“Te Deum laudamus. Kami memujiMu ya Allah.”
Hidup manusia fana di kekinian dunia, tidak selesai pada aspek-aspek sekuler semata. Tidak hanya concern pada dimensi-dimensi horisontal yang makin “complicated” itu. Manusia yang “kewargaannya di sorga” dan memiliki “percikan ilahi” dalam kediriannya harus memiliki concern pada aspek vertikal-transendental. Dan itulah sebabnya manusia menganut agama, mengikrar kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Aspek-aspek vertikal-transendental itulah yang menjadi ranah agama. Ranah agama ini dikelola oleh para pejabat agama dan bersama lembaga keagamaan. Pemerintah dalam konteks perannya bagi agama terbatas memberi ruang, memberi fasilitas, memberi jaminan agar umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat beribadah dengan tenang, khusuk, tak ada gangguan dan jauh dari upaya kriminalisasi dari siapapun dan dengan alasan apapun. Agama dan lembaga keagamaan yang menetapkan hari raya keagamaan sesuai dengan “bahasa dan teologi” setiap agama.
Berdasarkan penetapan Agama dan Lembaga Keagamaan itu Pemerintah bisa menuangkannya dalam bentuk peraturan sesuai dengan sistem administrasi yang baku yang dimiliki Pemerintah. Pemerintah tidak punya otoritas, kapasitas dan kompetensi misalnya seperti terjadi tahun 2003, membuat kategori hari raya agama: ada yang ritual dan ada yang seremonial. Bahkan kasus tahun 2003 itu Pemerintah *memundurkan* hari raya keagamaan suatu agama dari hari Kamis ke hari Jumat. Dan itu sebuah tindakan yang distortif bahkan bisa dikatakan penghinaan terhadap agama.
Sebagai bangsa yang beragama kita selalu bangga bahwa negara-negara lain “kagum” kepada kita bahkan ingin belajar dan menjadikan NKRI sebagai model dari sebuah negara yang berhasil di bidang kerukunan. Kita sendiri dengan penuh kebanggaan mempromosikan kerukunan ke berbagai negara termasuk kepada Sri Paus di Vatikan. Kondisi seperti itu tidaklah salah, namun kita sendiri baik Pemerintah maupun seluruh warga bangsa yang menganut berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara bersama harus berupaya lebih serius menghadirkan kehidupan beragama yang semarak, yang terimplementasi dalam praksis kehidupan sehari-hari, yang menghargai satu sama lain. Jangan lagi terjadi di mancanegara Indonesia sangat populer sebagai negara yang rukun dalam beragama, namun dalam realitas konkret terjadi apa yang disebut “contradictio in terminis”.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini adalah sebuah ungkapan religius : “kami memujiMu ya Allah”. Sebagai umat beragama hari-hari kehidupan kita dinafasi dengan “memuji nama Allah”. Dalam kehidupan keagamaan kita, ada banyak bentuk dari aktivitas “memuji Allah”. Menyanyikan lagu rohani, melakukan pembacaan ayat-ayat Kitab Suci, memberikan tausyiah, ceramah keagamaan, melakukan aktivitas keagamaan di rumah, di rumah ibadah, ditempat-tempat lain selalu ada unsur “memuji nama Allah”. Seorang Bimbo, grup Lingga Binangkit -dulu dari Bandung-, paduan suara Gereja, penyanyi lagu-lagu rohani, para penyair mereka juga memuji nama Allah dalam versi dan sesuai dengan talenta masing-masing.
Dalam interaksi dengan Allah, dengan Tuhan Yang Maha Esa, melalui doa, nyanyian rohani atau bentuk-bentuk lainnya, seorang manusia bisa memuji nama Allah dengan mengungkapkan kekaguman kepada Allah. Hal itu acap dilakukan para komposer, novelis atau juga penyair. Mari simak dan hayati narasi indah dari penyair kondang dari Aceh, D. Kemalawati dalam puisi terbarunya berjudul “Tuntun Aku Ya Rabb”.
“Entah sampai hitungan ke berapa/
kaki ini masih melangkah/
di atas taburan bunga/
atau serpihan kaca/
Duhai Rabb/
aku mencium wangiMu dalam sunyi jalan menuju/
harap cemasku/
akankah kau rangkul tubuhku/
bila bertemu/
Duhai Rabb/
izinkan aku menjadi kekasihMu/
tuntun langkahku hingga berhenti/
dalam pangkuanMu.
Banda Aceh, 2 April 2014
(D. Kemalawati, *Bayang Ibu*, Penerbit Lapena Banda Aceh & CV Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2016)
Narasi-narasi yang bernuansa sufistik dari Kemalawati ini amat mencerahkan karena isinya berupa dialog antara sang aku dengan *Rabb*. Dalam bahasa Arab ‘Rabb’ berarti raja, penguasa, pemilik. Dalam konteks agama Islam kata *Rabb* merujuk kepada Allah. Dalam puisi ini Sang Aku amat menyadari otoritas Rabb, sehingga jika nanti ada pertemuan, entah kapan, apakah Ia akan rangkul tubuh sang Aku. Puisi-puisi religius seperti ini bisa kita jumpai pada Amir Hamzah, JE Tatengkeng, Rendra, Fridolin Ukur, dan beberapa yang lain yang merekam interaksi dengan Tuhan, termasuk memuji namaNya.
Hari-hari kita umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah hari-hari memuji Tuhan. Kata *memuji Tuhan*, mengagungkan nama Allah sebaiknya tidak kita maknai hanya secara harafiah. “Memuji Tuhan, memuji nama Allah” dalam praksis sehari-hari adalah juga memajukan HAM, menghentikan KDRT, melawan Kekerasan Seksual pada Anak dan Prempuan, Melawan persekusi, Concern pada 4 Isu Besar bangsa : Narkoba, Korupsi, Intoleransi dan Etik Moral.
Kita harus memuji nama Tuhan oleh karena Ia menganugerahkan sebuah NKRI yang majemuk, kaya, peradaban dan budaya tinggi, warganya hidup dalam spirit gotong royong sebagai bagian dari tradisi bangsa. Kita harus merawat NKRI dengan tekun dan setia. Jangan lukai tubuh NKRI dengan konflik sara, persekusi agama, terorisme, kejahatan seksual, perdagangan anak, perdagangan perempuan, pembunuhan karakter dan sebagainya.
Kita bersyukur bersama-sama dengan Saudara-saudara kita yang pada tanggal 16 Februari 2018 ini merayakan Tahun Baru Imlek 2569; semoga Tuhan melimpahkan berkatNya bagi Saudara-saudara. Kita ucapkan Selamat Tahun Baru Imlek, *GONG XI FA CAI*
Mari terus memuji nama Tuhan sesuai dengan ajaran agama kita, memujiNya dalam praksis kehidupan kita yang nyata.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*