“Bonum est confidere in Domino. Baiklah (jika) percaya kepada Tuhan”.
Apakah “percaya kepada Tuhan” masih menjadi isu relevan dan hangat dalam dunia modern? Apakah “percaya kepada Tuhan” masih menjadi bagian dari tema perbincangan generasi milenial, anak-anak zaman “Now” yang sehari-hari bersibuk diri dengan gadget, dengan mall on line?
Mungkin orang-orang model Karen Amstrong atau Deepak Chopra yang masih concern dengan isu itu karena menulis buku Masa Depan Tuhan atau Masa Depan Agama. Judul buku mereka amat atraktif dan memikat namun harus dibaca lebih tekun dan cermat karena isinya amat dalam.
Di era digital seperti sekarang ini memang ruang-ruang publik kita dipenuhi dengan begitu banyak buku dengan isi dan judul yang kadang menggemparkan. Terakhir di media sosial beredar informasi tentang hadirnya buku “Keteladanan Iblis”. Judul buku yang menghebohkan ini menghiasi media-sosial, namun buku ini belum/tidak beredar pasar. Judul buku ini memang menimbulkan berbagai pertanyaan dari publik : apakah Iblis itu sudah bisa menampakkan diri dan secara kasat mata hadir ditengah kehidupan umat manusia. Apakah ada perbuatan-perbuatan Iblis yang bisa diteladani?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan banyak pertanyaan lain baru bisa terjawab mungkin sesudah kita membaca buku tersebut. Kita juga tidak tahu persis apakah buku dengan judul seperti itu bisa akan bebas beredar di negeri ini!
Hal-hal mendasar yang mestinya diangkat sebagai isu hangat dan relevan dalam kehidupan kita adalah “apakah kepercayaan kepada Tuhan itu sudah diaplikasikan dengan benar dalam kehidupan konkret” atau “adakah kontribusi agama-agama dalam pembentukan karakter manusia?”
Semua orang di negeri ini menyatakan bahwa mereka percaya kepada Tuhan, walaupun agama mereka berbeda-beda. Itu berarti hal relevan yang harus menjadi bahan perhatian adalah bagaimana implementasi ajaran agama itu dalam kehidupan konkret. Kita hampir selalu dihadapkan kepada kenyataan konkret dalam konteks kehidupan beragama. Misalnya orang yang inkonsisten dalam menjalankan agama. Seseorang itu rajin beribadah dan menjalankan berbagai aktivitas keagamaan. Namun ia juga hasrat korupsinya besar, sehingga akhirnya tertangkap tangan.
Sebagai bangsa dan khususnya sebagai umat beragama kita layak prihatin oleh karena keberagamaan kita masih sebatas keberagamaan yang formalistik, yang basa basi. Belum sebuah keberagamaan yang “kafah” yang utuh penuh, yang konsisten. Kita amat tekun beragama, amat saleh, rajin beribadah, rajin beramal, rajin mengikuti aktivitas keberagamaan, dan sebagainya, dan sebagainya, namun dalam praktik ajaran agama itu tidak mewujud, tidak menjadi pedoman dan tidak operasional dalam hidup sehari-sehari. Orang tetap saja korupsi, tetap menyuap, tetap membuat anggaran dan program fiktif, terus melakukan “mark up” program.
Pemerintah dan tokoh-tokoh agama harus secara bersama dan bersinergi berupaya kuat untuk memberikan proses pembelajaran yang tepat bagi umat agar mereka mampu mewujudkan kehidupan beragama yang kafah, utuh, dan konsisten. Spirit keberagamaan, semangat spiritualitas tak boleh dibatasi pada tembok-tembok rumah ibadah dan atau disekitar aktivitas keberagamaan tetapi terus membara dan menyala menguasai kedirian setiap pribadi umat.
Keberagamaan manusia Indonesia bukanlah keberagamaan yang tekstual dan paradoks/inkonsisten, tetapi keberagamaan yang operasional yang mewujud dalam tindaknyata, keberagamaan yang utuh penuh.
Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan “baiklah (jika) percaya kepada Tuhan”. Kita di ingatkan untuk tetap percaya dan setia kepada Tuhan. Jangan kita percaya kepada *tuhan* atau *tuhan-tuhan* yang hadir dalam wujud apapun dikekinian dunia. Percaya, setia kepada Tuhan artinya mengartikulasikan ajaran agama dalam kenyataan hidup dimanapun kita berada dan pada level apapun. Sebagai umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kita terus diingatkan untuk tetap percaya kepada Tuhan dalam situasi yang bagaimanapun juga.
Selamat berjuang. God bless
*Weinata Sairin*