Pdt. Weinata Sairin: Hidup Berpengharapan Berdasar Iman

0
1330

“At spes non fracta. Harapan belumlah putus.”

 

Kata orang bijak hal yang amat penting dan fundamental yang mesti dimiliki manusia yang hidup adalah pengharapan, *hope*. Orang yang pesimis, cengeng, putus asa, kehilangan antusiasme, selesailah sudah. Artinya ia kehilangan gairah hidup, ia tak punya lagi hasrat, keinginan, ia cuma seonggok tubuh tanpa jiwa, terkulai lunglai tanpa makna di pinggir-pinggir kehidupan. Ada pengalaman menarik ketika tahun 1970 melaksanakan tugas beberapa bulan sebagai mahasiswa tingkat akhir Sekolah Tinggi Teologi Jakarta di Rumah Sakit Jiwa Grogol. Ada cukup banyak pasien yang dirawat di RS itu yang disebabkan faktor internal keluarga. Pasien yang dikelompokkan sebagai “pasien inventaris” yang bertahun-tahun dirawat, nyaris tidak lagi punya pengharapan untuk sembuh dan kembali ketengah keluarga. Mereka menghidupi kehidupan di RS itu sebagai sesuatu rutinitas tanpa roh dan spirit, mengalir saja, bahkan pendekatan dari perspektif agama juga kurang begitu membantu. Memang jika seseorang tidak lagi punya pengharapan, maka bisa dikatakan ia “sudah mati” walaupun faktual ia masih bernafas.

 

Memang setiap orang berbeda dalam ‘mendekati’ sebuah penderitaan, penyakit atau derita yang lain. Di RS Dharmais misalnya ada banyak orang yang sudah divonis dokter bahwa ia akan berakhir sekian bulan lagi, dan secara medik sudah sulit disembuhkan, kecuali ada *mujizat* , mereka tetap ceria dan menjalani kehidupan sebagaimana biasanya. Mereka bahkan  tetap bicara tentang masa depan, tentang mimpi-mimpi mereka yang belum terwujud. Wajah mereka sama sekali tidak menampilkan sosok lemah yang pasrah tanpa daya. Mereka memiliki pengharapan, mereka optimis, dan harapan dan optimisme itu yang mengaliri dirinya dari hari ke hari.

 

Optimisme, hidup yang berpengharapan itu amat penting dipraktikkan ditengah zaman yang penuh dinamika. Sebagai umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kita diajarkan bahwa hidup itu mesti punya pengharapan. Dan pengharapan kita sebagai umat beragama itu berdasarkan percaya dan iman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Kita yakin dan percaya bahwa Tuhan akan menolong kita pada saatnya, pada waktu yang Ia tetapkan. Kita dengan iman yang teguh menanti kapan waktu Tuhan bertindak menolong kita, kapan *kairos*, waktu Tuhan itu terwujud. Kita berdoa, kita memohon petunjuk dan bimbinganNya agar jalan yang ditempuh dalam kehidupan ini adalah jalan yang Ia berkati, jalan yang Ia ridhoi.

 

Pengharapan, optimisme juga berkaitan dengan umur kita. Ada cerita menarik tentang usia dari sosok bernama Garibaldi. Pada waktu Garibaldi tengah terlibat dalam sebuah pertempuran, ia tertembak di lehernya. Peluru menembus urat lehernya dan ia terbaring dalam kondisi perdarahan yang hebat. Salah seorang sahabatnya membungkuk dan bertanya apakah ia memiliki kata-kata terakhir untuk ibunya. “Ya, katakan pada ibuku bahwa aku akan hidup sampai umur 76 tahun!”. Itu jawab Garibaldi dengan suara mantap.

 

Optimisme juga bisa bersumber dari benda-benda yang ada disekitar kita. Thackeray menulis di majalah Vanity Fair sebagai berikut. “Dunia adalah sebuah kaca. Kaca itu memperlihatkan kembali pada setiap orang pantulan wajahnya sendiri. Bila engkau memperlihatkan muka masam maka muka masammu itu yang akan terlihat kembali olehmu. Tertawalah didepan kaca itu maka kau lihat seorang sahabat yang baik lagi riang”

 

Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan bahwa “harapan belumlah putus”. Pepatah ini mengingatkan kita bahwa harapan itu harus selalu ada, dibangun dan dipelihara. Penderitaan, kesulitan, hambatan, persoalan apapun yang kita hadapi ditengah dunia ini, tidak boleh memadamkan bara pengharapan, tidak boleh mematikan api pengaharapan itu. Kita harus terus berharap dan memohon kekuatan serta visi baru dari Tuhan Yang Maha Esa.

 

Selamat berjuang. God blessed.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here