“Non est sine pulvere palma. Tidak ada mahkota tanpa jerih payah”
Acap kita mendengar sebuah ungkapan yang bisa terasa agak sedikit “vulgar” berbunyi “tak ada makan siang gratis”. Ini bukan soal soal makan siang semata, yang amat teknis karena berhubungan dengan selera, _kuliner_ dan kesiapan kantong. Ungkapan itu punya makna yang luas, yang jangkauan kandungan artinya tidak berhenti hanya pada soal “makan siang”. Ungkapan itu ingin menyatakan bahwa di zaman ini, semuanya mesti ada hitungannya, tidak ada yang _free of charge_ tak ada yang tanpa biaya. Semua membutuhkan (dan menuntut) uang, dana, _fulus_. Dalam arti yang lebih jauh untuk mencapai sesuatu itu kita perlu pengurbanan, perlu cost, perlu berkeringat. Cost itu bisa beragam istilahnya : bisa disebut ‘mahar’, ‘uang administrasi’, ‘uang rokok’, ‘succes fee’ atau ya apapun istilahnya. Dulu untuk mempercepat pengetikan SK Kenaikan Golongan saja, pada level bawah diperlukan dana, lalu jika penulisan nama pada SK ada kesalahan karena berbeda dengan yang di KTP maka mesti dikoreksi, dan hal itu membutuhkan waktu dan uang. Konon di beberapa wilayah kini mental seperti itu sudah tidak ada lagi.
Dalam menggapai cita-cita mewujudkan mimpi dan obsesi maka dibutuhkan banyak hal, antara lain _ketekunan_ dan _pengurbanan_. Perlu stamina tinggi untuk mewujudkan mimpi-mimpi besar; diperlukan vitamin tambahan, _food supplement_ bukan hanya sekadar vitamin C atau B Complex saja. Tekun berarti terus menerus, tiada henti mengupayakan sesuatu, tidak cepat putus asa, *mutung* atau juga _baper_. Orang-orang besar, para penemu, ahli ilmu pengetahuan, bukan saja berani dan clever, mereka juga *tekun*.
Thomas Edison adalah seorang pekerja keras. Pada HUTnya yang ke-80, seorang sahabatnya menyarankan agar ia *memperlambat* langkahnya. “Kau harus punya hobby tertentu” kata sahabatnya. “Mengapa kau tidak memilih golf saja?” “Aku belum terlalu tua” kata Thomas Alva Edison, enteng. Seseorang yang memaknai usia 80 tahun dengan ungkapan “belum terlalu tua” adalah orang yang tekun dan optimis, ya orang yang _workaholic_. Di negeri kita tidak semua orang yang berusia 80 tahun masih tetap kuat dan energik.
Ada banyak kisah tentang orang-orang yang berusia lanjut di mancanegara yang tetap bergairah dalam menjalankan profesinya. Pablo Casals pemain celo dunia terkemuka pernah ditanya mengapa ia di usia 83 tahun masih berlatih 4 atau 5 jam sehari. Apa jawab Casals? “Aku sedang membuat kemajuan!”
Selama Perang Dunia I divisi yang dipimpin Jendral Charles P Summerall kehilangan 10 ribu anggota pasukannya di Argonne. Seorang inspektur dari markas besar bertanya kepadanya berapa lama lagi ia bisa bertahan. Sang Jendral menjawab : “Selama disana masih tersisa cukup orang maka divisiku bisa diatur batas kemanpuannya”. Berapa banyak prajurit yang kau butuhkan? “Dua orang!” Kata Sang Jendral. “Satu orang dibelakang orang yang lain”.
Banyak kisah-kisah masa lalu yang memberi inspirasi kuat bagi kita untuk menjalani kehidupan dengan lebih tekun, optimis dan energik. Tekun dalam pekerjaan bisa juga sewaktu-waktu abai terhadap perhitungan waktu. Seorang perempuan pernah meminta Thomas A. Edison menuliskan _semboyan_ untuk anak laki-lakinya. Apa yang kemudian ditulis oleh Edison?
Edison menulis :
_Jangan pernah melihat jam_
Bagi Edison dalam mengerjakan sesuatu itu seseorang harus serius, tekun, fokus, kontinyu. Tak boleh dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan atau eksternal. Jika kita selalu “melihat jam” baik jam tangan maupun jam dinding maka konsentrasi terpecah dan seseorang kehilangan fokusnya terhadap pekerjaan itu. Akibatnya kualitas hasil pekerjaan itu tidak baik dan tak bisa diandalkan.
Sangat menarik sekali pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini yang menyatakan bahwa tak ada mahkota tanpa jerih payah. Mahkota, piala kemenangan, award, piagam penghargaan harus diperoleh dengan jerih juang, dengan keringat, dengan kerja keras sesuai dengan prosedur standar, sesuai dengan SOP. Tidak ada yang gratis, tidak boleh ada suap, tak bisa ada upaya-upaya diluar hukum dalam memperoleh mahkota.
Sebagai umat beragama kita tahu persis bahwa ajaran agama kita masing-masing telah secara jelas mengajarkan bahwa kita mesti menempuh cara yang bermoral, sesuai dengan prosedur, menaati hukum dalam menggapai mahkota kemenangan. Dalam bahasa yang populer : ‘tidak boleh menghalalkan segala cara’.
Kita harus konsisten mengimplementasikan ajaran agama kita di dunia nyata, dalam realitas konkret dibidang apapun. Di bidang olahraga, ekonomi, politik, kebudayaan, kesehatan, keamanan dan bidang-bidang lainnya memerlukan implementasi agama. Ajaran agama tidak boleh direduksi menjadi ajaran yang hanya diwacanakan di rumah-rumah ibadah dan atau di lembaga keagamaan. Ajaran agama harus menjadi *ruh*, *roh*, *ruach*, spirit yang menguasai kedirian manusia Indonesia. Mari berjerih lelah memperoleh mahkota kemenangan.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*.