“To understand the heart and mind of a person, look not at what he has already achieved, but at what he aspires to do”.(Kahlil Gibran)
Manusia, makhluk fana ciptaan Allah, dalam arti tertentu adalah sosok dan figur yang tidak seluruhnya bisa “dibaca” dengan baik. Ada banyak pepatah yang mencoba “menebak” kepribadian seseorang tapi hal itu tak mampu menghasilkan sesuatu yang definitif tentang *kesiapaan* orang itu. Pepatah itu misalnya berbunyi “coba tunjukkan makanan apa yang suka kau makan, maka akan kutahu siapa pribadimu”. Pepatah ini bisa juga terlalu “bombastis”, “nekad” atau “lebay”. Bagaimana mungkin kepribadian seseorang bisa dengan mudah ‘diukur’ dengan kuliner, dengan menu yang ia sukai? Apakah seseorang di Cileunyi yang suka makan “cireng” atau “cilok” atau burger lalu bisa ditentukan kepribadiannya? Ada juga pepatah yang berbunyi “katakan buku apa yang sering anda baca maka bisa kukatakan siapa engkau sebenarnya?” Apakah mungkin menganalisis kepribadian seseorang dengan melihat buku yang ia baca? Jika seseorang rajin membaca buku Karen Amstrong, Chomsky, Wittgenstein, JE Tatengkeng, Chairil Anwar, Rumi, Kahlil Gibran misalnya apakah kita bisa menentukan kesiapaan seseorang?
Sejatinya, untuk memahami seseorang secara utuh penuh tidaklah mungkin kita hanya berbekal ‘makanan’ dan ‘publikasi’ yang dinikmati seseorang. Memang bisa saja melalui makanan dan bacaan, kita memahami ‘sebagian’ dari pribadi seseorang namun hal itu baru sebuah pemahaman yang sumir. Manusia, adalah sosok yang tidak seluruhnya bisa “dibaca”. Selalu saja ada dimensi-dimensi yang bersifat privat dan rahasia yang tidak bisa diketahui orang lain. Itulah sebabnya banyak orang selalu menyatakan tentang “kerahasiaan” sosok manusia dengan ungkapan *hati orang siapa yang tahu* !
Menarik juga mengamati interaksi dan pergumulan seseorang dengan Tuhannya, selaku Yang Sakral dan Yang Transenden. Chairil Anwar, Tatengkeng, Amir Hamzah, Rendra melalui puisi mereka telah mencoba menggapai Sang Sakral itu dalam angle dan perspektif masing-masing. Terkadang ada narasi skeptis tentang Kuasa Transenden itu, terkadang ada nuansa yang “devosional” pada puisi para penyair kita.
Penyair kondang Ahmadun Y Herfanda menulis dalam nuansa yang berbeda tentang Yang Transenden itu. Ia seakan menyindir realitas kekinian dengan hadirnya “tuhan yang majemuk” menguasai ruang-ruang sejarah kita. Simak puisinya berikut ini. “tuhan, aku berlindung padamu/dari godaan tuhan-tuhan baru/yang bermunculan di sekelilingku aku berlindung padamu/dari rongrongan manusua-manusia yang mempertuhan selain engkau/aku berlindung padamu”
“aku berlindung padamu/walau di pinggir-pinggir jalan/engkau diejek bendera-bendera parpol walau di kantor-kantor/kursi direktur menggantikanmu/walau dimana-mana/kekuasaan menjadi tuhan baru/aku berlindung padamu” (Bait 1, 3 dari puisi “Tuhan, Aku Berlindung Padamu”, *Ketika Rerumputan Bertemu Tuhan*, kumpulan puisi, Pustaka Littera, Kreativa Indonesia, Jakarta 2016).
Penyair Ahmadun mengeritik tajam adanya “tuhan artificial”, “tuhan semu” dalam banyak wujud yang hadir dalam masyarakat modern di negeri ini. Realitas itu adalah sebuah tragedi dan paradoks dalam sebuah NKRI yang beragama. Tuhan Transendental, The Divine Power mestinya adalah Kuasa Definitif yang tiada terbandingkan, kuasa-kuasa lain seharusnya tunduk kepada Kuasa Transendental ini.
Pemahaman tentang kesiapaan seseorang memang cukup penting agar kita dapat berinteraksi dengan baik dengan orang itu. Penahaman tentang pribadi seseorang terutama sekali sangat diperlukan dalam konteks menetapkan seseorang untuk duduk di suatu jabatan tertentu.
Dalam konteks mengenal seseorang memang cukup baik jika kita juga memahami spiritualitas orang itu, tanpa terjebak pada polarisasi sara dan atau menghakimi iman seseorang. Dengan cara itu kita tahu persis kualitas spiritual seseorang yang akan sangat berpengaruh pada kepribadian seseorang.
Ungkapan Gibran yang dikutip dibagian awal artikel ini cukup menarik. Ia mengingatkan kita bahwa untuk memahami seseorang itu tidak cukup berdasarkan apa yang sudah dicapai, tetapi juga apa yang menjadi aspirasinya di masa depan. Tidak terlalu mudah untuk mewujudkan apa yang Gibran katakan, tetapi pemikiranya itu amat menolong dalam melaksanakan tugas pelayanan kita.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin.*