“Illumina oculos meos, Domine. Tuhan terangilah mataku.”
Ada cukup banyak peribahasa atau pantun yang menggunakan kata *mata*. Pantun dan pepatah yang cukup populer antara lain berbunyi sebagai berikut :
“Dari mana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali.
Dari mana datangnya cinta, dari *mata* turun ke hati”
Atau “Jauh di *mata* dekat di hati”
Pantun pendek dan pepatah yang dikutip diatas tadi memberikan gambaran tentang bagaimana posisi mata dalam konteks kehidupan manusia. Mata punya makna yang penting dan strategis. Mata menjadi ‘medium’ yang pada tahap awal melahirkan benih-benih cinta dan melalui ‘mata’ cinta itu kemudian mengalir, mengalir dan mengalir dan bermukim di hati. Mata itu juga yang kemudian secara kreatif memainkan perannya yang kuat sehingga cinta kasih yang bermukim dihati itu makin memekar dan kulminasinya adalah sebuah pasangan itu kemudian bisa membentuk rumahtangga.
Pada saat kita masih menjadi anak sekolahan, zaman baheula, bapak ibu guru kami acap memberikan pengingatan tentang peribahasa yang menggunakan kata “mata”. Misalnya “Jauh dimata dekat dihati”.
Menurut tafsir pak dan bu Guru pada zaman itu bagi kami murid-murid Sekolah Rakjat, walaupun harus tinggal berjauhan dengan saudara-saudara lainnya, tetap dekat dihati, tetap kuat tali persaudaraannnya. Tidak boleh talisilaturahim itu berkurang hanya karena lokasi berjauhan.
Para murid amat gembira dengan uraian dan pengingatan bapak dan ibu guru seputar memantapkan tali persaudaraan melalui pepatah “Jauh dimata dekat dihati”.
Mata memiliki fungsi yang amat vital, untuk melihat, mengamati, melihat-lihat sehingga obyek di depan kita hadir lebih jelas dan jernih. Bagi seorang “bookaholik” mata sangat penting. Buku-buku dibacanya mulai dari daftar isi, pemberi kata pengantar, dan daftar pustaka. Bahkan dengan memastikan siapa penulis dan penerbit buku, maka hasrat membaca sebuah buku makin bertambah.
Bagi banyak orang dari berbagai profesi dan kompetensi “mata” memiliki fungsi yang amat spesifik. Dan pada konteks itu tidak usah kita mesti tenggelam dalam perdebatan panjang. Bagi seorang *laboran* dan “satpam” misalnya mata tentu memiliki fungsi yang amat khusus yang berkaitan dengan keselamatan orang banyak. Bagi seorang penyair, *mata* bisa menjadi medium untuk membangkitkan memori masa lampau yang telah menorehkan sebuah sejarah. Coba kita nikmati puisi seorang penyair kondang dari negeri Serambi Mekah : D. Kemalawati dalam puisinya berjudul “Kita Melihat Langit Begitu Sendu”
“sisa hujan di matamu/
mengeringkan mata hati penjaga bendungan/
ia melempar kunci ke leher piaraannya/
hingga berdenting sepanjang malam/
isak yang lama menyayat telah menjadi mayat/
terkubur jejak kata yang tak tersirat/
sebagai nada perih ia timbul tenggelam/
kearah mana angin membawanya melayang/
kita melihat langit begitu sendu/
awan hitam dan langkah kaki penjaga bendungan/
semakin sarat hujan/
dan burung-burung bergegas menuju sarang”/
Banda Aceh, 18 Desember 2011
(D. Kemalawati ,”Hujan Setelah Bara”, Lapena & Bandar Publishing, Banda Aceh, 2012)
Bagi sopir angkot, sopir Trans Jakarta, bagi petembak, bagi pilot, bagi penjaga gawang mata dan daya lihat menjadi hal yang amat fundamental. Bagi para pejabat agama, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka *mata* dan *melihat* sangatlah penting utamanya untuk membaca Kitab Suci.
Membaca Kitab Suci dalam berbagai bahasa : Arab, Ibrani, Yunani, Latin, Sansekerta, Mandarin dan lain lain membutuhkan mata yang sehat agar pesan Kitab Suci dapat difahami dengan baik sehingga disampaikan kepada umat dengan tepat. Menarik pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini “Tuhan terangilah mataku”. Kita memohon agar Tuhan membuat mata kita terang, jelas, clear sehingga tugas pelayanan kita disemua bidang dapat dijakankan optimal.
Dengan mata yang terang kita dapat membaca dan mengutip ayat Kitab Suci dan diktum perundangan dengan tepat. Mata yang terang membuat kita mampu melakukan pembedaan/kategorisasi apakah ini “begal” , atau “perampok ATM” sehingga kita bisa melakukan tindakan hukum kepada mereka dan tidak dengan tiba-tiba membacok mereka dengan pedang, cara main hakim sendiri seperti kaum barbar di zaman baheula! Mata membuat kita mampu berfikir positif, obyektif, konstruktif dalam kehidupan disebuah masyarakat majemuk seperti NKRI. Mari berdoa dan mohon kepada Tuhan agar Ia membuat mata kita terang, dan agar kita hidup mengasihi dan mengampuni!
Selamat Berjuang. God bless.
*Weinata Sairin.*