Pdt. Weinata Sairin: Menuju Malam Penuh Rahmat, Dibalut Doa dan Berkat

0
1400

 

 

_”Nescis quid vesper (serus) vehat. Kamu tidak tahu apa yang akan dibawa oleh malam yang larut”._

 

Malam, _night_ terkadang menghadirkan pikiran-pikiran yang dualistis dan paradoksal. Malam yang gelap tanpa bintang, tanpa seberkas cahaya, bisa ditunggu kehadirannya oleh orang-orang pada lapis dan level tertentu, tetapi bisa juga tidak diharapkan kedatangannya pada orang-orang di level yang lain.

 

Disitulah letak keunikan malam, pada dimensinya yang dualistis dan paradoks. Enrico Nencioni, penyair Spanyol (1837-1896) menuliskan narasi-narasi cantik diseputar “Malam”.

Narasi dengan diksi yang kuat, padat dan bernas telah menghadirkan sebuah m a l a m yang sepi bahkan agak menakutkan. Mari nikmati puisi Nencioni yang plastis seperti dikutip berikut :

 

*”MALAM”*

Bulan tiada muncul. Tiada sinar lemah/

gemintang menembus lengkung awan yang rendah/

dan enteng. Hidup kejang/

dan lampu padam. Tiada

selenting cetusan/

dari kedip-kedip tersembunyi

Jangkrik tiba-tiba menghentikan/

dendang; bumi yang lesu/

tertidur nyenyak dan berat/

karena tekanan/

udara sesak. Selintas kilat/;

beberapa tetes hujan/

jarang dan ngilu kuku : bagai tetesan darah; dan sekali-sekali sedesau angin, diikut gaduh/

yang aneh.

(Dari : M.Taslim Ali, Puisi Dunia I, Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Jakarta, tanpa tahun)

 

Malam dalam imajinasi Enrico ini adalah sebuah malam seram, temaram dan sepi bahkan menyesakkan. Malam dengan lampu padam dan hidup kejang. Seberkas kilat, rintik hujan dan desau angin yang mengalirkan gaduh yang aneh, bukanlah malam yang romantis, yang melahirkan cinta dan harapan, tapi sebuah malam gelap pekat yang menyisakan kerisauan.

 

Malam tidak sepekat dan menakutkan seperti yang ditulis Enrico penyair Spanyol. Malam bisa juga menghadirkan memori-memori indah dan agak religius. Muhammad Rois Rinaldi dalam puisi berjudul “Kisah Saban Malam Ketika Kanak-kanak” mencoba menghadirkan “malam” tahun 2017, “malam” yang berbeda dari malamnya Enrico di abad 18, dengan locus yang khas Cilegon, Banten yang kuat nafas keagamaannya.

 

Berikut  puisinya yang bicara tentang “malam” :

 

“Sebelum malam benar larut dan ibuku melepas/

ikat kelambu, Abah membaca surat-surat pendek/

Sehelai sorban tak pernah di kenakan, sekadar jadi alas kitab suci./

Songkok hitam memang tidak pernah lepas dari kepala Abah/

Aku menguping dari kamar sebelah/

 

Dunia dalam ayat terasa lain :

teduh dan tenteram/

Itulah mengapa aku membenci Dragon Ball/

Terlalu banyak penjahat/

Sialnya aku suka Conan/

 

Mendengar suara Abah bikin aku lupa kecurangan/

temanku saat main kelereng/

Aku kehilangan _seponjen_ dalam sehari!/

Mestinya aku berhenti bermain/

Tetapi aku pula napsu ingin mengalahkan/

orang curang. Hatiku jadi marah/

 

Tetapi ketika malam semuanya tinggal ingatan/

yang kutertawakan/

Aku tidak pernah membenci temanku/

Besok masih libur kami pasti bermain lagi/

Aku hanya berbaring tanpa pikiran apa-apa/

hanya ingin mendengar suara Abah/

sebelum lampu-lampu dimatikan dan aku tertidur begutu saja.

 

Cilegon 2017

 

(Menembus Arus Menyelami Aceh, Maman S.Mahayana dkk, Penerbit Lapena, Banda Aceh,2017)

 

Dalam puisi  dengan warna religiusitas cukup kental itu Rinaldi mengungkap kembali masa kanak-kanaknya, dengan ‘malam’ yang ia tempatkan sebagai setting. Ingatannya tentang peran Abah (ayah) menarik diungkapkan dalam puisi ini yang memberi garisbawah kuatnya spiritualitas sang Abah. Ayah membaca surat-surat pendek (surat Makiyah, surat-surat pendek Alquran yang turun  di Mekah). Ayah Rinaldi lebih suka memakai peci hitam ketimbang sorban putih. Ia menikmati alunan suara sang Abah dari kamar sebelah. Adakah makna lantunan ayat-ayat suci menjelang malam? Dunia terasa lebih teduh dan tenteram kata sang penyair. Lantunan ayat-ayat suci selalu melahirkan suasana teduh, damai dan tenteram bagi siapa saja yang mendengar dengan hati putih dan terbuka. Rinaldi dengan lugunya juga bercerita bagaimana ia bermain kelereng dengan kawan-kawannya dan dicurangi sehingga kemarahannya muncul. Malam bagi Rinaldi menghadirkan memori indah tentang banyak hal dan nenjadi kekayaan bagi sebuah kehidupan.

 

Malam memang bisa menjadi sesuatu waktu yang penuh dengan misteri. Malam menghadirkan sesuatu yang paradoks. Ada yang menanti malam untuk melaksanakan rencana jahat. Ada juga yang menjadwalkan malam itu suatu pertemuan rekonsiliatif. Sebagai umat yang berTuhan kita pasti akan merancang hal positif.

 

Mari kita masuki malam dengan positif, niat baik, doa kepada Tuhan, bersyukur dan penuh sukacita. Jangan dengan marah, complain, pikiran negatif. Mari berupaya terus menampilkan hidup yang bermakna bagi banyak orang.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here