, mendoakan secara spesifik kemenangan paslon tertentu untuk menjadi pimpinan di suatu wilayah.
Ada baiknya ditengah berhamburan kata-kata di tahun politik, yang terkadang merupakan sebuah *repetitio*, *tautologi* bahkan yang acap *bombas* dan *lebay* kita renungkan apa yang diungkap Epictatus, sang filsuf beken: “banyaklah diam, berbicaralah jika diharuskan dan bicaralah dengan singkat”.
Mari mencari momen tepat untuk bicara, dan bicara dengan bahasa yang sopan, cantik, elegan, logis, terstruktur jauh dari vulgar, kasar dan bernuansa ujaran kebencian.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin.*