“Secundis (temporibus) dubisque rectus. Tetap tegar dalam saat-saat yang menguntungkan atau dalam saat-saat yang merugikan”.
Manusia menghidupi kehidupan ini di dunia nyata, in the real world. Bukan di dalam dunia mimpi, dunia khayal, dunia fiksi atau dunia maya. Berhadapan dengan realitas konkret yang dihadapi, ada berbagai sikap yang dikembangkan oleh manusia. Ada orang yang menghadapi kesulitan hidup dengan tenang, lalu mengurai masalah itu sehingga diperoleh beberapa alternatif jalan keluar. Sikap seperti itu berdampak besar bagi seseorang, ia memperoleh pembelajaran yang amat berarti dan merasa makin mantap dalam menghadapi dinamika kehidupan. Namun ada juga orang yang menghadapi realitas kesulitan itu dengan muka yang muram, penuh pesimisme dan bahkan menutup diri.
Orang dalam tipe ini memahami kesulitan sebagai sesuatu yang mengganggu kenyamanan kehidupan. Mereka complain terhadap kenyataan seperti itu dan menganggap tak ada sesuatu pesan moral dan atau “lesson learn” dari episode kesulitan hidup seperti itu.
Ada juga orang yang melarikan diri tatkala hidupnya didera kesulitan. Ia lari ke “dunia lain”. Bisa dunia cafe, dunia pub, dunia judi, dunia sabu, dan berbagai dunia lainnya yang begitu banyak jumlahnya sekarang ini.
Menurut orang-orang bijak dalam berhadapan dengan berbagai turbulensi yang dihadapi di tengah kehidupan, paling tidak dua hal yang mesti dikembangkan yaitu Kesabaran dan Optimisme. Sikap sabar itu memerlukan latihan, tidak mudah mempraktikan sikap yang sabar tatkala kita sedang dilanda kemarahan. Seorang bernama Bernado Tasso sangat marah kepada anak laki-lakinya Torquato yang lebih memilih jurusan Filsafat ketimbang Hukum. Berkata sang ayah; “Apa yang telah Filsafat lakukan padamu?” Ia ingin tahu lebih jauh apa yang membuat anaknya senang dengan filsafat. Torquato menjawab dengan tenang “Filsafat telah mengajarku untuk menahan cercaan seorang ayah:
Kesabaran harus dipraktikkan kepada siapa saja, kepada istri, suami, anak, mertua, cucu, menantu, bos di kantor, ya kepada semua orang tanpa memandang jabatan dan atau hubungan keluarga. Kesabaran perlu ditunjukkan ketika kita berhadapan dengan musibah : kebakaran, bencana alam dan berbagai bencana lainnya. Pada waktu diberitahu bahwa rumahnya yang di Washington telah terbakar maka Thomas H Benton pergi meninggalkan kongres untuk melihat bencana itu. Sambil menatap puing-puing sisa kebakaran itu ia berkata : “Ini membuat kematianku menjadi lebih mudah. Disana tidak banyak lagi yang tersisa untuk ditinggalkan.”
Selain kesabaran dalam arti yang luas, yang dipraktikkan diberbagai bidang kehidupan maka sikap optimisme juga mesti dikedepankan. Optimisme, sikap yang terarah kemasadepan di contohkan dalam kisah Thomas Alva Edison. Thomas Edison kehilangan peralatannya bernilai dua juta dollar serta catatan pekerjaan seumur hidupnya, pada waktu pabrik Edison kebakaran tahun 1914. Putra Edison Charles cepat cepat mencari ayahnya. Akhirnya ia melihat sang ayah di dekat api. Hati anaknya sedih menyaksikan kondisi ayahnya yang sudah makin tua itu. Ketika Edison melihat Charles ia tanya “Mana ibumu ?” Ajak ia kesini untuk melihat kejadian ini yang takkan pernah ia lihat seumur hidupnya”. Pada pagi hari ia berjalan diantara abu dan begitu banyak harapan serta mimpi-mimpinya. Edison yang berusia 67 tahun berkata : “Disana ada bencana yang sangat besar nilainya. Kesalahan-kesalahan kita sudah habis terbakar. Terima kasih Tuhan kami bisa memulai sesuatu yang baru”
Sebagai umat beragama kita dipandu oleh ajaran agama kita masing-masing dalam menghadapi realitas kehidupan yang bagaimanapun juga. Kita harus tabah dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kita mengalami kekuatan dalam menghadapi kesulitan hidup. Pepatah kita mengingatkan agar kita tetap tegar dalam menghadapi realitas hidup yang bagaimanapun juga. Mari hadapi irama kehidupan ini dengan kekuatan dari Tuhan.
Selamat Berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*